༘ ⋆。 2 ˙⋆.˚

8 1 0
                                    

🦋happy reading🦋

•••

Pemuda itu menatap gadis di hadapannya dengan tatapan setengah jengkel, setengah bingung. Luna, dengan rambut basah yang masih meneteskan air hujan, tampak tidak punya niat untuk pergi dari toko ini. Pemuda itu menghela napas panjang, memutuskan untuk tidak membiarkannya jatuh sakit.

"Duduklah di dekat perapian," katanya singkat, suaranya terdengar dingin.

Luna menurut, meskipun ia melirik penjaga toko dengan rasa penasaran yang tidak ia sembunyikan. Begitu ia duduk di kursi kayu yang hangat, pemuda itu mendatanginya lagi dengan handuk, selimut, dan secangkir teh yang mengepul. Luna menerimanya dengan senyum lebar.

"Terima kasih!" katanya riang, menyeka rambutnya dengan handuk. "Aku tidak menyangka kau cukup perhatian."

Pemuda itu mendengus pelan, mengambil posisi di kursi di seberangnya, dan kembali pada buku yang tadi sempat ia letakkan. "Aku hanya tidak ingin kau meninggalkan genangan air di lantai."

Luna terkikik. "Ya ampun, kau benar-benar tidak bisa bersikap baik pada pengunjungmu, ya?"

Pemuda itu hanya mengangkat bahu, tak menggubris komentar itu.

Setelah beberapa saat menikmati teh hangat dalam keheningan yang canggung, Luna akhirnya angkat bicara. "Jadi, siapa namamu?" tanyanya sambil menatap pemuda itu yang masih tenggelam dalam bukunya.

Pemuda itu meliriknya dari balik buku, tampak ragu apakah ia harus menjawab. "Kai," katanya akhirnya, singkat dan dingin.

Luna mengangguk kecil, mencoba mengingat nama itu. "Kai," ulangnya pelan. "Nama yang sederhana... tapi cocok untukmu."

"Aku Luna," katanya cepat. "Seperti bulan."

Kai tidak menanggapi, hanya kembali fokus pada bukunya. Tapi di dalam pikirannya, nama itu terulang beberapa kali, seolah-olah ada sesuatu yang menggelitik perasaannya. Luna. Nama yang terdengar terang, kontras dengan kegelapan tempat ini.

Luna ingin bertanya lebih banyak-tentang toko ini, tentang Kai, dan mengapa pria seusianya berada di tempat aneh seperti ini-tetapi ia mengurungkan niatnya. Wajah Kai yang serius dan tatapan tajamnya membuatnya merasa ia bisa diusir kapan saja jika terlalu banyak bicara.

Saat akhirnya hujan mulai reda, Kai menutup bukunya dengan satu gerakan cepat dan berdiri. "Hujan sudah berhenti. Pulanglah, jika tidak ada yang kau butuhkan di sini."

Luna terkejut dengan perintah itu. "Tidak mau!" katanya sambil menggeleng keras. "Aku tidak akan pulang. Aku bisa tinggal di sini, membantumu menjaga toko."

Kai memutar matanya, merasa gadis ini benar-benar sulit diajak bicara. "Toko ini tidak butuh bantuan. Kau tidak bisa tinggal di sini."

"Kenapa tidak?" tantang Luna, lipatan di dahinya semakin dalam. "Kau bilang ini hanya toko buku biasa, kan? Aku suka tempat ini."

Kai menatap Luna lebih lama kali ini, seperti sedang mencoba membaca sesuatu di dalam dirinya. "Kau benar-benar tidak akan pergi?" tanyanya akhirnya.

Luna menggeleng keras. "Tidak. Aku suka tempat ini, dan aku tidak punya tempat lain untuk pergi."

“Apa keluargamu tidak mencarimu?” tanyanya akhirnya.

Luna terdiam sejenak sebelum mengangkat bahu. “Mereka mungkin tidak peduli padaku,” jawabnya pelan. Tapi nada suaranya menyiratkan lebih dari sekadar kekecewaan—ada rasa sakit yang tersembunyi di sana.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 21 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Bookshop Of FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang