CHAPTER I : MEETING THE DESTINY

149 5 2
                                    

Soundtrack of this story: Parallel by Heffron Drive is in the multimedia

"It is not in the stars to hold our destiny but in ourselves." - William Shakespeare

***

Jason McDonough
On the way to Starbucks
7.50 AM

Serpihan-serpihan salju perlahan turun dari langit dan mewarnai permukaan bumi yang monoton. Permukaan bumi tempat kuberjalan kini warnanya terlihat tidak lagi utuh warna abu-abu khas warna semen. Permukaan kasar dari semen ini telah tertutupi sebagian besarnya oleh salju yang makin lama turun semakin cepat. Salju turun dari langit dengan cepat seakan-akan menumpahkan seluruh isinya dan tidak ada lagi hari esok untuk menemui tanah. Kumendongak kelangit dan serpihan kecil jatuh di ujung hidungku. Dingin terasa mengenai kulit. Kuhilangkan salju itu dengan ujung lengan kanan jaketku kemudian kuarahkan bagian depan tangan kananku. Kulihat jam kini telah menunjukkan pukul 7.50.

"Kalau aku tidak cepat, bisa-bisa Tuan Logan bisa marah padaku," gumamku, kemudian kupercepat langkahku melewati deretan toko-toko pakaian dan makanan untuk musim dingin. Kumasukkan kedua tanganku ke dalam kantung jaketku, mencoba mencari kehangatan yang bisa kuperoleh. Tinggal satu blok lagi sebelum aku bisa sampai ke tempatku bekerja, sebuah tempat bersantai favorit sejuta umat, apalagi di saat musim dingin seperti ini, apa lagi kalau bukan Starbucks. Sudah sekitar delapan bulan aku bekerja di Starbucks. Aku bekerja sembari kuliah di salah satu universitas terkenal dan mengambil jurusan fotografi. Aku bekerja pagi jika kuliahku bagian siang, begitu pula sebaliknya, jadi shiftku memang tidak sama setiap hari. Tidak, aku tidak kekurangan uang. Aku juga tidak bekerja untuk bisa membiayai kuliahku. Aku bahkan bisa berkuliah karena mendapat beasiswa. Alasan pertama dan utama aku bekerja adalah karena aku tidak suka berdiam diri di rumah. Aku baru semester dua, jadi tugasku tidak begitu padat dan sekaligus, kau tahu, beberapa sudut Starbucks tampak bagus untuk dipotret dan bisa menjadi bahan untuk tugas. Selain itu, aku selalu diberi tiga buah gelas besar kopi Starbucks dengan rasa apa saja untuk keluargaku setiap hari setelah pulang bekerja. Bukankah itu sangat menyenangkan?

Kudorong perlahan pintu masuk Starbucks dan kuarahkan pandanganku keseluruh sudut ruangan. Tempat ini tidak begitu besar memang dengan bentuk memanjang kedalam tapi cukup nyaman. Ketika kau masuk, kau akan disambut dengan meja lingkaran kecil di pojok samping kananmu dengan empat kursi mengelilinginya. Memang sedikit dekat dengan pintu masuk tapi kau tidak akan menabrak meja tersebut, kecuali kalau kau mabuk atau memang sengaja menabraknya. Karena ukuran ruang yang tidak begitu besar itu membuat tata ruang pun dibuat sebisa mungkin untuk menempatkan banyak barang. Setelah kau disambut oleh meja lingkaran di samping kananmu, kau juga akan disambut oleh deretan meja yang sama persis di belakangnya, sekitar ada enam meja totalnya. Di sudut kanan hanya ada satu deretan meja, kemudian diberi jarak dua petak ke arah kiri agar kau bisa berjalan masuk dan memesan menu di meja menu samping kiri. Sebelum meja menu, kau akan mendapati ruang yang cukup untuk bisa menempatkan empat meja di sana. Jadi jika deretan kanan penuh, kau bisa memilih di sebelah kiri. Desain dindingnya pun dibuat senyaman mungkin dengan beberapa lukisan, bahkan dua dari lukisan itu buatanku, juga ada satu papan tulis besar yang dipajang di dinding paling kanan untuk tanda tangan artis yang berkunjung. Lampu yang ada di ruangan ini pun dibuat tidak begitu terang untuk bisa menampilkan efek nyaman seperti di rumah nenek.

"Jason, kau telat tiga menit," ujar Tuan Logan, manajer Starbucks di tempat ini yang tiba-tiba muncul dari belakang dapur. Aku segera menghampirinya dengan langkah tergesa-gesa sehingga pinggulku sempat menyenggol salah satu kursi di samping kananku.

"Maafkan aku Tuan Logan, tadi aku terlambat bangun tidur, kau tahu, efek musim dingin, kasur jadi terasa lebih nyaman dari biasanya." Aku cengengesan sambil menggaruk leher belakangku dengan tangan kananku.

Labyrinth Of Parallel WorldsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang