Agnest melihat ke arah jam dinding, sudah pukul sembilan malam, tapi suaminya belum juga datang. Padahal sesuai janjinya, ia hanya sebentar ke kantor. Mata Agnest melirik ponselnya di samping, berharap ada telfon balik dari Alfred, tangannya juga sedang sibuk menjahit kancing kemeja Alfred yang lepas.
Fokusnya pecah, ketika mendengar suara mobil yang lewat di depan teras rumahnya. "Alfred pulang?" gumamnya, ia berhenti menjahit dan menaruh bajunya di atas.
Agnest berdiri di ambang pintu teras rumah mereka, memandangi Alfred yang baru saja memarkir mobilnya dan berjalan masuk ke rumah. Langkah Alfred terlihat berat, kepalanya sedikit tertunduk, seperti ada beban besar yang dipikulnya.
Begitu ia tiba di hadapannya, Agnest langsung mengomel tanpa jeda. "Kamu tuh ya, katanya gak akan lama? Ini udah hampir jam sepuluh malem, Fred! Kamu abis ngapain sih?!" suaranya meninggi, penuh kekesalan yang bercampur kekhawatiran. "Telfon gak diangkat, gak ada kabar. Kamu seneng ya bikin aku khawatir?"
Alfred hanya berdiri mematung. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana, sementara matanya yang sembab menatap kosong ke arah istrinya. Tidak ada respons, tidak ada pembelaan, bahkan tidak ada senyuman yang biasa ia gunakan untuk meredakan emosi Agnest.
"Sayang?" nada suara Agnest berubah, dari marah menjadi cemas. Ia mendekat dan menangkup kedua pipi suaminya. Matanya menatap lekat, mencari penjelasan di balik sorot mata yang terlihat begitu letih. "Kamu kok kayak abis nangis? Kamu kenapa?"
Alfred menunduk, bibirnya tertutup rapat seolah kata-kata yang ingin keluar tertahan di kerongkongannya. Agnest mengguncang pelan lengan Alfred, mencoba membuatnya bicara. "Jawab dong, sayang! Kamu bikin aku takut."
Akhirnya, Alfred menarik napas dalam dan mencoba berkata, meski suaranya terdengar berat dan patah-patah. "Mulai sekarang. . . aku bakal lepas jabatan kamu sebagai pimpinan Technology Group," ucapnya lirih.
Kata-kata itu langsung membuat Agnest terkejut. Matanya membelalak, bingung dengan keputusan yang datang begitu tiba-tiba. "Apa?" Ia mencoba mencerna kalimat itu, namun tidak berhasil. "Kenapa? Aku bikin salah sesuatu ke kamu atau ke perusahaan kamu?"
Alfred memalingkan wajah, tidak sanggup melihat mata istrinya yang kini dipenuhi kecemasan. Ia menggenggam tangan Agnest yang masih menangkup pipinya, mencoba menenangkan, meski tangannya sendiri gemetar. "Aku cuma pengen kamu cari pekerjaan yang gak berat. Aku gak mau kamu kecapean," jawabnya singkat.
"Tapi kenapa dadakan?" suara Agnest melembut, namun penuh dengan rasa ingin tahu. Ia tidak puas dengan penjelasan Alfred yang terlalu sederhana untuk sesuatu yang sebesar ini. "Fred, aku yakin ada sesuatu yang habis ngusik kamu. Bilang sama aku, Fred. Ada apa?"
Alfred kembali terdiam. Kata-kata itu menusuknya, Agnest merasa ada rahasia besar yang ia coba sembunyikan. Matanya yang sembab kembali berkaca-kaca, namun ia tetap menahan diri. Bibirnya bergetar, ingin mengungkapkan semuanya, tapi rasa takut menghalanginya untuk berbicara.
"Sayang?" bisik Agnest, tangannya kini memeluk wajah Alfred, jempolnya mengusap pelan sudut mata suaminya yang mulai basah. "Kamu tau aku gak akan marah. Aku cuma mau tau, apa yang bikin kamu kayak gini?"
Alfred tenggelam dalam kebingungannya sendiri, bertanya-tanya apakah ini saat yang tepat untuk mengungkapkan kenyataan pahit yang ia ketahui.
"Kamu mungkin emang gak akan marah, Nest. Tapi aku yang marah, aku marah sama diriku sendiri, dan semuanya. Bahkan rasanya aku ingin marah sama Kakek," batin Alfred. "Agnest, apa jadinya setelah ini, kalo aku ngeliat kamu kesakitan dan sedih setiap hari?"
Alfred menghela napas panjang, mencoba menguatkan hatinya. Tangannya menggapai tangan Agnest yang masih memeluk wajahnya, menggenggamnya erat seolah tidak ingin melepaskan. Akhirnya, ia hanya bisa pasrah, tidak ada gunanya lagi menyembunyikan kebenaran.

KAMU SEDANG MEMBACA
Second Life | Jaehyun X Karina X Jeno
Lãng mạnAgnest, seorang dokter yang mati tahun 1942, kembali bangkit dari kematiannya. Ia terbangun di tahun 2024, karena sebuah mesin penelitian yang dibuat oleh seorang mantan militer Hindia Belanda. Namun, ia harus bergelut antara masa lalu dan masa dep...