Di dapur itu, Nick dan Tessa saling diam. Mereka berdiri, memandang satu sama lain dengan tatapan sama keras kepalanya. Setidaknya, Nick yakin bahwa pendapatnyalah yang benar, dan Tessa tak mau kalah, walau tahu bahwa Nick memang benar. Ia menolak fakta yang dituturkan pemuda itu.
Setelah sekian waktu lamanya, akhirnya Nick memilih mengalah. Ia menawarkan Tessa untuk makan malam, tetapi gadis itu menolak.
"Aku ingin kembali ke kabinku." Baru berjalan beberapa langkah, Nick mencegatnya. Lengannya menghalangi jalan gadis itu.
"Aku tak bisa mengambil risiko lagi. Kau harus tetap di sini. Aku akan mengawasimu."
Bibir Tessa menganga. Ia melirik Nick dengan raut marah. "Lepaskan aku!" serunya menyingkirkan lengan pemuda itu. Alih-alih, Nick menempatkan dirinya ke hadapan Tessa, menjadi penghalang di antara gadis itu dan pintu.
Tessa mendesah. "Aku tidak akan mencari Luke lagi. AKu berjanji. Sekarang, biarkan aku pergi!"
Nick menggeleng. "Maaf, Tessa, aku benar-benar tak mau ambil risiko." Ia lantas menarik pinggang gadis itu, memanggul tubuhnya.
"Lepaskan aku!" Sang gadis memberontak ketika Nick membawanya ke kamar, mengempaskannya ke ranjang, kemudian keluar. Ia bangkit dan mencoba mengejar Nick tetapi pemuda itu menutup pintu kamar kemudian menguncinya. "Hei! Buka pintunya!"
Tessa menggedor-gedor pintu kamar Nick, tetapi tak ada tanggapan. Ia bahkan menendangnya untuk meluapkan emosinya. Setelah mengerang, berteriak, dan menjambak rambutnya sendiri karena frustrasi, akhirnya ia mampu mengendalikan diri. "Oke," katanya, "aku akan tinggal di sini, tetapi buka pintunya. Kau tak bisa mengurungku begitu saja."
Gadis itu menunggu jawaban dengan menempelkan telinga ke daun pintu. Terdengar gesekan benda, langkah kaki, dan dentingan gelas, tetapi tak ada sahutan. Tessa mengatupkan bibirnya rapat, memukul pintu dengan tinjunya, kemudian menyesal saat buku-buku jarinya sakit. Ia mengatur napas, syaraf, dan emosinya. "Nick, aku tahu kau bisa mendengarku. Kumohon, jangan mengurungku begini. Aku benci dikurung."
"Demi Tuhan, Tessa, kau tak memberiku pilihan!" Suara Nick terdengar putus asa. Langkah kaki terdengar mendekati pintu, kemudian Tessa merasakan daun pintu seperti ditekan. Rupanya di luar, Nick menyandarkan punggungnya ke daun pintu. "Aku ingin kau aman. Aku juga ingin kaumku aman. Hanya itu."
"Kalau begitu, kau bisa mengawasiku tanpa harus mengurungku, kan?" usul gadis itu.
Nick menyahut, "Aku tidak bisa terus bersamamu. Ada tugas yang harus kulakukan."
"Oh, ayolah, Nick ...." Tessa masih belum menyerah. Akan tetapi, selagi ia berbicara seperti itu, ia mendengar langkah Nick menjauh. Ia menjadi panik. "Hei, kau tidak sungguh-sungguh melakukannya, kan? Ini cuma gertakanmu, kan? Berapa lama aku akan dikurung?"
Gadis itu juga mendengar pintu kabin dibuka, kemudian ditutup, lalu dikunci.
Tessa semakin panik. "Nick!" Hanya kesunyian yang menjawabnya. Ia mengutuk pemuda itu, mengumpatinya dengan kata-kata kotor yang dia tahu, kemudian akhirmya lelah. Ia menyerah. Ia sempat berpikir mengacak-ngacak kamar pemuda itu untuk balas dendam, tetapi kamar itu begitu rapi, bersih, dan ketika membuka almari, ia melihat pakaian Nick ditata sesuai warna, membentuk gradasi yang bahkan Tessa tak berani menyentuh saking sempurnanya.
"Dasar cowok penggila kerapian!" Akhirnya Tessa menyusup ke balik selimut dan merebahkan kepalanya ke banyat. Di langit-langit, Tessa melihat jutaan bintang. Bukan karena tak ada atap di kamat itu, tetapi Nick menghiasi langit-langitnya dengan suatu benda yang menyala dalam gelap. Aroma mawar membuai gadis itu. Ia mencopot mantelnya, melemparnya begitu saja ke lantai sebagai hukuman untuk pemilik kamar yang gila kerapian itu. Selimut memberinya kehangatan. Ia menarik benda itu ke hidungnya, mencium aroma menenangkan itu.
