one shot 1 (halice)🔞

35 9 0
                                    

Judul : LDR 🔞
Ship : Halice
Ship lain : BelHali, TauGem
Word : 6.1k
Sinopsis

Halilintar dan Ais adalah sepasang kekasih. Mereka berpacaran cukup lama hingga akhirnya melakukan LDR. Namun, selama 3 tahun LDR, Halilintar begitu cuek. Ketika ditanya kenapa tidak menjawab pesan, jawabannya selalu sama, sibuk. Lalu, kelanjutan hubungan mereka yang begitu dipenuhi dengan lika-liku ini berakhir bagaimana? Apa Happy atau Sad




Dari dulu Ais sering kali bertanya-tanya kenapa hubungan percintaannya sungguh berantakan. Ya, sekiranya memang tidak berjalan terlalu mulus mengingat pasangannya memang bukan tipe yang terbuka. Namun, Ais masih tahu dengan jelas bagaimana dirinya dan Halilintar memutuskan untuk melakukan LDR.

Tinggal di dua kota yang berbeda membuat Ais agak muak. Sudah hampir 5 tahun selalu bersama, tapi, sayangnya Halilintar harus pergi keluar dari kota asalnya untuk bekerja.

Perasaan lelah karena hubungan terpaut jarak yang jauh membuat Ais kadang kali berpikir untuk mengakhiri saja hubungan memuakkan ini. Namun, cintanya sudah terlanjur habis hanya untuk Halilintar seorang. Rasanya sudah tidak bisa mencintai lagi orang lain, hanya Halilintar.

“Hahhh ... muak gue,” gumam Ais malas.

Dia menatap pekerjaannya—lebih tepatnya naskah novel yang sudah hampir 2 bulan ini belum ia serahkan pada editor tercintanya—Gempa. Mau bagaimana lagi? Ais terlalu malas untuk menyelesaikan itu, isi ceritanya soal cinta, sedangkan hubungan Ais terasa sangat berantakan.

Apa lagi Halilintar entah kenapa sulit sekali untuk dihubungi. Itu semakin membuat Ais merasa muak, kesal, marah, dan ingin menghancurkan semua barang di sekitarnya.

“Apa aku susul dia aja?” gumam Ais pelan. “Masih bisa lah, kan pakai tol, harusnya bisa ... setidaknya, bisa kan seharusnya?”

Ais menghela napas panjang, ia lalu mengangkat tubuhnya dan langsung melemparkan tubuhnya ke atas ranjang. Ia meraih ponselnya dan mendapati pesannya belum dibalas oleh Halilintar. Ya, ini sudah biasa, sayangnya Ais terlalu muak untuk mendengar alasan Halilintar adalah sibuk.

Sibuk? Ais juga sibuk. Dia juga bekerja walau hanya sebagai penulis novel romansa semata! Tapi, Ais juga bekerja, ia juga harus cari uang untuk menghidupi dirinya. Namun, Ais masih tetap menghubungi Halilintar. Sayang, pemuda itu memang gila kerja!

Jawabannya selalu sama sehingga membuat Ais merasa muak setengah mati.

“Maaf, aku sibuk.”

“Maaf, aku ada rapat.”

“Lain kali Ais, aku sibuk.”

“Aku ada rapat dengan klien.”

“Kakek panggil aku buat makan malam dengan teman-temannya.”

“Sibuk, maaf.”

“Maaf, aku sangat lelah, besok saja.”

Jawaban yang membuat Ais merasa bahwa pekerjaan jauh lebih penting daripada dirinya. Sejujurnya Ais tahu dengan jelas Halilintar itu seperti apa. Dia manusia yang kaku, tidak bisa mengungkapkan apa yang dirinya sukai, dan Halilintar adalah orang yang tidak akan tersenyum sekalipun ada hal lucu di dekatnya.

“Kalau aku susul dia, apa dia marah?” gumam Ais pelan. “Hahhhh ... muak aku.”

Dengan malas Ais mulai memejamkan kedua matanya untuk segera tidur. Ais terlalu lelah, entah untuk memikirkan naskahnya, ataupun memikirkan hubungannya dengan Halilintar.



••



Hari terus berganti, hubungan Halilintar dan Ais masih sama. Hanya melakukan pertukaran pesan sederhana yang di mana Ais mengirimkan pesan pagi, dibalas besok paginya oleh Halilintar.

Ais sudah terbiasa, entah bagaimana terlalu terbiasa. Walaupun rasanya muak, tapi, Ais masih terus menjalankan itu, dia tidak peduli sekalipun rasanya begitu sakit.

“Eh? Kamu mau pergi menemui Hali?”

Ais mengangguk, ia menyendokkan potongan pudding di atas meja ke dalam mulutnya. “Itu buruk, Gem?”

Gempa diam sebentar, dia diam selama beberapa detik, sebelum akhirnya bergumam, “Bukan buruk, tapi, Hali kan sibuk. Sekalipun kamu datang ke sana, memangnya dia akan menemuimu?”

“Kalau tidak mau ... ya sudah berakhir saja,” gumam Ais datar. “Aku bersamanya terus selama 5 tahun, tambah waktu kami LDR adalah 3 tahun. Sudah 8 tahun loh bersama, tapi, ada rasa jenuh pastinya. Dia mungkin jenuh denganku dan ingin mengakhiri hubungan kami. Namun, dia tidak mau menjadi yang mengakhiri hubungan. Ya, mungkin dia menungguku mengakhiri hubungan kami.”

“Kamu berpikir sangat jauh,” gumam Gempa sembari menyeruput kopinya. “Tapi, kalau kamu ingin pergi, aku bisa menemuimu. Aku bisa cuti selama beberapa hari.”

Ais terkekeh, “Haha, makasih Gem. Tapi, aku sendirian saja.”

“Kenapa?”

Ais terdiam sebentar, sebelum akhirnya bergumam, “Enggak papa, aku ingin sendiri saja.”

Gempa mengangguk, “Baiklah, lalu, kapan kamu akan pergi?”

“Mungkin hari Sabtu ini?” gumam Ais pelan. “Untuk naskahnya akan kuusahakan selesai besok. Maafkan aku, Gem.”

“Santai saja, aku sudah menjelaskan pada pihak penerbit jika kondisimu lagi buruk,” balas Gempa.

Ais mengangguk, ia lalu tersenyum manis, “Aku senang punya teman yang selalu ada untukku. Makasih, Gem.”

“Hm, sama-sama.”



••



“Alamat? Untuk apa?”

Sudah lama Ais tidak mendengar suara Halilintar. Namun, hari ini Ais menelepon cowok itu, ia menghubungi kekasihnya dan bertanya soal alamat rumah milik Halilintar.

“Uhm, apa itu buruk?”

“Bukan buruk, tapi, untuk apa?”

“Ehm ... ya, aku hanya ingin tahu,” gumam Ais pelan. Dia menatap layar laptopnya, “Aku kan pacarmu, Hali. Apa aku tidak boleh tahun soal alamatmu di sana?”

Hening sejenak, sebelum akhirnya Halilintar membalas, “Aku akan mengirimkannya.”

“Oh, oke,” gumam Ais pelan. “Makasih.”

Sambungan berakhir dan semenit kemudian ada pesan dari Halilintar. Pemuda itu mengirimkan sebuah alasan pada Ais. “Dia mengirimkannya sungguhan.”

Sejujurnya ini di luar ekspetasi Ais, Ais pikir Halilintar tidak akan mengirimkan alamatnya pada Ais. Namun, dia mengirimkan itu.

“Udah dapet,” gumam Ais pelan. “Sekarang fokus kerja dulu.”

Selanjutnya, Ais segera fokus untuk bekerja dan memilih untuk melupakan sementara soal Halilintar. Dia akan menemui kekasihnya itu, pasti, dan akan dia tanyakan soal hubungan mereka.

Sedangkan di sisi lain...

Halilintar menatap ponselnya dengan ekspresi datar, tidak ada balasan dari Ais. Pesannya hanya dibaca dan tidak ada percakapan apa pun lagi. Hal itu membuat Halilintar mulai berpikir apakah Ais akan mengiriminya sesuatu sampai kekasihnya itu meminta alamatnya.

“Oi, Li, lo napa?”

Halilintar tersentak pelan, ia menoleh dan mendapati Taufan menatapnya heran. Halilintar dengan malas mendesis, “Enggak ada apa-apa, gue kepikiran Ais doang.”

“Kepikiran Ais? Lo? Seorang Halilintar?!”

Halilintar berdiri dari duduknya, ia langsung mendesis, “Ais pacar gue, wajar gue kepikiran dia. Apa yang salah?”

“HAHAHA!” Taufan tertawa, ia lalu mengibaskan tangannya dengan pelan di udara. “Lo seriusan kepikiran sama Ais? Ya, kalian pacaran, tapi, jelas lo enggak pernah berminat buat meneruskan hubungan kalian, ‘kan?”

“Hah? Siapa yang bilang gitu ke lo?!” bentak Halilintar seakan tidak terima.

Taufan mengangkat kedua bahunya, “Gimana ya kalau Ais tahu kalau pacarnya yang dia tunggu buat pulang malah tidur sama kakak temannya?”

“BACOT! ENGGAK USAH BICARA SEMBARANGAN!” bentak Halilintar.

Ia langsung menarik kerah pakaian Taufan dan menatap cowok itu dengan sorot mata tajam. Taufan tertawa, “Tapi, nyatanya lo tidur sama Kak Bel, ‘kan? Lo tidur sama dia, lo nikmati itu semua! Dan lo bilang lo kepikiran Ais?! Bercanda, ‘kah? Kalau Gem tahu, dia bakal habisi lo saat ini juga!”

“Gue tidur sama kakak lo itu enggak sengaja! Kami sama-sama mabuk!”

“Hahh ... iyain aja,” balas Taufan datar, ia menepis tangan Halilintar. “Lo bilang gitu pun ... dari cara lo memperlakukan Ais, semua seakan-akan bohong.”

Halilintar bungkam, sedangkan Taufan dengan santai berkata, “Udahlah, buruan woy, kita ada rapat!”

Halilintar terdiam lama di sana, sebelum akhirnya mendesis, “Hahh ... dasar bajingan.”



••



Ais menyelesaikan naskahnya, dia akhirnya terbebas dari cerita itu. Dan sekarang dia bahkan sudah memasuki mobilnya dan melajukan mobilnya untuk pergi ke kota di mana Halilintar berada sekarang.

Perjalanan ke sana butuh waktu sekitar 2 jam. Lama, tapi Ais memilih untuk pergi. Dia akan menemui Halilintar, harus, dan pasti!

Dan tidak terasa sudah 1 jam berlalu sejak Ais pergi. Ia menghentikan mobilnya sebentar di sebuah pom bensin untuk sekedar pergi ke kamar mandi dan mengisi bensin. Ia menatap langit yang agak mendung, hujan akan segera turun.

Ais kembali melajukan mobilnya dan tidak terasa pula Ais akhirnya sampai di kota tempat Halilintar berada. Ia buru-buru membuka map dan mulai mencari alamat milik Halilintar di sana.

Sekitar 45 menit akan sampai ke sana. Jauh juga, tapi, tidak apa-apa, Ais akan tetap pergi. Dia menjalankan mobilnya lagi dengan tenang, menyusuri jalanan yang cukup ramai.

Maklum, hari Sabtu biasanya agak ramai dengan banyak orang bepergian. Mereka pasti ada beberapa yang liburan atau sekedar bersantai semata.

Ais termasuk dalam golongan yang pergi liburan, tapi, di sisi lain juga bukan liburan. “Hah, macet,” gumam Ais malas.

Terjebak macet selama hampir 20 menitan, rasanya sudah melelahkan, tapi, Ais tetap menjalankan mobilnya untuk pergi ke rumah Halilintar. Sejujurnya Ais agak gugup, dia bingung harus bicara apa dengan kekasihnya itu waktu bertemu nanti.

“Mau ngomong apa ya sama dia?” gumam Ais pelan. “Bingung aku, mau bilang halo ... canggung juga deh. Apa langsung cium aja kali, ya?”

Pikiran itu Ais singkirkan, dia memilih fokus dengan jalanan hingga tidak terasa bahwa dia mungkin sudah dekat. Ngomong-ngomong, Ais pergi di sore hari. Sekarang jam sudah menunjukkan pukul 7 malam. Awalnya Ais ingin berangkat pagi, tapi, kalau pagi Halilintar pasti sibuk. Jadi, Ais memutuskan untuk berangkat agak sore menjelang malam—mungkin dia sudah pulang.

Ais melirik ke arah map, sebentar lagi dia akan sampai di rumah pacarnya. Tinggal beberapa meter lagi, Ais terus menjalankan mobilnya dan berhenti pada sebuah rumah besar yang menjulang tinggi di hadapannya.

Ais menghela napas pelan, “Hahh ... ini bener rumahnya enggak, ya?”

Ais segera mengirimkan pesan pada Halilintar untuk bertanya apakah pacarnya itu sudah pulang ke rumah atau belum. Dan balasan tidak kunjung datang hingga sebuah mobil datang dari arah belakang dan berhenti tepat di depan rumah Halilintar.

Ais terdiam sebentar dan segera tersenyum senang waktu melihat Halilintar keluar dari mobil itu. Ais buru-buru keluar juga dan langsung berteriak, “Hali!”

Pemuda itu menoleh dan bertepatan dengan seseorang yang lain keluar dari mobil yang sama dengan Halilintar. Itu adalah Beliung—kakak laki-laki Taufan. Ais kenal dengan orang itu juga.

“Oh, Kak Bel,” gumam Ais.

“Ais?!”

Halilintar tampak terkejut. Ais segera berjalan mendekat dan tersenyum sembari mendongak ke arah Halilintar, “Hai.”

“K-kamu ... ngapain ke sini?”

“Eh? Apa itu buruk? Apa buruk aku ke sini? Aku hanya ingin menemuimu,” gumam Ais pelan. “Uhm ... apa kalian akan rapat?”

Ais menatap Beliung dan Halilintar bergantian, keduanya kemudian berpandangan sebentar, sebelum akhirnya Beliung berkata, “Gue nganter Hali doang kok, Ais. Dia bilang lagi capek banget, aslinya mau dianter Taufan, tapi, mereka lagi berantem.”

“Ouh...” Ais mengangguk pelan. “Haha, kupikir apa, kenapa berantem?”

Halilintar menggeleng pelan, “Enggak ... enggak papa kok.”

“Oke,” balas Ais pelan.

“Ya udah, gue pulang dulu ya, Li.”

“Ouh, hm,” balas Halilintar.

Beliung segera pergi menggunakan mobilnya, sedangkan Halilintar hanya melambai pelan. Selanjutnya, Ais berkata, “Aku kangen dan ada yang mau kuomongin sama kamu.”

“Ayo masuk dulu,” ucap Halilintar pelan, “kita bicarakan saja di dalam.”

“Oke,” balas Ais.

Keduanya kemudian segera masuk ke dalam rumah untuk membicarakan hal yang mungkin akan agak berat.



••



Ais segera duduk di atas ranjang milik Halilintar. Mereka pergi ke sini, ke kamar Halilintar yang luas dan besar. Mata Ais mulai mengelilingi kamar itu. Kamar yang sepi, hanya ada ranjang, televisi, lemari, dan kamar mandi. Rak buku ada, tapi, hanya ada sedikit buku di sana.

Halilintar kemudian duduk di sofa sembari melepaskan dasi dan melepaskan beberapa kancing teratasnya. Dia juga melepaskan sabuknya sembari bergumam, “Kapan kamu ke sini?”

“Hm ... tadi sorean,” jawab Ais.

“Sendirian?”

“Iya,” jawab Ais pelan.

Halilintar menghela napas, “Hahh ... kenapa enggak hubungi aku dulu?”

“Eh? Karena ... pengen kasih kamu kejutan? Walau kamu kayaknya enggak senang,” gumam Ais pelan. “Maaf ya, Hali. Kalau kamu enggak senang, besok aku akan langsung pulang.” Dan mungkin besok hubungan kita juga berakhir.

“Bukan enggak senang,” gumam Halilintar, “kalau aku tahu kamu datang kemari, aku bisa pulang lebih cepat.”

“Uhm ... haha, enggak papa,” ucap Ais pelan. “Aku hanya ingin menemuimu sebentar.”

Halilintar menghela napas, dia bergumam, “Kemarilah.”

“Eh? Uhm ... oke,” jawab Ais.

Ais berdiri dan segera mendekat pada Halilintar. Pemuda itu lalu menarik pelan tangan Ais hingga Ais duduk di atas pangkuan pemuda itu. Posisi mereka terlihat begitu intim, Ais dengan pelan berpegangan pada kedua bahu Halilintar.

“Mau apa?”

“Katanya kangen.”

“Eh?” Ais langsung salah tingkah, dia buru-buru bergumam, “Iya, malu. Tapi, posisi ini terlalu intim.”

“Lalu, memang kenapa kalau intim? Ini bukan pertama kalinya kita ngelakuin ini.”

“Iya, sih. Tapi—uwah!”

Halilintar dengan santainya mengangkat tubuh Ais lalu berkata, “Ayo ke kamar mandi, aku mau mandi.”

“Eh? Aku sudah mandi tadi di rumah!”

“Mandi lagi.”

“Kenapa?” balas Ais keheranan.

Pelukan Halilintar menjadi sedikit lebih erat, “Ya ... sekalian mandi bareng. Katanya kangen?”

“Uhm ... iya, sih.”

“Kamu tidak mau melakukannya?” Halilintar bertanya pelan.

Wajah Ais sontak memerah. “Mau, tapi, terlalu tiba-tiba.”

“Enggak papa,” gumam Halilintar, “santai aja, aku akan bertindak pelan, kamu tidak perlu khawatir.”

Sungguh, Ais tidak pernah berespektasi bahwa Halilintar akan seperti ini.

Sial, kalau gini ... aku jadi makin bingung! Nyebelin!



••



Ais menatap Halilintar yang sudah membuka kemejanya. Ia perlahan menghela napas dan bergumam, “Kenapa aku harus ikut mandi?”

“Bukanya dulu kita sering mandi bareng?” balas Halilintar datar.

Ais menghela napas, ia kemudian melangkah mendekat pada Halilintar dan menarik pelan tangan pemuda itu hingga kekasihnya itu menatapnya. “Ada yang mau aku bicarakan sama kamu.”

“Mandi dulu.”

“Aku maunya sekarang.”

“Mandi dulu,” ucap Halilintar tegas, “sekalian istirahat.”

Ais terdiam sebentar dan mengangguk, “Ya udah, kamu mandi sendiri.”

“Katanya mau nemenin?”

“Sejak kapan aku bilang mau nemenin kamu?” balas Ais datar.

“Kamu marah, Ais?”

“Enggak.”

“Kamu marah,” ucap Halilintar datar.

Ais menghela napas kasar, ia melangkah ke pintu dan bergumam, “Mandilah, ayo bicara setelah kamu selesai mandi.”

“Oke.”

Setelahnya, Ais segera keluar dari kamar mandi. Ia lalu duduk di atas ranjang Halilintar dan menghela napas agak panjang. Dengan pelan Ais merebahkan tubuhnya, sebelum akhirnya kedua matanya terpejam. Rasanya mengantuk dan sedikit lelah, Ais ingin bicara banyak hal, tentang kelanjutan hubungan mereka.

Namun, saat ini Ais sendiri merasa agak bingung dengan perasaannya sendiri. Tentu saja masih cinta, itu tidak mungkin tidak. Cinta Ais sudah habis hanya untuk Halilintar.

10 menit akhirnya berlalu, pintu kamar mandi terbuka dan Halilintar keluar dengan baju mandi. Ia lalu segera mendekat pada Ais dan duduk di samping pemuda yang tengah rebahan di ranjangnya.

“Ais.”

Hening.

Ais hanya diam dengan mata terpejam, Halilintar menghela napas dan segera mendekatkan wajahnya pada Ais dengan perlahan. Ia lalu mengecup singkat bibir kekasihnya sembari bergumam, “Buka matamu, kamu pikir aku tidak tahu kau pura-pura tidur? Kamu mau aku menyerangmu begitu saja?”

Ais membuka kedua matanya dengan semburat kemerahan di kedua pipinya. “Apa, sih? Cabul.”

“Itu nyata,” balas Halilintar datar, tangannya menyentuh perut Ais yang rata, “kamu mau aku mengisimu sekarang?”

“Jangan bicara hal vulgar sekarang,” balas Ais pelan, sembari menjauh dan duduk. “Ada yang mau kubicarakan denganmu.”

“Ya, bicaralah,” balas Halilintar datar.

Ais tampak sedikit ragu-ragu, tapi, ia akhirnya memberanikan dirinya untuk bertanya, “Hali ... hubungan kita bagaimana?”

“Apa maksudmu? Hubungan kita masih jalan.”

“Tapi, kita terlalu jauh,” gumam Ais pelan. “Kamu cuek, kamu sibuk, kamu selalu punya banyak sekali alasan untuk tidak membalas pesanku. Aku bingung, Hali, aku tidak mengerti harus bagaimana menanggapi itu.”

“Aku bekerja.”

“Aku juga bekerja.”

“Pekerjaan kita beda.”

“Tapi, aku masih punya waktu untuk setidaknya mengabarimu,” balas Ais pelan. “Kamu tidak ... kamu tidak punya waktu, aku butuh kamu.”

“Maafkan aku.”

“Pikirkan dengan otakmu yang pandai itu, Hali,” desis Ais pelan. “Kamu masih mencintaiku tidak? Atau yang ada di otakmu sekarang adalah ingin aku pulang?!”

“Kamu marah,” balas Halilintar datar. “Jangan marah, kamu harus dengar penjelasanku dulu.”

“Aku dengar,” ucap Ais datar, “semua masih sama, ‘kan? Kau sibuk, kau sibuk, kau sibuk, kau sibuk, kau sibuk, kau sibuk, kau sibuk! Hanya itu alasanmu! Tidak ada alasan lain!”

“Ais.”

“Apa?!” balas Ais membentak.

Kedua matanya memerah, air matanya menetes, sejujurnya Ais tidak ingin marah. Hanya saja dirinya merasa muak, muak dengan bagaimana Halilintar menanggapi ini semua.

“Maaf,” ucap Halilintar pelan. “Aku minta maaf, aku sibuk, itu kenyataannya. Maafkan aku, Ais.”

“Hahh...” Ais menghela napas agak panjang, dia mengusap kedua pipinya. “Oke, kamu sibuk ... hanya itu tanggapanmu, ‘kan?”

Halilintar diam.

Ais turun dari ranjang Halilintar, ia kemudian melangkah ke arah tas miliknya. “Aku lelah, aku pergi.”

“Tunggu, kamu mau pergi ke mana?”

“Pulang.”

“Jangan bercanda! Udah malam!”

“Berisik! Apa pedulimu?!” balas Ais dingin.

Halilintar menarik tangan Ais, dia memeluk pemuda itu erat-erat. “Okey, maafkan aku, aku minta maaf ... aku sibuk, aku salah, aku yang salah. Aku tidak bisa menjadikanmu sebagai prioritas utamaku! Aku minta maaf, Ais. Jangan pergi, kumohon jangan pergi, jangan tinggalkan aku sekarang. Kumohon.”

Ais diam saja, sedangkan Halilintar memeluk lebih erat kekasih yang sudah lama tidak ia peluk. Rasanya memuakkan mengingat semua masalah ini dimulai sejak mereka tinggal di dua kota yang terpisah.

Jarak yang terlalu jauh membuat hubungan ini berada di ujung tanduk. Atau malahan Ais lah pelaku utamanya? Dia tidak mau mengerti? Namun, tiga tahun Halilintar seperti ini, apa Ais kurang sabar?!

“Kamu hanya bisa minta maaf,” gumam Ais pelan. “Tapi, nyatanya kamu tidak akan bisa menjadi Halilintar yang dulu aku kenal.”

Ais dengan pelan melepaskan pelukan Halilintar, ia segera keluar dari kamar itu dan melenggang pergi keluar. Halilintar langsung mengejar, “Ais! Tunggu! Jangan pergi! Pergilah besok kalau kamu mau pergi.”

“Berisik,” balas Ais datar, “aku sudah besar, aku bukan anak-anak, pulang di malam hari dan sendirian bukanlah hal yang baru. Sampai jumpa lain kali.”

Ais segera memasuki mobilnya dan melajukan mobilnya untuk pergi, sedangkan Halilintar hanya bisa melihat mobil itu menjauh. Dengan pelan Halilintar menghela napas, kemudian bergumam, “Ah, sial ... gue mengacaukan semuanya, gue goblok!”



••



“Jadi, kalian berantem dan pada akhirnya kamu enggak bisa bilang putus ke Hali?”

Ais mengangguk pelan, ia menatap Gempa yang duduk di kursi yang berada di kamar Ais. Dengan pelan Gempa menghela napas, kemudian bergumam, “Ya ... aku sudah menduga ini, kamu memang terlalu mencintai dia.”

“Aku tahu, jangan diperjelas,” desis Ais sebal.

Gempa tersenyum simpul, dia dengan pelan mengusap kepala Ais, “Iya-iya ... terus, kamu maunya gimana sekarang? Gagal putus dan malah berantem.”

“Udahlah, enggak ngerti,” gumam Ais malas. “Sesuka Hali saja, aku muak.”

“Muak, tapi, kamu masih sayang, ‘kan?”

“Iya,” gumam Ais malas, “sekarang aku enggak ngerti aku ini jatuh cinta atau memang bodoh?”

“Bodoh, sih.”

“Uh...”

Gempa terkekeh pelan, ia dengan pelan mengusap kepala Ais. “Udah, gini aja, kamu sekarang tidur panjang aja kek biasanya mendadak jadi beruang kutub.”

“Hibernasi namanya.”

“Ya itu.”

“Hahh ... ya udahlah, aku mau hibernasi aja.”

Gempa mengangguk, ia kemudian berdiri dan berkata, “Aku ke ruang tengah, ya? Entar kalau ada apa-apa panggil aja.”

Gempa kemudian keluar dari kamar Ais, ia segera duduk di sofa dan mengeluarkan ponselnya. Ia lalu menghubungi seseorang dan tepat ketika tersambung, Gempa mendesis, “Mana temen kamu? Mau aku marahin.”

“Aelah Beb, aku pikir mau ngomong sama aku,” balas Taufan.

Taufan dan Gempa itu pacaran, sama seperti Halilintar dan Ais, mereka LDR. Bedanya, Taufan itu tiap detik, menit, jam, selalu menghubungi Gempa sampai Gempa heran manusia itu kerja atau tidak. Memang dasarnya bucin dan terlalu mencintai.

“Berisik, aku perlu marahin teman kamu itu,” desis Gempa. “Dia buat Ais nangis.”

“Hahh ... udah kuduga begitu,” gumam Taufan. “Tuh manusia satu kakunya ngalahin kanebo kering.”

“Hm...” Gempa bergumam pelan, “terus dia lagi ngapain?”

“Rapat,” jawab Taufan.

“Lah? Kamu kan sekretarisnya Hali, enggak ikut rapat?”

“Ikut, tapi, kamu telepon. Hehe, ya udah, aku izin angkat telepon dulu,” ucap Taufan.

“Taufan, kamu lagi kerja, ya kerja dong.”

“Ih, kan telepon dari kamu,” ucap Taufan dengan nada serius. “Hehe, kalau itu kamu, aku enggak bisa enggak angkat.”

Wajah Gempa sedikit memerah, ia hanya menghela napas dan bergumam, “Ah udahlah, bilang aja sama temanmu itu. Kalau dia sudah selesai rapat, langsung suruh telepon aku. Ada yang mau aku bicarakan sama dia.”

“Okey, Beb,” balas Taufan.

“Ya udah, aku akhiri, sana kerja.”

“Okey.”

Dan sambungan itu segera berakhir. Gempa kemudian menghela napas panjang, sembari mendesis, “Punya pacar yang selalu utamain aku memang enak, tapi, punya sahabat yang pacarnya bajingan hawanya pengen naik darah.”



••



Kalau Ais dikata tidak bisa mengerti, maka Ais akan memilih untuk pergi. Sudah 8 tahun bersama dan 3 tahun memilih pisah kota, cara Halilintar memperlakukan Ais membuat Ais muak setengah mati. Namun, dia masih tetap bertahan pada kisah cinta yang seakan sudah berada di ujung tanduk.

Mungkin perasaan Ais masih ada, mungkin memang masih ada, tapi, ada kalanya Ais merasa lelah sendiri. Saat ini Ais tengah berada di kamarnya, menatap ponselnya sembari mendengarkan lagu milik Lyodra dan Afgan berjudul Ada.



Ku tahu kisah kita sedang

Diuji waktu

Seperti tak pernah terbayang

Kembali satu



“Kembali satu? Putus juga belum, tapi entah kenapa nih lagu berasa ngepas sama hubunganku dan Hali.”



Namun ku di sini

Pegang erat janji

Beri kesempatan untukku



“Kalau semisal Hali minta kesempatan waktu kami putus, apa akhirnya bakal sama apa beda?”



Genggam tanganku jangan kau lepaskan

Kembali padaku seperti dulu

Aku dan kamu

Ditakdirkan satu

Ku yakin cintamu masih ada

Hm ada



“Ada ... cintaku buat Hali selalu ada, tiap saat, tiap detik, tiap menit, dan tiap jam ... aku selalu mikirin dia.”



Tak pernah

Terbersit niatku menyakitimu

Namun ku di sini

Pegang erat janji

Beri kesempatan untukku

Genggam tanganku jangan kau lepaskan

Kembali padaku seperti dulu

Aku dan kamu

Ditakdirkan satu



“Ditakdirkan satu, ya? Lagunya ... memang bagus, ada beberapa bagian yang buat aku ngerasa ini ngepas sama kisahku. Tapi, di sisi lain enggak, mau gimana pun, rasanya kami enggak ditakdirkan buat jadi satu. Aku doang yang berjuang, Hali enggak, aku capek, capek banget.”



Ku yakin cintamu masih ada

Ingatkah rasa pertama dulu

Saat kita jatuh cinta



“Ingatlah, waktu dia nolong aku pas kecil, aku jatuh dan dia langsung nolong. Di situ aja aku udah jatuh cinta. Haha, mana kebawa lagi sampai dewasa, tolol.”



Genggam tanganku jangan kau lepaskan

Kembali padaku seperti dulu

Aku dan kamu

Ditakdirkan satu

Ku yakin cintamu masih ada

Genggam tanganku jangan kau lepaskan



“Kalau kami jadi bareng lagi, apa dia enggak bakal lepasin tanganku? Haha.”



Kembali padaku seperti dulu

Aku dan kamu

Ditakdirkan satu

Ku yakin cintamu masih ada

Hm



Entah bagaimana air mata Ais menetes secara perlahan. Ingatannya berlarian ke masa lalu waktu dirinya dan Halilintar masih masa-masa SMA dan kuliah. Di sana mereka masih terus bersama, saling mendukung satu sama lain, berpelukan, selalu ada ketika saling membutuhkan.

Sekarang? Rasanya mustahil, mereka tidak bisa seperti itu. Sekiranya tidak untuk Halilintar yang sibuk, bahkan di hari libur sekali pun.

“Aku capek...”

Ais menangis dalam diam, baru kali ini dia selelah ini dalam sebuah hidup. Rasanya mau melepaskan sakit, bersama dia pun akan terus sakit.

“Sesak ... enggak enak, aku harus gimana, sih? Hali brengsek, bajingan, ahh, nyebelin!”

Ais hanya bisa menangis sesenggukan, ia terus menggerutu dan mengumpati Halilintar tanpa henti. Dan tanpa ia sadari Gempa berdiri di depan pintu dengan ekspresi masam.

Sudah 6 jam berlalu sejak dia menghubungi Taufan tadi. Halilintar masih belum menghubungi Gempa.

“Ahh, aku kok ikut capek, ya?” gumam Gempa dengan ekspresi lelahnya. “Telepon Taufan dulu.”

Gempa akhirnya menghubungi Taufan dan diangkat. “Halo, Bebeb, ada apa?”

“Kok Hali belum telepon aku?”

“Lah? Belum telepon?” balas Taufan, nadanya terlihat heran.

“Hm, belum,” gumam Gempa malas. “Di mana dia?”

“Lagi istirahat loh, tadi dia kecapekan, dan pusing gitu. Terus aku minta dia buat pulang aja. Dia iyain, dia akhirnya pulang dianter sama kakakku.”

“Kak Bel?”

“Iya.”

“Hm,” gumam Gempa pelan. “Ya udah, aku telepon kakak kamu aja.”

“Eh...?”

“Berisik.”

Gempa kemudian segera menghubungi Beliung dan diangkat dengan cepat. “Halo, Gem. Kenapa?”

“Kak Bel tadi anter Hali pulang?” tanya Gempa datar.

“Hm, tadi gue anter dia pulang,” jawab Beliung. “Kenapa memang?”

“Kenapa anter dia? Kenapa enggak Taufan?” tanya Gempa datar.

“Eh? Pacar lo itu kan tadi lagi ada urusan sama klien, akhirnya gue yang anter Hali,” ucap Beliung pelan. “Kenapa memangnya?”

