Yang menyahut hanya gemertak api memakan sisa dinding bambu rumah yang rubuh itu.
"Tek Aniiii...!"
Sepi!
Anjing pun tak ada yang melolong. Gemertak api memakan puing makin perlahan.
"Upiiiik! Mei - meiii...!"
Tak ada sahutan. Matanya mulai basah.
"Ya Tuhan, selamatkanlah mereka. Selamatkanlah mereka, ya Allah..." katanya perlahan sambil mulai mengitari rumah yang telah jadi bara itu.
Tiba - tiba di bahagian belakang dia tertegak.
"Nauzubillah...!"
Bulu tengkuknya berdiri. Dekat rumpun pisang, terbaring sesosok tubuh perempuan. Kepalanya hampir putus. Perempuan itu adalah Tek Ani, isteri Datuk Penghulu. Perempuan ini jelas dibunuh setelah diperkosa. Perempuan berumur empat puluh tahun itu memang masih cantik dan bertubuh bersih. Kini dia dibunuh Jepang. Pakaiannya tak menentu.
Si Bungsu jongkok. Menutup tubuh perempuan itu dengan kainnya yang tergeletak tak jauh dari situ. Tiba - tiba dia dengar keluhan. Dia segera bangkit dan menoleh.
Si Upik!
Gadis berumur tiga belas tahun itu juga habis diperkosa. Pakaiannya centang perenang. Dia tersandar di rumpun bambu.
"Upik. Ya Allah, nasib apa yang menimpa kalian, Dik..."
Si Bungsu berusaha mengangkat tubuh gadis itu. Sementara air matanya telah membasahi pipi. Si Upik menggeleng. Dia pegang tangan si Bungsu, kemudian berkata perlahan.
"Uda... Uda... dimana Amak...?"
Si Bungsu menggigit bibir agar tak menangis. Dia segera teringat nasib dirinya sendiri. Betapa dahulu ibu, ayah dan kakaknya dibunuhi Jepang. Bagaimana dia akan mengatakan pada si Upik bahwa ibunya telah meninggal? Bagaimana?
"Tolong carikan Amak, Uda... Tadi dia diseret Jepang ke belakang. Uni Mei - mei berada di pondok di tengah rumpun bambu itu, di tempat Uda latihan.. Uda..."
Gadis kecil itu terkulai kepalanya di tangan si Bungsu. Penderitaan yang tiada taranya itu telah merenggut nyawanya! Si Bungsu menengadah ke langit yang gelap. Dia memeluk mayat gadis itu. Menangis.
"Maafkan saya Upik. Maafkan saya terlambat membantu kalian. Ya Tuhan, kenapa aku pergi pula malam ini...?"
Lalu mayat itu dia angkat dan dia baringkan di dekat mayat ibunya. Kemudian dia segera ingat pada Mei-mei. Seperti terbang dia menuju ke pondok kecil itu. Tapi lagi - lagi dia tertegak kaku. Pondok itu sudah runtuh seperti diobrak - abrik setan.
"Moy - moy... "
Dia ingin berteriak memanggil nama itu. Tapi saking ngeri dan cemasnya, yang keluar dari mulutnya hanyalah keluhan kecil. Keluhan di antara mata yang basah.
"Koko..."
Sebuah rintihan halus terdengar dari dekat rumpun bambu. Rintihan itu sudah cukup bagi si Bungsu untuk mengetahui dimana gadis itu berada. Dia melompat ke sana. Hari sangat gelap, namun dia mendapatkan tubuh Mei - mei tersandar ke pohon bambu.
"Moy - moy..."
"Koko..."
Dia peluk gadis itu. Mei - mei ingin membalas pelukannya. Namun tangannya seperti tak ada tenaga. Tapi dia tetap juga membalas pelukan anak muda itu. Memeluknya dalam hati.
Si Bungsu memangku tubuh adiknya itu dan membaringkannya di tempat bersih. Dalam cahaya api wajah Mei - mei kelihatan sangat pucat.
"Moy - moy..."
"Koko..."
Dengan suara putus - putus Mei - mei menceritakan dari mula kisah kedatangan Jepang itu. Kisah dia membunuh kelima Kempetai yang akan memperkosanya itu. Kemudian menceritakan kedatangan dua belas Kempetai yang telah membakar dan memperkosa mereka bergantian.
"Apakah engkau mengetahui siapa yang telah memperkosamu?"
Mei - mei memejamkan mata. Seperti mengumpulkan ingatannya.
"Saya tidak melihat wajah mereka, Koko. Di pondok itu terlalu gelap. Tapi saya mengetahui jumlah mereka. Dua belas. Mereka melaknati saya bergantian. Kalau tak salah, mereka memanggil komandan mereka dengan sebutan Syo-i Atto. Koko.. aku ingin membahagiakan engkau. Sayang malam ini Tuhan memisahkan kita..."
"Jangan berkata begitu Moy - moy..."
"Dengarlah Koko, jangan potong bicaraku. Aku tahu engkau hanya mengangap aku sebagai adikmu. Aku memang tak bisa berharap lebih dari itu bukan? Namun ketahuilah Koko sayang, aku mencintaimu. Aku belum pernah merasakan jatuh cinta.
Tapi kerinduanku padamu, rasa sayangku padamu, rasa ingin selalu berada dekatmu, rasa gelisah bila engkau tinggalkan mesti sesaat, rasa gundah bila engkau murung, adalah rasa cintaku padamu. Aku tahu, perempuan seperti aku, yang telah dilumuri noda yang takkan tercuci, tak layak mendapat apa - apa darimu..."
"Moy - moy..."
"Dengarlah Koko... Satu - satunya milikku yang paling berharga kini, adalah cintaku. Aku tak lagi punya kehormatan. Karena telah direnggut dan dirobek - robek oleh orang - orang yang tak pernah kukenali. Namun cintaku tak pernah ada yang menyentuh. Kalau engkau tak merasa hina menerimanya, kuberikan cintaku itu padamu Koko..."
"Moy - moy..." Si Bungsu memanggil. Memanggil di antara air mata yang merembes turun.
"Koko, aku mencintaimu. Aku belajar bertanak, menggulai dan menjahit dari Tek Ani adalah untukmu. Aku selalu mengimpikan betapa bahagianya bila engkau menikahiku. Aku menjadi isterimu. Aku memasak nasi, menjahitkan kemeja dan sarungmu yang koyak, mencucikan pakaian. Sesakit sesenang denganmu.
Ah. Itulah satu - satunya impianku yang paling indah. Engkau tak marah aku bermimpi seperti itu Koko? Hanya mimpi. Malam ini mimpi itu hangus terbakar untuk selamanya...."
Si Bungsu merasa dadanya sesak. Seakan - akan pecah menahan haru, dia peluk gadis itu erat - erat. Kemudian dia berbisik di antara air matanya yang turun.
"Engkau tak bermimpi sayangku. Engkau tak bermimpi! Itu akan jadi kenyataan. Percayalah. Aku juga mencintaimu. Moy - moy dengarlah, aku mencintaimu! Kau dengar ucapanku sayang? Aku mencintaimu dengan seluruh hidupku. Moy - moy...."
Mata gadis itu terpejam.
"Moy - moy...!"
Si Bungsu memanggil. Memanggil di antara tangisnya.
"Moy - moy... kau dengar aku sayang? Aku mencintaimu, kita akan segera menikah...."
Mei - mei membuka matanya. Perlahan sekali. Wajahnya bersemu merah. Dia seperti tersenyum. Bibirnya bergerak. Namun tak ada suara.
"Moy - moy... Moy - moy...!"
"Ko... Koko. Benarkah itu...?"
"Tuhan jadi saksinya sayang. Tuhan saksinya. Tuhan yang aku sembah. Tuhan yang engkau sembah...!"
"Koko... ciumlah aku..."
Si Bungsu mendekatkan wajahnya ke wajah Mei - mei. Mata gadis itu terpejam. Bibirnya mengurak senyum. Namun kaki dan tangannya terasa dingin.

KAMU SEDANG MEMBACA
TIKAM SAMURAI
ActionTIKAM SAMURAI adalah bagian dari sebuah serial karya Makmur Hendrik, yang menggabungkan seni bela diri silat dengan elemen sejarah. Cerita ini berfokus pada perjalanan seorang pemuda bernama Si Bungsu dari desa Situjuh Ladang Laweh di kaki Gunung Sa...