Ia teringat ketika Luke menyentuhnya tadi dan darahnya mendesir. Tangan Luke yang kasar, matanya yang menyorot liar, bibirnya yang rakus, tetapi kemudian citra Luke berganti dengan sosok Nick. Bibir pemuda itu begitu ranum, lekuknya sempurna, Tessa menggigit bibir bawahnya ketika membayangkan bibir itu yang menciumnya, yang menjelajahi tubuhnya. Tangan Nick panjang dan halus, pasti menyenangkan ketika dia menyentuh kulitnya secara ringan, dan .... Hentikan! Aku pasti sudah gila, pikir gadis itu membuka matanya lebar-lebar. Ia harus menghentikan dirinya yang berpikir tidak-tidak.
Nick itu menyebalkan, Tessa meyakinkan dirinya. Pemuda itu tak berhak ikut campur urusannya! Seharusnya, Tessa sudah menghabiskan malam ini bersama Luke, tetapi gara-gara dia, semuanya kacau. Ia membenci pemuda itu. Lagi pula, bukan Luke yang sok, tetapi Nick. Dia juga angkuh! Pokoknya Tessa membencinya. Harus membencinya.
Sayangnya, aroma mawar dan kehangatan selimut di kamar itu membuat sang gadis selalu memikirkan Nick, bahkan sampai terbawa mimpi.
Dalam mimpi itu, citra sang pemuda sangat jelas. Ia tampak ramah dan senyumnya membuat setiap wanita tergila-gila. Namun, raut wajahnya mendadak berubah dingin. "Kau tidak seharusnya ke sini. Kau membahayakan kami." Kemudian dengan bengis ia menusuk Tessa menggunakan belati berkali-kali. Darahnya menyembur, membasahi kemeja pemuda itu. Namun, yang membuat gadis itu merinding adalah ekspresi Nick ketika membunuhnya, tenang tetapi mematikan.
Tessa bangun dengan napas terengah. Tubuhnya gemetar, tetapi ia tak ingat apa yang membuatnya gemetar. Ia melupakan mimpinya. Pintu kamar terbuka, Tom-tom menyelinap masuk, membawa sebaki sarapan. Tessa baru sadar hari sudah pagi. Cahaya merasuk melewati jendela, udara segar masuk melalui kisi-kisi kabin.
"Selamat pagi, Miss. Blackthorne," sapa bocah itu. Senyumnya lebar sekali, membuat Tessa tak bisa menolaknya. "Nick memberi kesempatan pada saya untuk mengantar makanan. Baik sekali dia."
Tessa menoleh ke pintu dan di sana pemuda itu bersandar pada kusen. Sosoknya yang tinggi terlihat berantakan, masih mengenakan kemeja semalam. Rambutnya sama acak-acakan. Kakinya yang jenjang menghalangi jalan. Satu tangannya dimasukkan ke saku sementara tangan lainnya menyuapkan apel ke mulut. Tessa sadar tak memiliki kesempatan meloloskan diri. Ia pun mendesah pasrah.
"Apa ada hal lain yang Anda butuhkan?" tanya Tom-tom, masih nyengir. Pipinya yang tembam dan kemerahan membuat Tessa ingin mencubitnya, sebagai pelampiasan kekesalannya terhadap sang kakak. Ia tahu alasan Nick menyuruh Tom-tom mengantar sarapan. Tessa tak mungkin berkata kotor di depan bocah itu. Ia juga tak bisa menghajar Nick di hadapannya. Dan tak mungkin Tessa menolak makanan itu. Hati Tom-tom bakal terluka dan Tessa tak menginginkan Tom-tom sakit hati. Benar-benar licik, batinnya.
Bocah itu lantas duduk di sisi ranjang. "Apakah Anda ingin saya suapi?"
Tessa tersenyum masam. "Tidak, terima kasih." Ia menoleh pada Nick yang memandangnya sembari menikmati apel, lalu beralih pada Tom-tom yang tak kunjung pergi. "Apa lagi?" tanyanya.
"Saya tak boleh keluar sebelum melihat Anda menghabiskan sarapan, Miss. Blackthorne."
"Ugh!" Tessa benar-benar ingin mengumpat pada Nick, tetapi menahannya. Ia tak memiliki pilihan. Sambil memelototi pemuda itu, ia memakan roti yang diolesi mentega, daging ham, dan salad.
Tom-tom kembali membawa baki berisi piring kotor. Baki itu jadi terlihat besar di tangan bocah itu. Saat Tom-tom keluar, Nick berkata, "Terima kasih atas kerja samamu." Kemudian menutup pintu.
"Hei, sampai kapan kau mengurungku?" seru Tessa.
Namun, tak ada jawaban. Ia benar-benar membenci pemuda itu. Gadis itu lantas mondar-mandir di kamar. Ia ingin keluar, bertemu Luke. Ia juga tak tahan dikurung seperti itu. Jadi, ia mencari cara agar bisa keluar. Ia mendapati ada jendela di kamar itu dan yakin pasti terkunci. Akan tetapi, jendela tersebut terbuat dari kaca. Mungkin, jika Tessa berhasil memecahkan kaca itu, ia bisa keluar dari sana. Yah, itu layak dicoba, putusnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Redemption of Fallen Alpha
FantasyLuke Frostbane, pemegang tahta alpha selanjutnya, melarikan diri dari kawanan karena dituduh berkhianat. Dia juga diburu. Hanya sebuah artefak kuno yang mampu membersihkan dirinya dari tuduhan tersebut. Namun, sayang, artefak itu telah dicuri ribua...