Bersama Oliver

32 5 0
                                    

Hari itu, Oliver datang menemuiku di balkon istana, tempat favoritku untuk menghabiskan waktu. Dengan seragam militernya yang megah, ia tampak lebih serius dari biasanya. Aku bisa merasakan ada sesuatu yang ingin ia bicarakan.

"Lydia, aku ingin kau ikut denganku ke kamp militer besok," katanya tanpa basa-basi. "Aku ingin memperkenalkanmu kepada para prajurit dan memperlihatkanmu bagaimana kami bekerja."

Aku mengerutkan alis, merasa ragu. "Mengapa aku harus ikut? Itu bukan tempatku, Oliver."

Ia tersenyum tipis, seperti sudah menduga penolakanku. "Kau akan menjadi bagian dari hidupku, Lydia. Jika kau ingin memahami dunia yang kujalani, kau perlu melihatnya sendiri. Lagipula, ini akan membantumu memahami apa yang terjadi di sekitarmu."

Aku mendesah pelan, tetapi akhirnya mengangguk. Mungkin ini adalah kesempatan untuk melihat lebih dekat dunia yang akan menjadi bagian dari kehidupanku. Lagipula, ada banyak hal yang ingin kuketahui, terutama mengenai korupsi yang kudengar tentang paman Hazel.

Keesokan harinya, aku menaiki kereta bersama Oliver menuju kamp militer. Perjalanannya cukup panjang, tapi aku tidak merasa bosan. Oliver selalu tahu bagaimana cara membuat percakapan mengalir dengan santai meskipun topik yang dibahas serius.

Ketika kami tiba, aku dikejutkan oleh keramaian di kamp. Para prajurit sibuk dengan latihan mereka, suara dentingan senjata terdengar di mana-mana. Oliver menuntunku melewati area latihan, mengenalkanku kepada beberapa perwira tinggi.

"Ini Putri Mahkota Lydia," katanya dengan nada tegas namun ramah. "Ia akan menjadi bagian dari keluarga kita."

Aku menundukkan kepala sedikit, mencoba menunjukkan sopan santun meskipun hatiku merasa canggung. Para perwira membalas dengan hormat, namun aku bisa merasakan beberapa tatapan penasaran.

Di tengah suasana itu, paman Hazel muncul. Ia berjalan mendekat dengan senyum ramah yang tampak dipaksakan. "Putri Mahkota Lydia, kehormatan besar bagi kami bisa kedatangan Anda di sini," katanya, membungkuk sedikit.

Aku membalasnya dengan senyum kecil. "Terima kasih, Paman Hazel. Kehormatan ini milik saya."

Namun, saat ia berbicara, aku tak bisa mengabaikan ingatan tentang percakapan liciknya yang pernah kudengar di ruangan kerjanya waktu itu. Suaranya yang terdengar lembut itu kini memiliki nada yang mencurigakan. Aku mencoba menyembunyikan kegelisahanku dan berpura-pura tidak tahu apa-apa.

Hari itu, Oliver mengajakku berkeliling kamp Ia menunjukkan area pelatihan, tempat tinggal prajurit, bahkan gudang persenjataan. Aku terkesan dengan kedisiplinan yang ditunjukkan oleh prajurit-prajurit itu. Namun, pikiranku terus terganggu oleh bayangan paman Hazel.

Di sela-sela tur kami, aku menyempatkan diri berbicara dengan beberapa prajurit secara diam-diam. Aku ingin tahu apakah mereka merasa ada yang tidak adil dalam sistem seleksi atau penugasan. Beberapa dari mereka mengungkapkan keluhan kecil, tetapi tidak ada yang berani berbicara terlalu jauh. Aku bisa merasakan ketakutan mereka.

Malam itu, aku dan Oliver duduk di dekat api unggun yang menyala di tengah kamp. Suara malam begitu sunyi, hanya terdengar angin yang berembus lembut. Aku memberanikan diri untuk berbicara.

"Oliver, aku merasa ada yang tidak beres di sini. Aku pernah mendengar sesuatu tentang paman Hazel, sesuatu yang tidak seharusnya terjadi."

Ia menatapku dengan serius. "Apa yang kau dengar, Lydia?"

Aku menceritakan percakapan yang pernah kudengar di ruang kerjanya tentang bagaimana paman Hazel diminta untuk mempertahankan posisinya, tapi aku tidak tahu dengan siapa dia berbicara. "Saat itu aku tidak terlalu memikirkannya, tetapi sekarang aku yakin ada yang lebih besar dari itu. Para prajurit yang kubicarai juga tampaknya takut untuk mengungkapkan sesuatu."

Oliver menghela napas panjang. "Jika itu benar, maka ini lebih serius dari yang kukira. Hazel memiliki banyak pengaruh, Lydia. Jika kita ingin mengungkap kebenaran, kita harus sangat berhati-hati."

Aku mengangguk. "Aku tidak ingin diam saja, Oliver. Aku tahu ini berbahaya, tetapi aku tidak bisa membiarkan ini terus terjadi."

Ia menatapku lama, lalu tersenyum tipis. "Baiklah. Jika kau sudah memutuskan, maka kita akan bekerja sama. Tapi ingat, Lydia, ini tidak akan mudah."

setelah mengelilingi kamp militer bersama Oliver, aku memutuskan untuk berbincang dengan Paman Hazel. Oliver tampaknya tidak keberatan, meskipun aku menangkap sedikit kekhawatiran di matanya sebelum ia melangkah pergi. "Jangan terlalu lama," katanya pelan sebelum meninggalkanku.

Hazel menyambutku dengan ramah. Wajahnya penuh senyum, dan cara bicaranya begitu hangat, seolah tidak ada hal buruk yang pernah terlintas di pikirannya. "Putri Mahkota Lydia, betapa menyenangkan bisa berbicara dengan Anda di sini. Saya harus mengakui, kedatangan Anda membawa suasana baru ke kamp ini."

Aku hanya tersenyum kecil, mencoba menahan perasaan tidak nyaman yang perlahan muncul. Hazel tampak begitu santai, bahkan ia mulai melontarkan candaan.

"Anda tahu, Yang Mulia, putra saya sangat gagah dan hebat. Ia sedang bertarung dan berusaha menjadi yang terbaik di angkatan ini. Saya selalu menekannya untuk berprestasi dan sering kali berkhayal agar ia bisa bersama Putri Mahkota seperti Anda. Tapi apa daya, dia hanya anak seorang jenderal perang seperti saya. Bukankah Anda akan lebih memilih Tuan Oliver atau mungkin Tuan Averio?"

Ia tertawa lepas setelah berkata begitu, tampak benar-benar menikmati leluconnya sendiri. Aku hanya bisa membalas tawanya dengan tawa yang terpaksa, berusaha menyembunyikan rasa tidak sukaku. Namun, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak memberikan candaan balik milikku.

"Ah, Paman Hazel, visi Anda sungguh hebat. Saya yakin putra Anda sangat beruntung memiliki seorang ayah yang begitu penuh mimpi dan ambisi. Tetapi, sayangnya, saya lebih sering terpesona pada seseorang yang tidak hanya hebat dalam kata-kata tetapi juga tindakan nyata. Bukankah itu jauh lebih menarik?"

Wajah Hazel sedikit berubah, tetapi ia segera kembali tersenyum, seolah tidak menyadari nada tajam dalam kata-kataku. Beberapa orang di sekitarnya yang mendengar candaan itu tampak kebingungan, mungkin tidak sepenuhnya memahami maksud ucapanku.

Tiba-tiba, aku merasakan Oliver mendekat dari belakang. Ia berdiri cukup dekat sehingga hanya aku yang bisa mendengar bisikannya. "Lydia, jangan terlalu berlebihan. Dia mungkin saja bisa lebih berbahaya."

Aku melirik ke arahnya, dan tatapan Oliver menunjukkan kekhawatiran yang tulus. Aku mengangguk sedikit untuk meyakinkannya bahwa aku tahu apa yang kulakukan, meskipun jauh di dalam hati, aku merasa ada sesuatu yang perlu kuwaspadai dari Paman Hazel. Oliver benar. Aku harus berhati-hati.

Percakapan dengan Hazel berlanjut dengan nada lebih ringan, tetapi aku tetap waspada. Tawa dan keramahan yang ia tunjukkan terlalu sempurna, terlalu licin. Aku tidak tahu apa yang ia sembunyikan, tetapi aku yakin, di balik senyum itu, ada sesuatu yang tidak ia ingin siapa pun ketahui. Malam itu, aku merasa semakin yakin bahwa aku harus mencari tahu lebih banyak tentangnya, bagaimanapun caranya.

The Main Princess✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang