Dapur kecil itu berantakan.
Tepung berceceran di lantai, susu tumpah di meja, dan wajan yang tadinya digunakan untuk menggoreng pancake kini hangus di atas kompor. Di tengah kekacauan itu, Kim Mingyu berdiri dengan wajah penuh tepung dan rasa frustrasi yang memuncak.
“Kau bilang ini mudah!” serunya, melirik ke arah Dokyeom yang duduk santai di atas meja dengan kaki terayun-ayun, sambil makan sisa pancake dari piring terakhir yang tidak terbakar.
“Memang mudah,” balas Dokyeom santai. “Kau saja yang terlalu tegang.”
“Tegang?” Mingyu melotot, wajahnya makin kusut. “Aku mencoba membuat sarapan romantis untuk pertama kalinya, dan kau malah duduk di sana seperti penonton!”
Dokyeom tertawa kecil, suaranya ceria seperti orang yang baru saja memenangkan lotre. “Kau tahu, kalau kau ingin memberi kejutan, kau harus tahu caranya. Kau bukan orang yang bisa menyembunyikan sesuatu. Apalagi tepung di wajahmu.”
Mingyu mendesah panjang, mencoba menyeka wajahnya dengan serbet, hanya untuk menyadari serbet itu basah oleh susu. “Kenapa aku mengajakmu ke sini?”
“Karena kau tidak bisa memasak tanpa aku,” jawab Dokyeom tanpa ragu.
Mingyu memutar bola matanya. “Kau benar-benar tidak membantu.”
Dokyeom menyeringai, matanya berkilat nakal. Dia turun dari meja, mendekat ke arah Mingyu. “Baiklah, aku akan membantu. Tapi dengan satu syarat.”
“Apa lagi sekarang?” Mingyu mendengus, tidak sabar.
“Cium aku.”
Mingyu terdiam. Wajahnya langsung memerah, lebih merah dari saus tomat yang ada di rak belakang. “Apa?”
“Cium aku,” ulang Dokyeom, kali ini sambil menyandarkan punggungnya ke meja. “Aku ingin melihat apakah itu bisa memperbaiki suasana hatimu.”
“Dokyeom!” Mingyu nyaris berteriak. “Ini dapur! Ada tepung di mana-mana! Aku—”
Tapi sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya, Dokyeom sudah menarik kerah bajunya dan mengecup bibirnya dengan cepat. Hanya satu detik, tapi cukup untuk membuat otaknya berhenti bekerja.
“Rasanya… seperti pancake gosong,” komentar Dokyeom dengan santai setelah melepaskan diri.
Mingyu hanya bisa menatapnya dengan mata lebar, mulut setengah terbuka.
“Cepat selesaikan masakanmu,” tambah Dokyeom sambil kembali duduk di meja, seolah tidak terjadi apa-apa. “Kita tidak punya waktu seharian.”
Mingyu memutuskan bahwa dia tidak akan pernah memasak lagi. Setelah kejadian pagi tadi, dia menyerah. Tapi tentu saja, Dokyeom punya rencana lain.
“Kita harus latihan lagi,” katanya sambil menyeret Mingyu ke dapur pada pukul sebelas malam.
“Latihan?” Mingyu mengerutkan dahi. “Aku bahkan tidak tahu apa yang harus kulatih. Memasak bukan bidangku!”
“Justru itu masalahnya,” Dokyeom menyeringai. “Kau perlu belajar. Bagaimana mungkin kau akan menjadi pasangan ideal kalau bahkan membuat telur orak-arik saja tidak bisa?”
“Pasangan ideal?” Mingyu mengulang, tapi suaranya nyaris tenggelam oleh suara wajan yang ditaruh Dokyeom di atas kompor.
“Iya,” balas Dokyeom tanpa menoleh. “Bukankah kau ingin aku tetap bahagia?”
Mingyu hanya bisa menatapnya dengan bingung, tapi dia mengambil mangkuk dan mulai memecahkan telur. Tangannya gemetar, tapi dia mencoba untuk fokus.
Namun, tentu saja, fokus itu hancur saat Dokyeom mendekat dari belakang, menempelkan dagunya di bahu Mingyu.
“Telurmu retak tidak rata,” bisiknya pelan.
Mingyu hampir menjatuhkan mangkuknya. “Dokyeom! Jangan seperti itu!”
“Aku hanya ingin membantu,” jawab Dokyeom, suaranya terdengar sangat polos. Tapi senyum di wajahnya berkata lain.
“Kalau kau ingin membantu, ambil spatula!” gerutu Mingyu, wajahnya merah seperti tomat.
“Baiklah, baiklah,” Dokyeom akhirnya mundur, tapi dia tetap tidak bisa menahan tawa kecilnya.
Setelah beberapa kegagalan, mereka akhirnya berhasil membuat sesuatu yang bisa dimakan. Dokyeom bersandar di meja, mengunyah hasil masakan mereka sambil menatap Mingyu dengan pandangan yang sulit diartikan.
“Apa lagi sekarang?” tanya Mingyu dengan kesal.
“Kau tahu,” Dokyeom memulai, suaranya lebih lembut. “Kau mungkin tidak pandai memasak, tapi ada sesuatu tentang caramu mencoba yang membuatku… ingin tetap di sini.”
Mingyu menatapnya, bingung sekaligus tersentuh. “Apa maksudmu?”
Dokyeom tersenyum kecil, lalu meraih tangan Mingyu yang ada di atas meja. “Aku suka melihatmu berusaha. Itu manis. Dan, jujur saja, aku suka ciumanmu tadi pagi.”
Mingyu langsung menarik tangannya, wajahnya kembali memerah. “Kau benar-benar tidak tahu malu.”
“Tentu saja,” Dokyeom tertawa. “Karena aku tahu kau tidak bisa menolakku.”
KAMU SEDANG MEMBACA
B R A V E 💪🏿 bottom!Mingyu [⏯]
Fiksi PenggemarKim Mingyu. Manly. Cool. Tangguh. Perkasa. Gagah. Kuat. Tampan. Dominan. Tidak akan ada seorangpun yang mengira peran apa yang ia lakoni di dalam sebuah permainan panas. ©2019, ichinisan1-3