0033 - Perang Berdarah di Kampung Tarok

10 1 0
                                    

Hari sudah pagi ketika perwira piket di markas besar balatentara Jepang di Panorama merasa curiga, sebab enam orang pasukan Kempetai yang dia kirim malam tadi ke tempat Datuk Penghulu belum kembali. Perwira piket itu berpangkat tai-i (kapten) bernama Akira.

Sebelum para perwira masuk kantor dia cepat-cepat mengumpulkan regu cadangan. Kemudian memerintahkan seorang chu-i (letnan satu) memimpin dua belas Kempetai menyusul ke tempat Datuk Penghulu.

"Saya rasa regu malam tadi dalam bahaya. Kepung tempat itu dan tangkap beberapa penduduk untuk menunjukkan dimana Datuk Penghulu..." Demikian isi perintahnya.

Chu-i itu berangkat ke Tarok menaiki sebuah truk. Truk berisi dua belas orang Kempetai melaju mengo­yak-ngoyak udara pagi. Melaju dengan suaranya yang menggeram-geram. Di atasnya tegak dengan kukuh keduabelas Kempetai itu. Di tangan mereka tergenggam senjata yang lengkap dengan sangkur terhunus.

Truk itu mula-mula menuju ke arah stasiun kereta api. Kemudian berbelok ke arah tangsi militer. Lalu berbelok lagi ke jembatan besi. Meluncur terus ke arah Tarok.

Para pedagang yang sudah keluar pagi itu, pada menepi cepat-cepat begitu melihat truk dengan lampu yang dihidupkan itu lewat. Truk dengan kap terbuka dan serdadu Jepang tegak dengan wajah keras.

Tak lama kemudian mereka sampai ke daerah Kam­pung Tarok. Mereka membelok ke sebuah jalan kecil di antara pohon bambu yang rimbun menuju ke Padang Gamuak.

Sekitar dua puluh meter truk itu masuk ke palunan bambu itu, tiba-tiba di depan sebuah gerobak yang dipenuhi batang ubi kelihatan tegak. Truk tak bisa terus.

Sopirnya menyumpah-nyumpah. Letnan yang ada di depan memerintahkan seorang anak buahnya turun untuk mencampakkan gerobak sial itu ke dalam semak.

Tapi sebelum dia turun, saat itulah dua bayang­an tiba-tiba menghambur dari balik pohon bambu ke atas truk yang terbuka itu. Kedua orang itu ada­lah si Bungsu dan Datuk Penghulu.

Mereka sudah menduga, bahwa Jepang pasti akan mengirimkan bantuan untuk mencari regunya malam tadi. Datuk Penghulu lalu menyusun siasat. Merekalah yang meletakkan gerobak yang dipenuhi batang ubi untuk menghalang jalan truk.

Kini mereka berada di atas truk itu. Di antara sebelas serdadu Jepang yang memegang senjata dengan sangkur terhunus.

"Penjajah jahanam...! Kalian terima pembalasan kami...!" Berkata begini, Datuk Penghulu yang baru menghambur ke atas truk itu menghantam ke kiri dan ke kanan.

Kempetai-kempetai yang ada di truk itu kaget melihat kehadiran kedua orang itu di atas truk mereka. Tendangan datuk itu yang pertama mendarat di perut seorang prajurit. Tubuh prajurit itu terlipat. Matanya mendelik dan mulutnya berbuih. Bukan main melinukannya cuek itu.

Teman yang di sebelahnya masih terheran-heran, ketika pukulan tangan datuk itu mendarat di hulu hatinya. Dia terbulalang.

Temannya yang berada di sisi lain dari truk itu meng­hujamkan bayonetnya ke punggung Datuk Penghulu. Tapi samurai di tangan si Bungsu memutus ke­dua tangannya. Dia meraung.

Saat berikutnya, samurai si Bungsu bekerja. Terlalu cepat untuk diikuti mata. Terlalu cepat untuk disadari oleh Kempetai-kempetai yang ada di atas truk itu.

Pagi itu terjadilah sebuah pembantaian yang tak mengenal ampun. Sebelas orang Kempetai yang berdiri tegak diatas truk terbuka itu, tak sempat sekalipun menembakkan bedil mereka.

Truk yang hanya muat untuk tempat tegak itu, tak bisa memberi keleluasaan untuk mempergunakan bedil. Delapan orang telah mati terbantai samurai atau kena pukulan tangan dan kaki Datuk Penghulu.

TIKAM SAMURAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang