Plak~
Suara tamparan terdengar nyaring di ruangan luas bernuansa gelap itu. Seorang gadis tampak memegangi pipinya yang memerah dengan kepala tertunduk. Matanya berkaca siap menumpahkan isinya tapi dirinya menahan, tak ingin membuat pria dihadapannya semakin murka karena dirinya lemah.
"Apa yang kamu lakuin hah, kenapa bisa adik kamu luka kayak gitu." Matanya berkilat marah menghardik gadis dihadapannya.
"Maaf pa" ucap gadis itu pelan.
"Kamu ini seorang kakak, jadi jalanin tugas kamu sebagai seorang kakak yang baik lindungi adik kamu. Papa sudah bilang perhatikan adik kamu jaga dia jangan sampai dia terluka, tapi apa?"
Menghela nafas kasar sang papa kembali melanjutkan ucapannya "Dia terluka gara-gara kamu, bajunya basah dan rambutnya berantakan, kamu sebagai kakak tidak bisa melindunginya sama sekali."
Tidakkah papanya sadar bahwa saat inipun penampilan Araya juga berantakan. Pergelangan tangan serta lutut yang memerah jangan lupakan lebam di dahi dan di punggung yang tidak terlihat. Ditambah dengan kejadian barusan menambah luka baru di pipi tetapi yang paling sakit adalah hatinya.
Ara mengangkat pandangannya menatap sosok yang ia sebut papa "A-aku nggak tau ka-kalau Luna di bully pa"
"Kenapa kamu nggak tau? Kamu satu sekolah sama dia, kamu memang nggak becus jagain Luna."
Ara tak bisa menahannya, akhirnya air mata itu meluruh bersamaan dengan ucapan menyakitkan dari papanya. Dirinya ingin membela diri bahwa ia sudah berusaha melindungi Luna sampai dirinya sendiri terluka tapi Ara takut papa semakin marah.
"Maaf pa"
"Yang kamu bisa cuma maaf terus nggak guna, sekarang kamu keluar sebagai hukuman nggak ada jatah makan malam buat kamu." Papanya kembali duduk di balik meja kerjanya tak menghiraukan lagi keberadaannya.
Ara segera berbalik menuju pintu, keluar dari ruangan kerja papanya. Dirinya berjalan menuju kamarnya, tapi ditengah jalan dia berpapasan dengan Luna sang adik.
"Kakak" sapanya.
Araya tersenyum tipis menanggapi "Kenapa belum istirahat? Udah makan?" Tanya Ara tapi tak Luna hiraukan, adiknya sibuk memandangi dirinya yang begitu berantakan.
"Kakak maafin Luna" Luna menatap Ara dengan mata berkaca.
"Sstt.. udah kakak nggak papa, kamu mending istirahat kakak juga mau istirahat." Araya kembali melanjutkan langkahnya, entah mengapa melihat sang adik membuat hatinya semakin sakit.
Sesaat setelah masuk kamar Ara segera menghempaskan tubuhnya di ranjang. Matanya menatap langit-langit kamarnya tetapi pikirannya melayang jauh.
Dulu dirinya begitu disayangi oleh kedua orang tuanya, sebelum sebuah kejadian yang membuat sang mama harus meninggalkan dirinya dan papa bersama adik kecil yang umurnya belum cukup untuk hadir melihat dunia.
Luna terlahir prematur dengan fisik yang lemah, oleh sebab itu Ara sebagai sang kakak sejak kecil di tugaskan untuk menjaga sang adik oleh papa. Tapi mengapa disaat Ara sudah berusaha menjaga sang adik malah dirinya yang terluka.
Tanpa sadar air matanya menetes, Ara mengigit bibir menahan isakan yang lolos. Hatinya sesak tiap kali melihat Luna begitu di jaga oleh sang papa sedangkan dirinya malah dilukai.
Araya mencoba memahami semua itu, Luna itu lemah dan perlu dijaga ia mengerti sang papa takut kehilangan Luna tapi.. apakah papa tidak takut kehilangan dirinya?
Dan apakah dirinya berharga untuk sang papa?
"Hiks.. mama.."
End.
Araya
Papa
Luna