Hollaaaa... Update lagiii....
Duuuh... Bingung juga bikin endingnya.... Hehehehe.... Alurnya masih agak ngaco...
Agak bingung sih... Tapi udah gak tahan pengen update.... Jadilah part setengah gaje....
Makanya aku nekat update sambil komat-kamit baca mantra.... Semoga pada suka...semoga pada suka...semoga pada suka...
Wkwkwkwk....______________________
Aku dan Jo dengan tergesa menghampiri Bram yang nampak mondar-mandir dengan panik.
"Bagaimana Vien, Bram?" Jo terlihat cemas. Ia memandang Bram menuntut jawaban.
"Jo, gue takut. Apa Vien akan baik-baik saja?" Bram balik bertanya dengan kekhawatiran yang nampak jelas terlihat.
"Sebenarnya Vien kenapa, Bram? Jawab!" Jo mengguncang bahu Bram.
"Vien... Vivien jatuh di kamar mandi, Jo. Tekanan darahnya drop," Bram menutup wajah dengan kedua tangannya yang gemetar. Kulihat wajah Jo berubah pias.
"Apa? Bagaimana bisa?" setengah berteriak, Jo kembali mengguncang bahu Bram berulang kali.
"Gue gak tau, Jo. Sari nelfon gue begitu ia mendapati Vivien sudah tergeletak kesakitan di kamar mandi," tubuh Bram bergetar menahan kepanikan yang luar biasa dahsyat.
Jo lalu memeluk Bram dan menenangkannya, lalu membawanya duduk di bangku depan UGD.
Aku menyusul duduk di sebelah Jo sambil mengamati dua laki-laki yang sedang berangkulan saling menguatkan satu sama lain.Beberapa saat kemudian terdengar tangisan bayi memecah ketegangan.
"Anak gue, Jo," bisik Bram lirih.
"Ya, Bram. Anak lo sudah lahir," Jo menghembuskan nafas lega sambil menepuk-nepuk pundak Bram.
"Bagaimana dengan Vivien, Jo? Dia baik-baik saja kan, Jo? Vivien pasti baik-baik saja kan, Jo?" nampak Bram kembali gelisah dan cemas.
Jo mengangguk.
"Gue yakin Vien baik-baik saja, Bram. Kita berdoa saja, semoga Vienetta baik-baik saja," Jo berusaha menguatkan Bram padahal aku tau pasti, hatinya sendiri diliputi perasaan yang tidak kalah cemas dengan Bram.Pintu UGD terbuka, seorang dokter separuh baya keluar dari sana diikuti seorang suster.
"Dok? Bagaimana istri saya?" Bram langsung berdiri dari duduknya dan bergegas mendatangi Dokter itu dengan wajah cemas.
"Istri anda baik-baik saja, Pak. Tapi untuk saat ini, istri anda belum siuman. Dia masih dalam pengaruh obat penenang. Sebentar lagi istri anda akan dipindahkan ke ruang rawat," Dokter itu tersenyum, menyeka keringat di dahinya dan mengangguk kecil lalu bergegas menjauh.
"Istri gue baik-baik saja, Jo!" Bram tersenyum lebar merangkul Jo. Keduanya terkekeh senang dan lega. Aku menyaksikan keduanya sambil tersenyum miris.
Ketika tiga orang suster keluar mendorong brankar dimana Vienetta berada di atasnya, Bram dan Jo segera mengikutinya. Mereka berdua dengan cemas menggenggam tangan Vienetta.
Aku memandang keduanya dengan sedih. Bagaimana tidak? Keduanya tampak begitu mengkhawatirkan wanita yang sama. Bahkan Jo tidak menyadari bahwa aku ada di sini bersamanya. Setiap kali, Vienetta selalu mampu meraih perhatian Jo.
Aku benci dengan diriku sendiri. Kenapa aku bisa kembali merasa iri dengan Vienetta? Padahal ia sudah sangat baik terhadapku.Kenapa aku jatuh cinta pada orang yang lebih mementingkan orang lain daripada istrinya sendiri?
Apakah aku egois? Ya, aku egois! Tapi aku hanya ingin Jo memperhatikanku, melihat bahwa aku ada. Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku, menahan airmata yang selalu saja ingin ikut ambil bagian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sincerity of Love
General FictionKetika cinta menuntut sebuah ketulusan, yang mampu menghadirkan rasa aman dan nyaman. Cinta yang apa adanya. Cinta yang selalu memberi. Cinta yang tidak mengharap timbal balik. Just give and give.