Chapter 24

13 5 10
                                    

Alan berdiri di puncak gedung setinggi 30 lantai, jauh di atas permukaan tanah. Ia berharap Rez tidak akan menemukannya. Dengan tangan yang gemetar, Alan mengeluarkan ponsel dari saku celana dan menatap nama yang kini sedang ia hubungi melalui telepon.

Tut~ Tut Tut~ panggilan tak terjawab.

Sudah 25 kali ia memanggil namun tak kunjung terjawab. Alan menatap satu kontak lagi diponselnya, ia ragu ingin memencet kontak itu. Sesuatu tiba-tiba terlintas diingatan.

-Do'akan aku, Lan. Malam ini aku akan melakukan final sains-

Alan memendam lagi keinginannya, lantas memasukkan ponsel itu ke dalam saku, ia menatap iri senyuman Agress kala mengatakan itu. Alan tak ingin menganggu pikiran sahabatnya, Alan tak ingin merusak momen milik Agress, saat ini hanya Aksa lah harapan satu-satunya. Hanya Aksa yang mengetahui kelamnya keluarga Alan, namun Aksa tak kunjung menjawab panggilan telepon yang ia berikan. Air mata itu kembali terjatuh.

"Sa.. aku sendirian sekarang," tuturnya.

"Ka.. apa yang harus aku lakukan sekarang, apa kakak masih bertahan? Atau kakak sudah tersenyum diatas sana bersama ibu? Aku tidak yakin bisa bertahan sendirian tanpa kalian," malam ini terlalu dingin, pelukan yang biasanya menghangatkan kini sudah tiada.

"Aksa.. maafkan aku, aku belum sekuat apa yang kau katakan."

 Alan sudah lemas dan tak berdaya melihat darahnya yang sudah terkuras habis, ia pun oleng dan jatuh dari atas gedung setinggi 30 lantai.

"Selamat tinggal Alanta Magesta!" ia menyeringai melihat senyum keputus asaan sang pemilik nama.

Flashback off

●●●

"Cih! Jadi selama ini kau menyembunyikannya? Sialan kau Aksa," ya, pria itu adalah Artha as Aksa. bagaimana kalau kita panggil saja dia Aksa sekarang? Araksa Rayn telah kembali. Agress menyorot sahabat lamanya itu tajam. 

"Namun kau tetap salah sebab tidak mengangkat teleponnya!"

"Kau salah satu penyebab kematiannya!" Muncullah seorang gadis dengan wajah penuh tanya.

"Maksudmu siapa penyebab kematian siapa, Gress?" 

"Eyra?" Agress bungkam. Sudah dua minggu lamanya ia menghindari gadis itu, lalu sekarang keduanya kembali bertemu, dan hal yang paling Agress takutkan adalah, Eyra yang bertemu Aksa.

Agress membuang pandangannya cepat, tak ingin menatap wajah Eyra yang sialnya semakin cantik. Jujur, ia merindukan Eyra, sangat merindukan. Dan sekarang Agress harus menyadarkan dirinya sendiri, setelah beberapa tahun menghilang, Aksa telah memunculkan diri kembali. Tanpa diduga, mereka malah dipertemukan dalam satu tempat diwaktu yang sama ketika Agress saja baru mengetahui kalau Aksa masih hidup.

Eyra menunduk, menyapa Aksa seperti biasa, dan itu membuat Agress lagi-lagi terkejut.

"Artha, apa yang kau bicaran dengan Agress?" 

Artha?

"Hei! Agress! Mengapa kau mengabaikanku?! Aku tadi bertanya kepadamu, siapa yang menyebabkan kematian siapa?" Aksa masih setia membungkam. Sedang Agress terlihat sangat gusar. 

Eyra menyentuh kedua pundak Agress, memaksa pria itu untuk menatapnya. Lalu ia segera menarik lengan Agress untuk berdiri dan mengikutinya.

"Maaf, aku meminjam Agress sebentar apa boleh?" Aksa hanya mengangguk dan membiarkan keduanya pergi.

Dengan susah payah, ia harus menelan senyum pahitnya, menatap kepergian gadis itu dengan Agress. Aksa sudah mengetahui bagaimana hubungan keduanya selama tiga tahun setelah dinyatakan dirinya menghilang atau meninggal. Namun, Aksa masih belum tahu alasan apa yang membuat Eyra kehilangan ingatannya. Sehingga, Eyra melupakannya juga.

Aksa menatap sendu keduanya dari balik kaca resto yang yang begitu besar, mereka tengah berbincang serius diluar sana, di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Aksa merasakan gejolak aneh yang lagi-lagi membuatnya benci melihat Eyra dan Agress sedekat ini sekarang.

Aku kembali, nampaknya kau lebih bahagia. Aku bersyukur, tapi bisakah sekarang aku yang menjadi alasanmu bahagia? Ra.

Disisi lain, mata Eyra telah berkaca-kaca. Agress tak kuasa menatap Eyra dengan wajah pucatnya. Hei, apakah gadis itu makan dengan benar? Apakah ia tidur tepat waktu? Apakah Eyra masih sering tertawa dan berceloteh? Rasanya dua minggu itu seperti 2 tahun untuk Agress.

"Apa kau membenciku? Mengapa kau terus menghindar? Mengapa setiap kali aku menghampiri kelasmu, kau selalu tidak ada? Mengapa kau tidak lagi menghampiri rumahku? Mengapa ketika aku yang ke rumahmu, mereka tidak mengizinkanku bertemu denganmu? Apa kau benar-benar membenciku, Gress?" kini Eyra menatap Agress lekat. Agress membalas tatapan itu tanpa ekspresi yang berlebih membuat Eyra semakin kebingungan.

Seseorang sedang mengincarku, aku tidak ingin kau terkena dampaknya juga, Ra.

Dengan geram Eyra memukul dada Agress, membuat Agress tersadar.

"Maafkan jika aku menjadi gadis yang jahat di hidupmu, aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, andai.. andai aku tidak kehilangan ing- 

Ucapannya terhenti bersamaan dengan pelukan hangat yang Agress berikan. Eyra pun terisak disana, sudah lama ia terus memikirkan ini, membuat kepalanya pening, ia tidak bisa tidur dengan nyaman dan tidak bisa makan dengan tenang. Menghilangnya Agress yang tiba-tiba semakin membuatnya overthingking.

"Tidak. Tidak. Jangan meminta maaf seperti ini, Ra. Ini bukan salahmu.."

Apa kau benar-benar melupakan Aksa? Kini pria itu sudah berada dihadapanmu, aku hanya takut semua yang kupikirkan itu terjadi. Asal kau tau, aku adalah orang pertama yang sangat bersyukur ketika mendengar kau melupakan segalanya, termasuk skandal kita dulu.

Agress mengusap punggung Eyra dengan ritme pelan, membuat tangis Eyra mulai mereda.

Yah, Agress sangat bersyukur saat ia memiliki kesempatan mendekati Eyra dengan leluasa, terlebih gadis itu melupakan skandal yang pernah terjadi diantaranya. Agress menoleh ke dalam resto, dan mendapatkan Aksa yang tengah menatapnya.

Apa kita akan bersaing, lagi?

Jauh dari tempat mereka berdiri, seseorang menyeringai.

Dunia ternyata lebih sempit dari dugaan, kini aku tahu harus menargetkan siapa terlebih dahulu. Kalian semua sangat memuakkan.

Next~~

ResetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang