.
.
Saat berdekatan selalu ada saja yang membuat mereka perang urat. Tapi bangun tidur tidak melihat satu sama lain, pasti merasa ada yang hilang. Itulah saudara.
.
.
Pemakaman umum tempatku berdiri sekarang terlihat sudah sepi. Hanya tinggal aku, kedua orangtuaku dan seseorang yang sangat malas aku sebutkan namanya saja yang tengah berdiri disini. Beberapa jam yang lalu nenekku sudah dikebumikan. Beliau meninggal diperjalanan menuju rumah sakit akibat serangan jantung yang diterimanya. Padahal baru kemarin aku masih melihat senyumnya. Tapi, sudahlah.
Eomma masih terlihat menangis dan belum bisa menerima kepergian nenek sampai sekarang. Ya sama, aku juga. Padahal sudah dari tadi dia menangis dalam pelukan abeoji. Aku juga ingin menangis, tapi tidak ada yang memelukku. Jadi aku tidak menangis.
"Kembalilah ke Seoul besok bersama kami. Lanjutkan sekolahmu disana. Itu pesan nenekmu." Ucap eomma tiba-tiba saat dia sudah bisa menahan tangisannya.
Kalimat eomma benar-benar mampu merusak suasana duka diantara kami berempat menjadi tegang.
Kenapa sih harus membicarakan hal ini disini. Moodku yang sudah hancur makin hancur sekarang. Ini juga masih beberapa jam setelah meninggalnya nenek.
Aku langsung menghentikan gerakan kakiku yang sedang menendang-nendang kerikil mendergar apa yang eomma ucapakan. Tatapan tajam langsung kuberikan kearah orang yang diajak eomma bicara yang ternyata juga tengah menatapku. Aku jadi ingat pesan nenek padaku sebelum beliau menghembuskan nafas terakhirnya.
'Berdamailah dengan kakakmu, Tae. Dia tidak salah."
Hah, nenek pikir itu hal yang mudah dilakukan. Seribu tahun lagipun belum tentu aku memaafkannya.
"Tapi eomma, aku tidak apa-apa disini sendiri."
Ya bagus. Seoul juga tidak apa-apa tanpa dirimu.
"Tidak ada tapi-tapian Kim Seokjin. Ini bukan permintaan tapi perintah!"
Dan sekarang abeoji yang bicara. Itu berarti tidak ada yang bisa merubah keputusan ini. Shit lah.
"Kalau begitu, aku yang akan melanjutkan sekolahku disini." Ucapku menyela, enak saja siapa yang mau serumah lagi dengan dia. "Tidak masalahkan kalau aku yang sendirian. Aku bukan seseorang yang perlu kalian khawatirkan setiap hari. Aku bukan bayi lagi."
"Jangan berulah Kim Taehyung, tutup mulutmu!" Teriak abeoji. "Kita tinggal di Seoul semua. Nenekmu tidak ingin hyungmu hidup sendirian disini. Kau tidak mendengar ucapan terakhirnya semalam."
Aku dan orangtuaku memang sudah seminggu sebelum kejadian ini terjadi tinggal di busan. Terhitung sejak aku memasuki masa liburan kenaikan kelas.
Aku hanya bisa menahan sumpah serapahku dalam hati dan langsung berbalik kembali ke dalam mobil.
Selalu seperti itu. Mereka tidak pernah sekalipun mendengar pendapat anak-anaknya. Tidak taukah kalian kalau kami tidak pernah nyaman jika hidup dalam satu atap. Anak bungsumu ini tidak sanggup. Apalagi kalian selalu mengagung-agungkan anak sulung kalian itu dihadapanku. Aku muak mendengarnya.
Tidak tinggal serumah dua tahun saja aku setiap hari mendengar namanya terucap, apalagi mulai sekarang. Kupingku bisa panas mendengar nama itu.
Welcome nightmare.
.
×
.
Home sweet home.
Rumahku istanaku.
3 jam perjalanan yang memuakkan menurutku karena aku harus duduk bersebelahan dengan seseorang yang kalian pasti-tau-siapa-dia. Aku langsung saja meloncat turun dari jok mobil dan berlari masuk kerumah setelah mobil berhenti. Tidak kupedulikan teriakan eommaku dari belakang. Aku kangen kasurku. Taehyung ingin tidur.
Kamarku bernuansa serba abu-abu. Dari mulai cat dinding, sofa di pojok ruangan, meja kursi sampai bedcover. Abu-abu bukan warna kesukaanku sebenarnya, tapi aku suka sesuatu yang tidak pasti. Dan abu-abu selalu menggambarkan hal yang tidak pasti kan.
"Eoseo wa bangtaneun cheoeumiji
Ayo ladies & gentleman
Junbiga dwaessdamyeon bureulge yeah"Hampir saja aku masuk ke alam tidurku saat ringtone ponsel membuatku tersadar kembali. Hah siapa sih yang nelpon.
Hyojae's calling...
"Yoboseyo." Jawabku masih tetap sambil tiduran.
Kalian ingin tau siapa yang menelponku. Yakin? Nanti sakit hati kalau sudah tau. Dia seseorang yang spesial. Pake telor. Haha.
"Sudah sampai rumah?" Tanya seseorang dari sebrang telepon dengan suara merdunya.
"Sudah lumayan dari tadi." Balasku malas.
"Aku ganggu ya, kok males gini jawabnya."
"Gak juga."
"Kamu lagi ada masalah?"
"Gak ada."
"Oh gak ada." Kenapa nada bicaranya seperti itu sih?
"Iya gak ada beneran."
"Iya aku percaya. Siapa yang bilang kamu bohong." Shit kenapa aku malah merasa telah ketauan berbohong mendengarnya berbicara seperti itu.
"Oke oke, aku tidak baik-baik saja sekarang." Jujurku.
"Ada apa hmm? Apa yang mengganggumu?" Perhatian kecil seperti inilah yang membuatku makin mencintai yeoja satu ini.
"Dia kembali." Lalu hening sebentar. Aku yakin dia tau siapa dia yang aku maksud. Tapi mulutku tetap berucap juga. "Kakakku pulang kerumah lagi Hyo."
×××
(T)jium (B)ibir (C)himchim
Ayyu
KAMU SEDANG MEMBACA
WHY???
FanfictionAku memang nakal. Aku memang anak yang tidak bisa dibanggakan. Tapi jangan parnah membandingkanku dengan dia. Aku tidak membencinya. Dia kakakku. Saudaraku satu-satunya. Aku hanya tidak suka jika kedua orangtuaku selalu membanding-bandingkan aku den...