Happy reading~
/
Aku berdiri di depan ruangan dengan pintu putih, mencoba terlihat setenang mungkin meskipun tahu Kafka yang berada di samping pasti bisa merasakan bahwa aku gelisah.
Sekilas aku meliriknya—bahunya tegang, matanya terus bergerak seolah mencari sesuatu untuk dihindari. Tangannya sibuk sendiri, menggenggam ujung jaketnya, lalu melepaskan lagi.
Aku ingin mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, tapi dia hanya berdiri di sana seperti orang asing. Ini bukan Kafka yang dulu kukenal—lelaki yang biasanya begitu percaya diri, penuh tawa, dan pandai menyembunyikan kelemahannya di balik sikap tenangnya.
"Mas..." aku memanggilnya pelan. Dia menoleh, tapi tak benar-benar menatapku.
"Hmm?" gumamnya.
Aku mencoba tersenyum. "Are you okay?"
Dia mengangguk kecil, terlalu kecil hingga hampir tak terlihat. "Cuma... aneh aja," jawabnya akhirnya, suaranya serak.
Sebelum aku sempat mengatakan apa-apa lagi, pintu ruangan itu terbuka, dan seorang wanita berjilbab dengan clipboard di tangannya menyebut nama Kafka. Aku menoleh ke arah Kafka lagi. Wajahnya langsung berubah—matanya seperti memancarkan keraguan.
Aku menepuk pundaknya lembut. Berharap jika jalan ini membuatnya menjadi lebih baik.
"Mas," kataku lembut sebelum dia melangkah masuk. "Aku tunggu di sini, ya."
Kafka menoleh sekilas, bibirnya melengkung tipis dalam senyum kecil yang bahkan terasa lebih menyakitkan daripada tidak tersenyum sama sekali. "Terima kasih," katanya, hampir seperti gumaman, lalu dia masuk ke ruangan itu dengan langkah berat, punggungnya sedikit membungkuk.
Aku duduk di kursi tunggu di luar ruangan dengan perasaan campur aduk. Menit demi menit berlalu, berubah menjadi jam. Ketika melihatnya keluar dari ruangan itu, aku langsung menghampirinya.
"Gimana?" tanyaku khawatir. Raut wajah Kafka sudah lebih santai dibandingkan sebelumnya.
"Pak Herman...." ujarnya yang tidak menjawab sama sekali. "Masih nunggu di depan gak?"
"Ada kok."
Aku memang minta tolong supirku untuk mengantarkan Kafka ke sini—karena menurutku jauh lebih aman. Mobil Kafka sudah diketahui kalangan media dan fans.
Setelah mengurus serentetan administrasi, kami pun jalan keluar. Kafka tak lupa memakai kacamata dan masker untuk menutupi identitasnya—takut-takut ada orang yang mengenalinya.
Dalam perjalanan pulang baru-lah Kafka bicara panjang lebar.
"Awalnya, rasanya aneh sih. Masuk ruangan itu, ngobrol sama orang asing yang gak tahu apa-apa tentang hidupku. Tapi... ya, ternyata justru itu yang bikin aku bisa cerita. Dia gak menghakimi, gak nyuruh untuk buru-buru cari solusi, cuma... dengerin." ujarnya. "Meski awalnya awkward banget. Ragu, was-was, malu jadi satu."
Aku mengangguk setuju. "Iya, kadang manusia cuma perlu didengin, kan?"balasku dengan senyum. "Terus-terus?"
Kafka menghembuskan napas panjang. Pandangannya jadi lurus ke depan—ke jalan yang macet—mengingat tiap detail yang ia lalui beberapa waktu lalu.
Aku tersenyum saat melihat mata Kafka jauh lebih hidup sekarang.
"Kamu tahu gak aku cerita banyak. Hal-hal yang bahkan yang aku pikir gak penting, tapi Pak Ali bilang itu semua ada hubungannya. Aku... jadi sadar, selama ini aku selalu rendah diri, nyalahin keadaan, nyalahin diri sendiri, contohnya kayak gak cukup baik buat siapa pun. Tapi dia bilang, itu cuma kebiasaan pola pikirku yang buruk. Itu bukan kenyataan. Nyatanya, aku bisa bangkit dari keterpurukan."
KAMU SEDANG MEMBACA
nothing sweeter
Genç Kız EdebiyatıBri jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Rhun, sahabat kakaknya. Meskipun teman-temannya menganggap cintanya hanyalah "Cinta Monyet," Bri yakin perasaannya lebih dari sekadar fase remaja. Seiring waktu, cintanya pada Rhun tak pernah pudar, bahk...