SI BUNGSU mencium kening gadis itu perlahan. Kemudian mengecup bibirnya perlahan. Nafas Mei - mei terasa panas. Manik - manik air mengalir di pipinya.
"Koko sayang..."
"Moy - moy. Moy - moy..."
Mei - mei tidak menjawab. Si Bungsu mengguncang tubuhnya. Namun Mei - mei terlalu banyak mengeluarkan darah. Dia jatuh pingsan.
"Moy - moy...!" si Bungsu memanggil.
Dia mendekatkan telinganya ke dada gadis itu. Pelan - pelan terdengar degup jantungnya. Amat perlahan.
"Ya Tuhan, ya Tuhan. Selamatkan dia. Selamatkan dia. Tolonglah nyawanya ya Tuhan..." Dia berdoa di antara matanya yang basah.
"Bungsu...!!"
Tiba - tiba ada suara memanggilnya. Dia menoleh. Di belakangnya berdiri tegak Datuk Penghulu. Datuk itu tegak terdiam menatap rumahnya yang rata dengan tanah. Yang sisa pekarangannya sedang dijilati api. Kenapa dia tiba - tiba saja sampai ada di sini?
Datuk ini sejak dua hari yang lalu pergi ke Padangpanjang. Di sana di Diniyah Putri, berlangsung rapat perjuangan yang dipimpin oleh Engku Syafei. Tak ada tempat yang paling aman untuk rapat kecuali ruangan belakang sekolah Diniyah Puteri itu. Sebab, Encik Rahmah El Yunusiah yang memimpin sekolah ini amat disegani oleh balatentara Jepang. Encik Rahmah tak pernah mau dibujuk untuk menerima bantuan bagi sekolahnya. Sejak pemerintahan Belanda.
Rahmah sudah bertegas - tegas menolak bantuan dari penjajah. Kini ketika Jepang memerintah, dia tahu, bahwa Jepang adalah fasis yang amat kejam. Itu segera terbukti. Lalu Rahmah menjadi salah seorang pejuang yang ikut membina dan menghubungi pemuda - pemuda Indonesia yang ada dalam Gyugun.
Dalam rapat itu sudah banyak yang dibicarakan. Umumnya tentang taktik melucuti senjata Jepang. Tentang markas, tentang logistik dan penyergapan gudang amunisi di berbagai kota.
"Saya lihat Engku Datuk tidak tenang. Barangkali teringat pada keluarga di Bukittinggi...?" Encik Rahmah yang bermata amat tajam bertanya.
Datuk Penghulu terkejut. Namun dia tak mau mendustai kata hatinya. Dia memang gelisah. Pikirannya ke rumah saja. Seperti ada yang tak selesai rasanya.
"Benar. Saya khawatir kalau - kalau ada yang terjadi atas anak isteri saya," katanya.
Encik Rahmah memandang kepada Engku Syafei. Tokoh pendidik dan pejuang dari Kayutanam itu mengangguk. Orang - orang ini adalah orang - orang yang arif. Mereka seperti dapat membaca, bahkan akan ada musibah yang bakal menimpa diri datuk itu.
"Saya sebenarnya tidak begitu khawatir. Sebab keluarga saya tinggal bersama seorang anak muda yang tangguh. Yang bernama si Bungsu...."
Engku Syafei dan Encik Rahmah saling pandang lagi begitu nama si Bungsu disebut.
"Si Bungsu. Nama itu sudah demikian terkenal. Kiranya dia berada di rumahmu Datuk...?"
"Ya. Sudah cukup lama. Saya memang tak memberitahukannya pada Encik dan Pak Syafei..."
"Hmm. Syukurlah, anak muda itu ada di sana. Jasanya amat besar bagi membangkitkan semangat juang pemuda - pemuda kita..."
"Ya. Karena ada dialah saya berani datang kemari dengan meninggalkan keluarga saya. Tapi sejak kemaren hati saya tak sedap..."
"Saya rasa lebih baik Datuk pulang dulu. Rapat ini hanya tinggal menyelesaikan yang kecil - kecil saja. Besok saya kirim kurir untuk menyampaikan putusan..." ujar Engku Syafei.
"Baiklah. Saya berharap bisa sampai malam nanti di rumah."
Datuk Penghulu lalu tegak. Meninggalkan rapat rahasia yang jumlah pengikutnya lima belas orang itu. Kini dia telah berada di rumahnya. Tapi telah terlambat. Dia melihat rumahnya rata dengan tanah. Sisanya mara dimakan api. Tubuhnya terasa linu. Di depan api, dia lihat si Bungsu memeluk tubuh Mei - mei.

KAMU SEDANG MEMBACA
TIKAM SAMURAI
ActionTIKAM SAMURAI adalah bagian dari sebuah serial karya Makmur Hendrik, yang menggabungkan seni bela diri silat dengan elemen sejarah. Cerita ini berfokus pada perjalanan seorang pemuda bernama Si Bungsu dari desa Situjuh Ladang Laweh di kaki Gunung Sa...