Setelah insiden penyusup tadi, aku merasa tubuh ini hampir remuk. Pikiranku masih berputar-putar memikirkan bagaimana seseorang bisa menyusup sejauh itu tanpa terdeteksi. Keringat dingin masih terasa di tengkukku meskipun semuanya sudah aman. Aku melirik Oliver yang berjalan di sebelahku. Dia tampak tenang, seperti biasa, tetapi aku tahu, ketenangan itu hanyalah fasad.
"Apa kita pulang saja?" tanyaku lirih, berharap ia akan mengatakan "ya." Aku sangat ingin kembali ke tempat yang nyaman—tempat di mana aku bisa tidur tanpa merasa was-was.
Namun Oliver menggeleng pelan, tetapi tegas. "Tidak. Kau akan bersamaku hanya untuk malam ini."
Aku menatapnya, ingin membantah, tetapi sorot matanya seperti tidak memberi ruang untuk diskusi. Aku akhirnya mengangguk, mengalah pada situasi yang tidak memberiku banyak pilihan.
Kami diarahkan ke sebuah tenda yang katanya khusus untuk perwira. Begitu masuk, aku sedikit terkejut. Tenda ini cukup luas untuk ukuran medan perang, bahkan memiliki ranjang, meja, kursi, dan berbagai peralatan lainnya. Rasanya lebih seperti kamar kecil yang sederhana daripada tenda militer. Beberapa prajurit yang mengantar kami mencoba mencairkan suasana.
"Yang Mulia, tidak perlu khawatir. Kami semua di sini akan melindungi Anda," ujar salah satu prajurit dengan suara meyakinkan.
Yang lain menambahkan dengan senyum lebar, "Kalau ada yang berani dengan Yang Mulia, kami akan mencincangnya seperti bawang putih!"
Tawa mereka memenuhi ruangan, dan untuk sesaat aku merasa lebih rileks. Aku mengangkat alis, mencoba ikut bercanda. "Tapi hati-hati, jangan sampai bawangnya menangis duluan, ya. Aku tak ingin kalian meneteskan air mata di tengah tugas."
Tawa mereka semakin keras sebelum akhirnya mereka pergi meninggalkan kami. Aku dan Oliver sekarang hanya berdua.
Aku melirik ke arah ranjang dan langsung saja berjalan cepat ke sana. Tanpa pikir panjang, aku menjatuhkan diriku di atasnya, merasa sedikit lega. "Ranjang ini milikku, ya!" kataku sambil tersenyum lebar.
Oliver hanya mendesah, menatapku seolah aku anak kecil yang sulit diatur. "Kita bahkan belum berdiskusi," ucapnya datar, sebelum berjalan ke kursi di sudut ruangan. Dia duduk di sana, menyandarkan tubuhnya dengan santai.
Aku memiringkan kepala, mengamatinya sambil tersenyum nakal. "Untuk malam ini tak apa, ya. Aku di ranjang, kau di kursi. Kau kan kuat, Oliver. Bahkan tidur di atas tanah pun kurasa tak jadi masalah untuk orang sepertimu. Kau seperti dewa perang," candaku sambil menahan tawa kecil.
Dia menatapku sekilas, lalu menghela napas panjang. "Sifat menyebalkanmu kembali," gumamnya, pasrah.
Malam semakin larut, dan tenda menjadi sunyi. Aku mencoba memejamkan mata, tetapi bayangan penyusup tadi terus menghantuiku. Wajahnya, gerakannya, bagaimana ia bisa sampai sejauh itu tanpa terdeteksi—semua berputar di benakku. Aku menarik selimut lebih erat, merasa tidak aman meskipun Oliver ada di ruangan yang sama.
Aku menoleh ke arahnya. Dia tampak tidur nyenyak di kursi, tubuhnya sedikit miring, napasnya teratur. Aku mencoba memanggilnya pelan. "Oliver..."
Tidak ada respons.
Aku menghela napas, mencoba lebih keras. "Oliver!"
Dia tetap tidak bergerak. Aku menatapnya dengan sedikit kesal, tetapi lebih banyak rasa cemas yang membanjiri dadaku. Aku bangkit dari ranjang, mengambil bantal dan selimut, lalu berjalan perlahan ke bawah kursinya.
Dengan hati-hati, aku meletakkan bantal di lantai dan merebahkan tubuhku di sana. Entah kenapa, berada lebih dekat dengannya membuatku merasa lebih aman. Kalau sesuatu terjadi, dia pasti akan tahu lebih cepat dan melindungiku. Dengan pemikiran itu, aku akhirnya bisa memejamkan mata.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Main Princess✔️
FantasiaDalilah terperangkap di tubuh kembarannya sendiri, sejak kematian dirinya beberapa hari yang lalu. Highest rank #2 | Pahlawan (13 February 2025) #13 | 2023 (13 February 2025) #22 | Jiwa (13 February 2025)