Gempa diam sesaat, ia menghela napas kasar sembari mendesis, “Kak Bel, ini perasaanku aja atau apa, ya? Aku rasa Kak Bel sama Hali nyembunyiin sesuatu. Iya, ‘kah?”

“E-eh? Kenapa mikir gitu?”

“Perasaan aja,” gumam Gempa pelan. “Dan sejak kapan juga kalian sedekat itu sampai Hali mau dianter sama Kak Bel? Setahuku Hali itu enggak mudah akrab sama orang. Kalian kenal baru 3 tahun, ‘kan? Tepat waktu Taufan sama Hali pindah. Rasanya aneh kalian terlihat seakrab itu. Hali bukan tipikal orang yang mudah akrab sama orang.”

“Eh...? Uhm, gue sama Hali temenan doang kok.”

Gempa diam mendengar itu, ia kemudian hanya mendesis, “Oke, ya udah.”

Gempa segera mengakhiri sambungan itu, lalu kembali menelepon pacarnya. “Halo, Bebeb aku yang paling aku cintai. Ada apa?”

“Kakak kamu sama Hali itu ada hubungan apa?”

“Hm? Tiba-tiba amat deh? Memang Kak Bel ada bilang apa sama kamu?”

“Jawab enggak.”

“Oke,” balas Taufan, “jadi gini Gem ... kakakku sama Hali itu terlibat insiden mabuk. Dan mabuk itu buat mereka ... jadi tidur bareng.”

“Hah?”

“Sejujurnya aku enggak mau cerita, aku juga enggak tahu gimana kamu tiba-tiba kepikiran mereka sedekat itu. Intinya mereka tidur bareng dan ya, setahuku mereka jadi ... dekat karena itu? Aku udah peringatin kok si Kak Bel, tapi, dia kayaknya ... naksir Hali dan kayaknya si Hali enggak sadar.”

Gempa terdiam lama, sebelum akhirnya mendesis, “Ahh, sial, ini kalau Ais tahu, dia bakal lebih stres.”

“Tahu apa?”

Gempa menoleh kaget, entah sejak kapan pintu kamar sudah terbuka dan Ais sudah ada di sana dengan mata sembab.

“A-Ais?!”

“Tahu apa?” tanya Ais datar. “Bicara sama siapa kamu, Gem?”

“Eh? Ais di sana?” tanya Taufan.

Gempa terdiam sebentar, sebelum akhirnya dia mendesis, “Taufan, lebih baik kamu jelasin semuanya ke Ais, sekarang.”

“Waduh,” gumam Taufan, “alamat dipecat Hali ... hah.”



••



Jangan tanya bagaimana perasaan Ais sekarang. Dia diam mendengarkan semuanya dari Taufan dengan mode loud speaker. Semua adalah insiden mabuk sehingga membuat Beliung dan Halilintar tidur bersama. Sejak saat itu mereka dekat?!

Kalau begitu, Halilintar menerima keberadaan Beliung? Jangan bercanda, ini membuat Ais tambah kesal. Ekspresinya sudah menjadi masam, ia langsung mendesis, “Oh ... jangan-jangan mereka mau melakukannya lagi, ya? Mereka ketagihan kali, ya? Soalnya waktu aku sampai di rumah Hali waktu itu, dia pulang bareng kak Bel dan mereka kayak kaget habis keciduk. Haha, astaga, apa ini? Selingkuh?! HALI SELINGKUH?!”

“Oke, tenang dulu, Ais. Dengerin gue ngomong,” ucap Taufan dengan pelan. “Jangan ambil kesimpulan dulu, oke? Gue udah bilang kan kalau itu insiden? Dan kak Bel juga udah ada pacar kok. Jadi, dia enggak bakal macem-macem. Semua itu murni insiden, jadi—“

“Murni insiden,” gumam Ais datar, “tapi, mereka jadi dekat, ‘kan? Kamu tahu, ‘kan Fan kalau bosmu itu bukan manusia yang gampang dekat dengan orang lain?! DIA NIKMATI ITU SAMA KAKAK KAMU!”

“Oh ... hm, gue enggak tahu, sih. Coba tanya dia aja?”

“Taufan,” desis Gempa pelan, “jangan bercanda!”

“Tapi, Beb, aku sendiri cuman tahu ceritanya dari kak Bel, Hali enggak mau cerita!”

“Hahh...” Gempa menghela napas kasar, ia lalu bergumam, “Ais, mending kamu hubungi Hali sekarang.”

“Sudah,” gumam Ais datar, “aku dah chat dia kok, belum dibales.”

“Duh...” Gempa jadi ikutan stres, dia lalu bergumam, “ya udah, gini aja ... Ais, kamu istirahat dulu, ya? Entar kita bahas besok—“

Ting tong!

Mereka menoleh pelan ke arah pintu rumah Ais. Gempa segera berdiri, “Bentar, aku bukain dulu.”

“Hm,” gumam Ais datar.

Gempa segera membuka pintu rumah Ais dan matanya mendelik waktu melihat siapa yang ada di hadapannya. “HALI?!”

“Gem?” gumam Halilintar yang tampak berantakan. “Uh ... mana Ais? Gue perlu—“

“Ngapain kamu ke sini?!”

Ais tiba-tiba muncul, dia langsung menatap galak ke arah Halilintar yang tampak kusut. Ia dengan cepat buru-buru mendekat, lalu memeluk Ais, “Maafin aku, aku jelasin oke? Jangan marah, jangan—“

“Jelasin kenapa kamu jadi deket sama kak Bel sehabis tidur sama dia?”

Gempa di sana memijat pangkal hidungnya. “Ais, jangan bahas itu dulu. Ayo dengerin Hali mau ngomong apa, oke?”

Ais diam saja, ia lalu melepaskan pelukan Halilintar dan mencengkeram lengan pemuda itu keras, “Oke, aku dengerin dan hubungan ini tergantung sama apa yang kamu katakan. Ngerti?”

“Hm...”

“Ya udah, kalian bicara di kamar. Aku akan dengerin di dekat pintu, kalau ada sesuatu yang enggak enak terjadi, aku bakal jadi penengah,” ucap Gempa dengan pelan.

Setelahnya, Halilintar dan Ais segera masuk ke dalam kamar. Keduanya duduk berjauhan dengan Ais duduk di ranjang, sedangkan Halilintar di sofa. Hening sebentar, sebelum akhirnya Halilintar berkata, “Itu terjadi 2 tahun lalu.”

“Soal kamu sama kak Bel?” Ais bertanya datar.

“Iya,” jawab Halilintar. “Aku sama kak Bel mabuk, kami minum di bar dan enggak tahunya keterusan sampai di kamar VIP. Niat awal enggak gitu, tapi, kayaknya ... kak Bel minum alkohol yang sudah dikasih obat perangsang sama seorang cewek. Alhasil, kami ngelakuin itu ... maaf.”

“Lanjut, enggak mungkin berhenti sampai di sana, ‘kan?”

“Hm,” gumam Halilintar. “Sejak itu, aku ngerasa bersalah ... mau balas chat kamu, kadang aku teringat di hari itu. Aku ngerasa kayak kotor, Ais. Maksudku, aku ... maafin aku, aku bener-bener minta maaf. Aku enggak ada maksud buat apa-apa. Sungguh, aku ... aku mau lebih perhatian, tapi, hal itu seringkali terus teringat di otakku. Aku takut, aku sebenarnya mau paksa kamu pindah ke kotaku, tinggal sama aku, biar aku tetap baik-baik aja dan hubungan kita terus berjalan. Tapi, di sisi lain aku takut egois, kamu suka tinggal di sini dan aku pikir bakal sangat egois kalau aku bawa kamu ke tempat kota aku tinggal. Makanya, aku enggak lakuin itu. Dan aku semakin merasa bersalah, aku semakin merasa ... kayak enggak pantes lagi buat kamu. Maafin aku, maafin aku, Ais. Aku minta maaf, sungguh, aku enggak bermaksud cuek sama kamu, aku enggak bermaksud buat jauhi kamu atau semacamnya. Aku ... hanya merasa enggak pantes. Kamu terlalu tulus, kamu terlalu baik buatku yang enggak bisa jaga diriku sendiri. Maaf.”

Ais terdiam mendengar penjelasan itu. Ia menarik napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya secara kasar. “Jadi, kamu ditiduri?”

“Uh?”

“Kamu ditiduri, ‘kan?” gumam Ais datar. “Apa yang kamu rasakan?”

“Enggak ingat.”

“Baguslah,” desis Ais datar, “kamu tidak boleh tidur dengan siapa pun.”

“...”

Gempa yang diam di dekat pintu kelihatan bingung. Apa yang akan terjadi di sini? Sepertinya itu ... bukan hal buruk. Dari ekspresi Ais, dia sudah sedikit melunak, sekiranya begitu.

“Okey, aku udah dengerin semuanya,” gumam Ais datar. “Lalu, kamu bilang mau membawaku pergi biar kamu baik-baik saja. Jadi, kamu butuh aku?”

“Ya.”

“Harusnya kamu bilang, apa sulitnya kamu mengatakan itu?”

“Uh, bukanya waktu itu aku langsung bilang untuk kamu tidak pergi?” Halilintar bergumam pelan. “Tapi, kamu memilih pergi.”

“Karena aku kesal denganmu,” desis Ais, “alasanmu selalu itu ... sibuk, sibuk, sibuk, sibuk, sibuk. Kau pikir yang sibuk hanya kamu? Gem sibuk, Taufan sibuk, aku juga sibuk, tidak hanya kamu. Kita manusia perlu uang buat makan, ya mau tidak mau harus sibuk.”

“Maaf,” gumam Halilintar.

“Maaf lagi,” desis Ais malas. Dia langsung berdiri, kemudian mendekat pada Halilintar yang duduk di sofa, dengan pelan Ais menarik dagu Halilintar, “Bagaimana menurutmu dengan bottom yang di atas?”

Wajah Halilintar langsung memerah, “Itu...”

“Bagus, ‘kan?” gumam Ais dingin, “anggap saja ... ini ada hukuman kecil untukmu.”

Gempa yang ada di sana menghela napas, ia perlahan menutup pintu kamar Ais, lalu bergumam, “Hahh ... saatnya pulang, kupikir?”



••



Ais itu bottom, dia itu terlihat seperti pemuda manis yang tingginya hanya 165 cm, tapi, dia menawan. Tubuhnya tidak setinggi itu untuk laki-laki. Namun, Ais itu sering melakukan gym, badannya cukup bagus walau tidak sekekar Taufan maupun Halilintar.

Dan selain tubuhnya yang cukup bagus dan wajahnya menawan, lidah Ais itu pandai memainkan penis Halilintar. Sekiranya itulah yang sering Halilintar rasakan zaman masih SMA dan kuliah.

“Ngh...”

Dengan lihai Ais menyesap penis kekasihnya itu, menekan ujungnya menggunakan lidah, dan membuat Halilintar mengerang pelan karenanya. Lidahnya bergerak lihai, ia mengulum penis itu bagaikan itu sebuah lolipop. Sudah lama Ais tidak melakukannya dan dia melakukannya sekarang, dengan Halilintar berada di sofa dan Ais ada di bawah untuk memainkan penis itu.

Ais lalu memasukkan penis Halilintar lebih dalam ke dalam mulutnya, ia terus bermain di sana hingga Halilintar mengerang dengan suara yang agak keras.

“Nghh ... Ais!”

Tangan Halilintar dengan agak pelan meremas rambut Ais, menekannya lebih keras sehingga seluruh penisnya memasuki mulut kekasihnya. Sudah lama dia tidak merasakan, sudah lama Ais tidak mengisap miliknya, rasanya memuaskan, Halilintar ingin mengisi Ais dengan cairan miliknya.

“Hngh...”

Ais mengerang tanpa suara dengan air mata yang sudah menetes pelan. Halilintar kemudian mengerang keras dan Ais langsung mundur begitu Halilintar mengeluarkan cairan miliknya. Cairan itu dengan santai Ais telan, lalu membuat wajah Halilintar menjadi memerah.

“Uh, kamu menelannya.”

“Apa itu salah?” balas Ais dengan santai sembari menjilat bibirnya. Dia lalu berdiri dan melepaskan kaos miliknya. Dengan santai dia duduk di atas pangkuan Halilintar. “Aku sudah bilang kalau ingin melakukan bottom di atas, ‘kan? Bagaimana? Mau?”

“Aku lebih suka ... menidurimu,” gumam Halilintar pelan.

“Hm ... sebentar,” gumam Ais, “ayo pindah ke ranjang, lubangku pasti sempit ... kau perlu membuatnya lebih mudah untuk dimasuki.”

“Iya-iya,” gumam Halilintar, “apa kamu punya pelumas?”

“Punya,” jawab Ais pelan.

Ais segera berjalan ke rak mejanya, ia membukanya dan mengambil sebuah pelumas di sana. Tiba-tiba Halilintar memeluknya dari belakang, mulai meraba perutnya, lalu naik ke atas dan menyentuh kedua putingnya.

Ais mengerang pelan, ia lalu bergumam, “Ngh ... Hali.”

“Apa?” bisik Halilintar pelan.

“Ber—ah...”

Ais mengerang lebih keras sewaktu Halilintar menarik kedua putingnya, lalu mulai memainkan keduanya. Tubuh Ais menjadi bergetar, perlahan Halilintar memutar tubuh sang kekasih dan segera mendorongnya hingga rebahan di atas ranjang.

Dengan santai Halilintar menindih Ais, lalu mulai melucuti celana Ais hingga Ais benar-benar tanpa busana.

“Nyebelin,” cicit Ais pelan.

Halilintar tersenyum simpul, ia dengan santai melebarkan kedua kaki Ais, kemudian bergumam pelan, “Tenang ... aku akan buat lubangmu tidak sempit lagi.”

Wajah Ais memerah, sedang Halilintar segera mengambil pelumas, menuangkannya ke tangannya. Ia kemudian segera menggunakan jarinya untuk mulai memasuki lubang Ais.

Erangan Ais terdengar begitu Halilintar memasuki lubangnya, pertama hanya satu jari, tapi, reaksi Ais terlalu sederhana sehingga jari kedua memasuki lubang itu lebih keras.

“Ahhh!” Ais mengerang kaget, ia mulai mengeluarkan suara erotisnya lebih keras.

“Lama tidak mendengar suaramu yang erotis,” bisik Halilintar pelan, sembari terus bermain di lubang kekasihnya. “Kuharap, ketika milikku yang masuk, suaramu akan lebih keras lagi.

“Hahh ... hahh.” Ais terengah-engah, ia lalu berbisik, “Berisik, lakukan lebih keras kalau kau mau mendengar suaraku lebih erotis.”

Senyuman Halilintar segera tercipta di sana, ia buru-buru mendesis, “Berbaliklah.”

Halilintar menarik tangannya, Ais lalu berbalik dan segera menungging. Di sana Halilintar kembali memasukkan jarinya, kali ini tiga jari hingga Ais mengerang kaget dan mendesahkan nama Halilintar dengan sangat keras.

“Ahh! Hali!” serunya.

Halilintar dengan santainya meremas pantai Ais sambil terus bermain di dalam lubang Ais. Ia mencari spot kenikmatan yang biasanya membuat Ais puas. Dan ketika erangan panjang itu keluar, Halilintar tahu ia sudah menemukannya.

Dia dengan santai menabrakkan ketiga jarinya di sana, membuat Ais mengalunkan melodi erotis itu dengan keras. Ais terus mengerang hingga akhirnya dia mengeluarkan mencapai batasnya dan datang.

Tubuh Ais terasa lemas, sayang dia belum bisa beristirahat. Halilintar dengan santai melepaskan pakaiannya, dia segera membasahi penisnya dengan pelumas, kemudian mendekatkannya pada lubang manis yang siap ia masuki kapan saja.

“Bagaimana jika aku memasukimu sekarang, Ais?” bisik Halilintar.

“Uh ... lakukan,” bisik Ais pelan, “penuhi aku, Hali.”

Halilintar tersenyum tipis, ia dengan santai mendorong penisnya masuk ke dalam. “Ugh, masih sempit ... tapi, bisa.”

Ais mengerang panjang, kedua tangannya meremas ranjang dan air matanya menetes akibat rasa sakit serta kenikmatan yang ia rasakan sekarang. Tubuhnya gemetaran merasakan penis kekasihnya memasukinya begitu dalam.

“Ahhh!”

Halilintar mendorong keras hingga mencapai titik di mana Ais merasakan kenikmatannya. Di sana dia langsung datang, bahkan tanpa Halilintar melakukan pergerakan lainnya.

“Uwah, kamu datang,” bisik Halilintar. Ia tersenyum sinis sembari mencengkeram pinggang kekasihnya. “Padahal aku baru akan bergerak.”

“H-hahh ... hah, Hali ... uh—ahh!”

Halilintar kemudian mulai menggerakkan pinggulnya, mulai menggerakkan penisnya maju dan mundur untuk memuaskan kekasihnya—atau malah dirinya?

Desahan Ais mengalun tenang di kamar itu, dia mendesah keras sembari meracau tidak jelas memanggil nama Halilintar. Kedua tangannya dikunci dan Halilintar menidurinya dengan begitu keras. Mungkin dinding yang diam di sana sudah menjadi saksi bisu untuk kegiatan seksual yang mereka lakukan.

Halilintar dengan santai menyentuh perut Ais yang sudah terasa begitu penuh. “Ahh, jangan sentuh, itu agak ... ahh, Hali!”

Halilintar mengabaikan teriakan Ais, dia dengan santai menarik paksa kekasihnya untuk berbalik, sehingga dia bisa menciumnya. Ciuman segera terjadi, lidah Halilintar memaksa Ais untuk saling terjalin. Ais hanya bisa pasrah, sepertinya bottom di atas tidak akan bisa Ais lakukan.

Setidaknya untuk sekarang tidak.



••



Bonus Story

Pagi yang membuat pinggang Ais sakit. Begitu ia membuka mata, pinggang dan selangkangannya sangat sakit. Dan otaknya segera bekerja untuk mengingat apa yang terjadi semalam.

Ya, Halilintar menidurinya cukup lama, entah berapa lama Halilintar menidurinya. Sejujurnya Ais tidak ingat.

“Ais.”

Ais menoleh pelan dan mendapati Halilintar sudah membuka kedua matanya. Dia segera menarik Ais dan memeluknya bagaikan sebuah guling.

“Jangan pergi.”

“Aku tidak bisa pergi,” gumam Ais malas, “selangkanganku sakit, idiot.”

“Hm? Maaf,” gumam Halilintar. “Nafsuku terlalu besar.”

Ais cemberut, dia hanya menghela napas dan tersentak begitu merasakan Halilintar meremas pantatnya. “Tunggu! Apa yang kamu lakukan?!”

“Kupikir aku ingin menidurimu lagi.”

“Hah? Tidak! Aku tidak—ahh...”

Kedua puting Ais mulai dijilat dengan lidah Halilintar, Ais mengerang pelan. “Tubuhmu menginginkanku.”

“Uhhh...” Ais menggeram pelan, wajahnya memerah malu. “Dasar ... sialan!”

End

••

Author Note

Hm, bagian dewasany semoga gak aneh ya. Huhu, aku sudah lama gak buat cerita dewasa. Kaku mungkin? Maaf ya😭hehe. Untuk book ini hanya akan berfokus dengan one shot ais bottom ya. Gak ada bottom lain selain ais, ada pun paling hanya sampingan doang, kayak TauGem di sini. Intinya di book ini semua isinya soal Ais. Mau kuship sama siapa tergantung mood. HEHEHE. Sekian dan makasih. Oke, saatnya hibernasi. Aku buat kalau mood.

Oh iya, selain sama BoEl, aku juga bakal buat BoFu x Ais. Hehe. Enaknya siapa, ya? NANTIKAN! DADAH!

AKU MEMANG CINTA AIS BOTTOM SOALNYA😁hehe. Love you all. Hehehe.


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 2 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

[BL] Ais Bottom (kumpulan one shot)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang