Bab 17: Menjelajahi Rasa Sakitnya

3 1 0
                                    

Koridor-koridor istana yang tenang remang-remang oleh sinar matahari sore yang masuk melalui jendela-jendela tinggi. Yura berjalan hati-hati, langkah kakinya ringan saat ia memasuki area yang jarang ia kunjungi. Konfrontasinya dengan Seojin sebelumnya masih membekas dalam benaknya, rasa ingin tahunya tentang rasa sakitnya kini lebih tajam dari sebelumnya.

Narasi (Pikiran Yura) : (reflektif) Dia menanggung begitu banyak beban, begitu banyak ketakutan. Namun, dia menolak untuk membaginya dengan siapa pun. Jika aku ingin menghubunginya, aku perlu memahami apa yang membuatnya seperti ini.

Dia melihat sekeliling, memastikan tidak ada yang melihat, sebelum masuk ke ruang kerja yang tidak terpakai yang pernah disebutkan oleh staf. Debu-debu beterbangan di udara saat dia menutup pintu di belakangnya dengan pelan.

Yura mengamati ruangan, matanya tertuju pada meja kayu kokoh di sudut. Laci-laci sedikit terbuka, dan dia ragu sejenak sebelum melangkah mendekat. Di dalam, dia menemukan seberkas kecil surat menguning yang diikat dengan pita yang sudah usang. Jantungnya berdebar kencang saat dia membuka yang pertama, tulisan tangan yang tidak dikenal tetapi elegan.

Narasi (Pikiran Yura) : (penasaran) Surat? Dari siapa?

Matanya menelusuri kata-kata, menyusun kembali potongan-potongan hubungan yang tegang.

Surat :
"Seojin, aku tahu kau takkan pernah memaafkan kepergianku, tapi kuharap suatu hari nanti kau akan mengerti. Istana ini terasa sesak, dan aku tak bisa tinggal. Kau masih sangat muda... terlalu muda untuk menanggung beban ini. Kumohon ketahuilah bahwa aku tak pernah berhenti mencintaimu, bahkan saat aku pergi."

Napas Yura tercekat saat kata-kata itu meresap. Dia mengambil surat lainnya, tangannya sedikit gemetar.

Surat :
"Ayahmu memang keras, tetapi dia yakin bahwa itulah satu-satunya cara untuk membuatmu kuat. Aku tidak setuju, tetapi aku terlalu lemah untuk melawannya. Kau pasti menganggapku pengecut, dan mungkin kau benar. Namun, aku harap kau akan menjadi pria yang selalu kau inginkan—kuat, tetapi tidak tanpa perasaan."

Yura meletakkan surat itu, dadanya terasa berat. Jari-jarinya menyentuh jari-jari lainnya, tetapi dia ragu untuk membaca lebih lanjut.

Narasi (Pikiran Yura) : (sedih) Ibunya... meninggalkannya. Dan ayahnya memaksanya untuk menanggung semuanya sendirian. Tidak heran dia begitu berhati-hati. Kehilangan cinta dan tidak memiliki apa pun kecuali harapan...

Rasa sakit dalam kata-kata itu bergema dalam hatinya, dan dia merasakan duka mendalam untuk bocah lelaki kesepian yang tumbuh menjadi pria yang dikenalnya sekarang.

Yura duduk di tepi meja, tatapannya kosong saat ia memproses apa yang telah dipelajarinya. Surat-surat itu telah memberinya sekilas gambaran tentang dunia batin Seojin—dunia yang ia kunci rapat-rapat. Desahan pelan keluar dari bibirnya.

Narasi (Pikiran Yura) : (bersimpati) Dia menjalani seluruh hidupnya dengan berusaha menjadi kebal, berusaha melindungi dirinya agar tidak ditinggalkan lagi. Setiap aturan, setiap tembok yang dibangunnya... semuanya karena dia takut.

Dia mengambil surat pertama lagi, matanya menatap kata-kata "Aku tidak pernah berhenti mencintaimu." Hatinya sakit memikirkan seorang anak yang mendambakan cinta yang tidak pernah terbalas.

Yura : (dengan suara pelan) Seojin... apakah ini sebabnya kamu begitu takut mempercayaiku? Karena kamu pikir aku akan meninggalkanmu juga?

Suaranya sedikit bergetar, beban luka tersembunyi yang dialaminya menekannya. Untuk pertama kalinya, ia merasakan dorongan yang kuat untuk tidak hanya memahaminya, tetapi juga membantunya pulih.

Yura dengan hati-hati mengikat kembali surat-surat itu dan mengembalikannya ke dalam laci. Saat menutupnya, ia menarik napas dalam-dalam, kenangannya sendiri muncul kembali. Ia bersandar di meja, matanya terpejam saat potongan-potongan masa lalunya melintas di benaknya.

Narasi (Pikiran Yura) : (reflektif) Aku tahu bagaimana rasanya merasa sendirian, menanggung beban harapan orang lain. Aku juga kehilangan banyak hal—kebebasanku, mimpiku, hubunganku dengan kehidupan yang pernah kukenal. Mungkin itu sebabnya aku bisa melihat rasa sakitnya dengan sangat jelas.

Dia membuka matanya, ekspresinya tegas. Kedekatan yang dia rasakan dengan penderitaan Seojin memperkuat tekadnya.

Yura : (berbisik pada dirinya sendiri) Kita tidak begitu berbeda, bukan? Tapi aku telah belajar untuk terus maju, bahkan dengan bekas luka. Mungkin... mungkin aku bisa membantunya melihatnya juga.

Saat dia keluar dari ruang belajar dan menuju koridor, pikirannya tetap tertuju pada Seojin. Kekasaran tindakannya, kekakuan kendalinya, semuanya tampak berbeda sekarang—masih membuat frustrasi, tetapi tidak lagi tanpa perasaan.

Narasi (Pikiran Yura) : (terselesaikan) Dia tidak kejam secara alami. Dia melindungi dirinya sendiri dengan satu-satunya cara yang dia tahu. Namun, itu tidak berarti dia harus terus menderita sendirian.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 13 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tawanan Pangeran DinginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang