Chapter 23

4 0 0
                                    

Mereka mematung dihadapan batu nisan yang kian mendingin. Tak pernah ada yang bisa membaca pikiran mereka, keduanya terdiam dengan segala perasaan yang berkecambuk. Meski sudah tertimbun bertahun-tahun lamanya, kejadian itu tak akan pernah mereka lupakan, serta dendam yang belum pernah padam.

Greb~

Agress menahan lengannya ketika ia hendak pergi.

"Kau masih hidup rupanya?"

"Bisa lepaskan? Sepertinya anda salah orang," ucap pria bertopi hitam serta masker yang menutupi setengah wajah.

"Ck, kalau bukan kau, lantas apa yang kau lakukan di kuburan Alan, AKSA?!" geramnya. Sedang Artha semakin mematung dengan pikiran yang terus menerawang.

●●●

Flashback on

7 Tahun yang lalu.

Malam itu kota Floor terlihat begitu menenangkan, dengan hembusan angin malam yang menerpa permukaaan kulit nan halus. Seorang anak laki-laki berdiri ditengah lalu lalangnya kendaraan. Namun, sayangnya malam yang tenang ini tidak diperuntukan untuk dirinya. Anak laki-laki itu terus berjalan melewati trotoar, lampu merah, serta kerumunan para manusia yang tidak memedulikan kondisinya yang terlihat sangat berantakan.

Langkah itu terhenti tepat didepan gedung kosong yang menjulang tinggi. Dengan susah payah dan penuh keberanian, ia memasuki gedung kosong itu. Darah segar terus menetes dari luka yang kian semakin terbuka.

Keringat mengucur semakin deras, padangan nya kosong menatap lurus keramaian ditengah-tengah malamnya kota Floor yang indah. Lagi-lagi tidak untuknya, malam ini sebuah nyawa yang sangat berharga telah direnggut paksa dari hidupnya. 

-Lari- suara lirih itu mengintrupsi untuk segera dituruti.

-Lari..-

-Lari ALAN!-

Kalimat itu semakin terngiang-ngiang tanpa ada niatan untuk berhenti. Beberapa jam yang lalu ayahnya pulang dalam keadaan mabuk berat, ia menggedor pintu dengan sangat kuat dan tak beraturan seperti orang mengamuk. Alan, anak laki-laki itu berlari mendekati pintu, dan mempersilahkan sang ayah masuk, hal yang paling ia sesali, yaitu membiarkan sang pembunuh itu membantai keluarganya sendiri.

"Awas kamu!" pria mabuk itu masuk seraya mendorong tubuh mungilnya.

"Berlin!"

"Berlin!" wanita yang di panggil adalah istrinya. Alan mendekati sang ayah, mencoba memberi pengertian.

"Ibu sedang sakit yah, biar aku saja, katakan apa yang ayah butuhkan?" ia menyentuh lengan sang ayah lembut. Namun, pria itu menghempasnya dengan kasar.

"Aku tidak membutuhkanmu! Mana wanita itu?! Kerjaannya hanya berbaring saja!" ia membawa langkah besarnya yang sedikit goyah menuju kamar, terdapat Berlin yang sedang berusaha bangun dengan susah payah.

"Berlin! Berlin!" teriaknya di depan pintu. Sang pemilik nama pun membuka knop pintu dengan sangat perlahan, ketika pintu itu telah benar-benar menampilkan wanita yang dicarinya, ia segera menarik paksa rambut panjang yang kian merontok. 

Plak~

Alan terkejut, kejadian ini bukanlah yang pertama, kali ini matanya melotot, ia terkejut ketika melihat seteguk darah keluar dari mulut sang ibu. Wanita itu tersungkur diatas lantai.

"Ibu.." Alan menghampiri Berlin, menopang tubuh renta yang telah melahirkannya.

"Bangun kau! Sakit-sakitan saja terus, lemah!" Bentak Rez.

ResetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang