Sebuah Rasa

48 3 0
                                    

Aku mengikuti dayang itu melewati lorong-lorong istana yang terasa semakin panjang malam ini. Udara malam yang dingin menyelinap di sela-sela jendela besar, namun keringat mengalir di pelipisku. Entah karena rasa kesal atau sesuatu yang lebih dalam, aku merasa semakin tertekan.

Akhirnya, kami tiba di sebuah aula kecil. Di sana, Bruno berdiri dengan wajah tegang, memegang sebuah vas keramik berlapis emas yang jelas-jelas merupakan salah satu artefak berharga istana. Dayang-dayang mengerumuninya dengan ekspresi ketakutan, seolah seorang penyusup telah tertangkap basah.

"Bruno, kau akan membuat kekacauan apalagi?" tanyaku dengan suara dingin, mencoba menahan amarah. Anak itu menoleh ke arahku dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

"Aku hanya memegangnya, Kak," gumamnya. Suaranya gemetar, namun ia mencoba menjelaskan. "Aku tidak tahu ini seberharga itu. Kak Helena yang bilang ini emas. Aku hanya ingin menyentuhnya sekali, tapi mereka salah paham."

Anak itu mencoba bicara lebih lanjut, namun tangisnya pecah sebelum kata-katanya selesai. Tangis yang nyaring dan penuh kepedihan, menghentak suasana yang tadinya dipenuhi ketegangan. Semua dayang terdiam, tidak tahu harus berbuat apa.

Aku menghela napas panjang, lalu berjalan mendekatinya. "Hentikan tangismu, Bruno," ucapku, suaraku melunak. "Ini bukan sepenuhnya salahmu. Hanya saja, di tempat seperti ini, penampilanmu membuat mereka salah paham. Menjadi miskin di tempat seperti ini adalah sebuah dosa yang tak terucapkan. Bahkan hanya dengan melihat sesuatu yang berharga, kau dianggap bersalah."

Anak itu mengangkat wajahnya, air mata mengalir di pipinya yang kotor. Aku menatapnya dengan lembut, mencoba mengusir rasa bersalah yang tampak mencengkram hatinya. "Aku tahu rasanya, Bruno," lanjutku dengan nada rendah. "Aku tahu karena aku pernah hidup di jalanan. Aku tahu bagaimana rasanya dituduh mencuri hanya karena memandang sesuatu yang tidak seharusnya kita lihat."

Bruno menatapku dengan mata yang penuh harap, seperti seseorang yang baru saja menemukan cahaya di tengah kegelapan. "Jadi, aku tidak salah, Kak?" tanyanya lirih.

"Tidak," jawabku tegas. "Tapi kau harus belajar. Tempat ini bukan dunia yang ramah bagi orang sepertimu. Kau harus pandai membawa diri. Jika kau ingin bertahan, kau harus lebih hati-hati."

Aku mengambil vas itu dari tangannya, menyerahkannya kepada seorang dayang yang masih tampak ketakutan. "Bawa ini kembali ke tempatnya," perintahku. Dayang itu mengangguk cepat, lalu berlalu tanpa berkata-kata.

Setelah semuanya selesai, aku membawa Bruno keluar dari aula kecil itu. Anak itu berjalan di sampingku dengan kepala tertunduk, masih terisak pelan. Aku ingin memarahinya, namun sesuatu dalam dirinya membuatku berpikir ulang.

"Bruno," panggilku pelan.

Ia mengangkat wajahnya, menatapku dengan mata yang masih basah.

"Kau tahu kenapa aku membawamu ke sini?" tanyaku.

Ia menggeleng pelan.

"Aku membawamu ke sini karena aku ingin memberimu kesempatan. Kesempatan untuk menjadi lebih baik. Aku tahu seperti apa dunia luar, Bruno. Dunia yang keras dan penuh ketidakadilan. Jika kau ingin bertahan, kau harus belajar menjadi kuat. Dan tempat ini, meskipun tampak indah, adalah salah satu tempat paling berbahaya. Kau harus berhati-hati, karena satu kesalahan kecil bisa menghancurkan hidupmu."

Bruno terdiam, namun aku bisa melihat pikirannya bekerja. Ia mulai memahami apa yang kumaksud, meskipun usianya masih terlalu muda untuk benar-benar mengerti.

"Mulai sekarang, dengarkan apa yang kukatakan," lanjutku. "Aku tidak akan selalu ada untuk melindungimu. Tapi selama kau ada di sini, kau adalah tanggung jawabku. Jangan buat aku menyesal telah membawamu."

The Main Princess✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang