Hangat

43 5 1
                                    

Aku menghempaskan diri ke kursi kayu yang tersedia di sudut ruang peristirahatan. Hari itu begitu melelahkan setelah seharian bersama Oliver, mendampingi prajurit dalam inspeksi dan memeriksa perbekalan. Tak kusangka kegiatan itu begitu menguras energi. Perutku keroncongan, dan aku tidak bisa menahannya lagi.

"Apakah ada makanan di sini? Aku lapar," ucapku tanpa basa-basi.

Oliver yang berdiri tak jauh dariku tampak membeku sejenak. Pandangannya menyapu meja sederhana tempat sebuah kotak makanan prajurit tergeletak. Ia tampak gelisah. Aku tahu betul apa yang ada di pikirannya. Ia pasti khawatir aku akan memakan makanan prajurit lagi.

Sebelumnya, aku pernah mencoba makanan itu, dan jujur saja, rasanya tidak buruk. Bahkan, aku pernah memuji mereka karena berhasil menyediakan makanan seperti itu dalam kondisi perang. Tapi aku tahu Oliver selalu merasa aku tak seharusnya melakukan hal itu—bukan karena makanannya buruk, melainkan karena menurutnya itu tidak pantas untuk seorang putri.

"Jangan makan itu, Lydia. Kau bisa sakit perut," katanya akhirnya, dengan nada penuh kehati-hatian.

Aku tertawa kecil, "Terakhir kali aku memakannya, aku tidak sakit perut, Oliver. Kau terlalu khawatir."

Tapi sebelum aku sempat mengambil kotak itu, Oliver dengan cepat menariknya dariku. Aku menatapnya dengan alis terangkat.

"Oliver, kau ini berlebihan. Apa sebenarnya masalahmu? Apakah ada perbedaan besar antara makanan prajurit dan makanan untuk seorang putri sepertiku? Atau kau pikir makanan ini buruk hingga tak layak untukku?" tanyaku, nada suaraku sedikit menantang.

Para prajurit yang ada di ruangan itu mulai melirik ke arah kami, mendengar nada debat di suaraku. Oliver tampak gelisah, tapi aku tidak berniat mundur.

"Makanan ini bukan buruk, Lydia. Aku hanya tidak ingin kau sakit," jawabnya, suaranya melemah.

Aku mendengus, berdiri dari kursi. "Kalau begitu, aku akan mengawasi perbekalan ini lebih sering. Prajurit adalah kaki tangan kerajaan, mereka adalah harta berharga. Jika makanan mereka buruk, maka itu adalah kesalahan besar kerajaan!" ucapku lantang.

Ruangan itu langsung dipenuhi bisik-bisik kagum. Para prajurit menatapku dengan takjub. Salah satu dari mereka berbisik, "Belum pernah aku melihat Tuan Oliver terlihat sehangat ini. Mereka cocok sekali."

Yang lain tertawa kecil, "Tuan Oliver kelihatan kesulitan menghadapi Putri Lydia, tapi sepertinya dia menikmatinya. Bukankah begitu?"

Aku melirik mereka sekilas dan menyunggingkan senyum kecil sebelum kembali memandang Oliver. "Kau terlalu khawatir, Oliver," kataku, kali ini nada suaraku melembut.

Oliver menghela napas panjang, lalu berkata, "Aku khawatir padamu, Lydia. Itu saja."

Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menggoda. "Oh? Kau khawatir padaku? Apakah itu artinya kau mulai mencintaiku?" tanyaku dengan nada menggoda, sebuah senyum jahil terukir di wajahku.

Wajah Oliver memerah seketika. "Bukan begitu! Jangan salah paham. Itu hanya kewajibanku sebagai tunanganmu," jawabnya, suaranya gugup.

Aku pura-pura ngambek, menundukkan kepala. "Jadi, perkataanmu tentang akan berusaha mencintaiku itu hanya omong kosong untuk menenangkanku ya?" tanyaku dengan nada sedikit menyindir.

"Aku akan berusaha!" Oliver menjawab cepat, tapi aku bisa melihat kepanikan di matanya. "Tapi—"

"Tapi apa?" potongku, kali ini dengan nada pura-pura sedih. "Kau sulit melupakan Irish, ya?"

Oliver tertegun. Aku hampir tertawa melihat wajahnya yang panik, tapi aku menahannya.

"Berhenti menggodaku, Lydia. Aku tahu kau sengaja," katanya akhirnya, suaranya terdengar menyerah.

The Main Princess✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang