Untuk kesekian kalinya tubuh ringkih Rama meringkuk di sudut kamar. Badan kecilnya lebam berkat hantaman kasar si lelaki bercelana kendor. Sebisa mungkin anak kecil itu menyilangkan tangan, mencoba menahan pecutan Bapak. Namun tenaganya sia-sia. Bapak masih leluasa mendaratkan sabuk di punggung Rama.
"GOBLOK! PENIPU ANJING! GUE RUGI SEJUTA!"
PLAK! PLAK!
Sudah biasa. Hampir setiap hari Rama menjadi samsak, tempat pelampiasan Bapak ketika kalah judi. Percuma menangis. Kata Abang nggak ada gunanya.
PLAK! PLAK! PLAK!
Jika dihitung, sudah sembilan kali Bapak mencambuk Rama. Mukanya memerah akibat efek alkohol yang memabukkan. Sementara anak kecil itu meringis menahan tangis. Seperih apapun harus ia tahan. Jangan terlihat lemah dihadapan Bapak.
Pecutan kesepuluh, Bapak berhenti. Ia menyeka keringat di dahi. Mengatur nafas sejenak, lalu mulai menggerutu lagi tentang kesialannya hari ini. Bapak berjalan gontai keluar rumah, menyalakan rokok murahan di teras. Dengan tertatih-tatih Rama kembali memakai kausnya—yang bahkan sangat tidak pantas disebut pakaian. Robek sana-sini, bolong.
Sejak kematian Ibu, rumah Bapak disita rentenir. Dua tahun belakangan ini mereka hidup berpindah. Kadang tidur di bawah jembatan atau emperan toko. Mengadahkan tangan jika lapar, mencuri jika terpaksa. Untungnya berkat usaha Abang, mereka bisa menyewa sepetak kamar sempit di bantaran kali dengan harga sangat murah.
Sepeda butut berwarna hitam meliuk-liuk memasuki gang sempit perumahan bantaran kali. Malam hari seperti ini minim penerangan, jadi pemuda tanggung itu harus berhati-hati. Sepedanya mendekat ke salah satu deretan rumah yang menghadap persis ke bantaran kali. Setelah ia parkirkan, pemuda itu mengeluarkan sebungkus nasi dari keranjang. Sekilas matanya melirik lelaki paruh baya yang sibuk merokok diteras. Cih, ia melewatinya begitu saja.
"Ram, Abang pulang, nih." Pemuda itu bersuara sambil membuka pintu. Saat masuk, ia mendapati adik bungsunya meringis di pojok ruangan. Kesakitan.
"DEK!"
"Bang... Sakit," Rama bergetar memegangi punggungnya.
Sekejap pemuda itu menghampiri Rama. Menyuruhnya berbalik, menyaksikan punggung ringkih berdarah-darah. Beberapa sudah membiru akibat suhu dingin di malam hari.
"Bapak lagi?"
Anak kecil itu bungkam. Bayu segera melepas kemeja dan menekan lukanya secara hati-hati. Ringisan Rama terdengar pelan. "Kamu tidur aja, dek. Besok pagi pasti sembuh. Percaya sama abang."
Rama menurut. Ia memejamkan matanya, berusaha tidur sembari menahan perih saat abang menyeka lukanya. Kasihan Rama. Tiap kali Bayu tinggal, pasti berakhir babak belur. Sebenarnya ia tidak tega. Namun mustahil mengajak Rama saat ia bekerja. Malah merepotkan.
Sesaat Bayu mendongak saat tercium bau asap rokok yang menyengat. Itu bapak. Bapak beranjak masuk kedalam tanpa perasaan bersalah sama sekali. Bajingan itu malah membuang puntung rokok di muka Bayu.
"Urus adekmu. Bocah nggak berguna."
Lantas telentang di sudut kamar. Tidur. Cukup sudah. Ini terakhir kalinya bajingan itu berbuat seenaknya. Tengah malam, Bayu akan melarikan diri dari sini bersama Rama. Biarkan saja ia hidup sendiri. Toh, Bayu sudah lelah membiayai bapaknya hidup. Jika bukan karena kata-kata ibu, pasti sudah dari dulu Bayu meninggalkan bapaknya. Si bajingan pemalas.
=================================
Waktu seakan berjalan lambat menjemput pagi. Dengan pelan Bayu memutar gagang pintu, lantas membiarkannya terbuka lebar tanpa suara. Sambil berjinjit pemuda itu melewati tempat Bapak tertidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Well, I Think The World Is Not Always White?
ActionBayu Aditya Maheswara, menghabiskan sisa hidupnya sebagai seorang berandal kota. Bersama adiknya, mereka saling melengkapi. Meski di suatu hari, terjadi insiden yang membuat mereka harus terpisah.