Bruno, aku tak menyangka anak itu dapat berpikir indah dengan memberikanku Kotak bunga itu. Aku merasa tidak ada yang mencintaiku, namun aku baru sadar bahwa aku hanya perlu mencintai dan menyayangi orang yang mencintaiku. Selama ini, walaupun aku hidup sebagai Dalilah, aku hanya memaksa seseorang untuk terus mencintaiku.
Memaksa seseorang untuk terus mencintai kita hanya membuat kita merasakan penolakan yang menyakitkan. Aku percaya hal itu karena aku mengalaminya dan rasanya sakit. Aku terlalu bodoh untuk berjuang namun yang aku lakukan hanya hal yang sia-sia.
Ruang makan kastel dipenuhi aroma masakan yang menggugah selera. Meja panjang di tengah ruangan dipenuhi hidangan lezat, dari roti panggang yang masih hangat hingga sup krim jamur yang mengepul. Lilin-lilin yang berjejer memberikan cahaya lembut, menciptakan kehangatan yang khas. Aku duduk di kursi kepala meja, memandangi Bruno yang tengah menikmati makan malamnya.
"Bagaimana harimu di sini, Bruno?" tanyaku, memecah keheningan dengan nada lembut.
Bruno yang tengah menyuapkan potongan daging ayam panggang, langsung berhenti sejenak. "Di sini aku tak perlu khawatir kelaparan, banyak yang menyayangiku. Semua itu karena Kak Lydia," jelasnya polos sambil melanjutkan makannya dengan lahap.
Aku tersenyum, tetapi tak bisa menahan diri untuk mengingatkannya. "Pelan-pelan makannya, tidak akan ada yang merebut makananmu."
Bruno mengangguk sekilas, meski jelas-jelas tak mengubah kecepatan makannya. Setelah menyelesaikan gigitan terakhir, dia mengusap mulutnya dengan punggung tangan—kebiasaan yang sering kuluruskan tetapi selalu terulang. "Omong-omong," katanya tiba-tiba, "Kak Lydia dan Paman Oliver terlihat serasi."
Aku hampir tersedak air teh yang baru saja kuminum. Tatapan Oliver yang duduk di ujung meja langsung tertuju pada Bruno, alisnya terangkat tinggi.
"Paman katamu? Kau memanggil Lydia kakak, tapi memanggilku paman? Apa aku setua itu?" protes Oliver sambil mengetukkan jarinya ke meja.
Bruno menatap Oliver dengan polos, tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Paman Oliver sangat tampan dan gagah. Walaupun wajahmu masih muda, aku lebih nyaman memanggilmu paman," katanya santai.
Oliver menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan kedua tangan terlipat di dada. "Ah, begitu ya? Tapi aku tetap tidak mengerti logikamu."
Bruno menambahkan dengan semangat, "Kau kan bisa melindungi dirimu sendiri, makanya kau cocok dipanggil paman. Sedangkan Kak Lydia... dia belum bisa melindungi dirinya sendiri, jadi lebih cocok kupanggil kakak."
Aku terdiam, mengangkat sebelah alis sambil memandang Bruno. "Apa maksudmu? Kau bilang aku tidak bisa melindungi diriku sendiri?" tanyaku dengan nada setengah bercanda.
"Semua orang disini tahu tentang keadaan Kak Lydia, aku hanya merasa sedih" ucap Bruno.
Oliver, yang merasa posisinya lebih aman, malah tertawa kecil. "Apa itu logika?" tanyanya sambil mengetukkan jarinya ke kepala Bruno.
Percakapan itu mengundang tawa. Aku akhirnya ikut tertawa, merasa suasana ini begitu menyenangkan. Melihat Oliver memperdebatkan sesuatu yang begitu sepele benar-benar hiburan tersendiri.
Di sudut meja, Helena—pelayan setiaku—yang sejak tadi hanya mendengarkan sambil memotong roti, ikut tersenyum. "Tuan Bruno, logika Anda memang selalu menarik," komentarnya lembut, mencoba menahan tawa.
"Kak Helena, kau tidak setuju dengan logikaku?" tanya Bruno dengan nada pura-pura serius.
Helena hanya mengangguk sambil menyembunyikan senyumnya. "Logika Anda sangat... unik, adik. Itu saja.
"Nona Lydia, aku baru ingat untuk memberikanmu ini," ujar Helena sambil merogoh kantong kecil di baju pelayannya. Dia mengeluarkan dua surat yang tampak sudah rapi dilipat dan bersegel.
"Ada dua?" tanyaku sambil memandang Helena dengan heran.
Helena mengangguk ringan. "Benar, satu dari Kerajaan Azalea, dan satu lagi dari Nenek Anda."
Mataku langsung tertuju pada surat-surat itu. Surat dari kerajaan Azalea dan dari Nenek, datang bersamaan? Jantungku berdegup sedikit lebih cepat. Helena menyerahkan keduanya padaku, dan aku langsung membuka yang pertama—dari Kerajaan Azalea. Isi surat itu ditulis dengan tinta emas, huruf-hurufnya begitu rapi.
Kepada Nona Lydia,
Dengan hormat,
Kerajaan Azalea dengan ini mengundang Anda untuk menghadiri pesta peresmian Putri Irish sebagai Putri Mahkota dan calon ratu dari dua kerajaan. Acara peresmian ini akan dilaksanakan lima hari dari hari ini, dilanjutkan dengan pesta pernikahan Putri Irish yang dijadwalkan seminggu setelah peresmian.
Kami sangat menantikan kehadiran Anda, sebagai salah satu anggota penting dari keluarga kerajaan, untuk memberikan dukungan kepada Putri Mahkota yang terhormat.
Salam Hormat,
Kanselir Agung Azalea
Aku menghela napas panjang setelah selesai membaca. Sebelum Oliver sempat bertanya, aku membuka surat kedua—yang berasal dari Nenek. Segelnya lebih sederhana, tapi isinya justru penuh dengan karakter khas Nenek yang tidak pernah main-main.
Untuk Cucu Kesayanganku, Lydia,
Aku tahu kau mungkin terkejut dengan undangan ini. Jangan pikir aku akan membiarkanmu hanya menjadi penonton di pesta besar itu. Tidak, Lydia. Kau adalah cucu yang paling berharga, dan pesta ini adalah panggung untuk menunjukkan dirimu.
Aku akan datang ke kastelmu besok pagi. Kita akan membicarakan rencanaku untuk memastikan kau menjadi pusat perhatian di peresmian itu. Jangan khawatir, semuanya akan berjalan sesuai keinginanku—dan aku tahu, kau pasti akan berterima kasih padaku nanti.
Persiapkan dirimu, Lydia. Waktumu bersinar sudah tiba.
Cinta,
NenekAku mendesah setelah selesai membaca surat dari Nenek. Ada sesuatu yang membuat perutku bergejolak—campuran antara rasa gugup dan penasaran. Namun, aku tak bohong kalau dengan adanya nenek, aku merasa jauh lebih tenang. Aku bisa mengandalkannya.
"Apa isinya?" tanya Oliver yang sedari tadi memperhatikanku dengan ekspresi penasaran.
Aku meletakkan kedua surat itu di meja, kemudian menjelaskan dengan tenang, meski suaraku sedikit bergetar. "Dua hari lagi ada pesta peresmian Irish sebagai Putri Mahkota dan calon ratu dari dua kerajaan. Setelah itu, pernikahannya akan dilaksanakan seminggu kemudian."
Oliver mengangguk kecil, tetapi aku tahu dia menunggu penjelasan lebih. Aku melanjutkan, "Dan dari Nenek... dia akan datang besok pagi. Dia bilang dia punya rencana agar aku mencuri perhatian di pesta itu."
Senyum Oliver mengembang, matanya berbinar seolah mendukung penuh rencana itu. "Apa pun rencana Nenekmu, aku yakin itu akan berhasil. Aku akan selalu bersamamu, Lydia. Jangan takut, jangan khawatir."
Sebelum aku sempat menjawab, Oliver menarik tanganku. Dengan lembut, dia menggenggam kedua tanganku di dalam genggamannya. Hangat. Sentuhan itu begitu menenangkan, meski membuatku sedikit gugup.
"Aku juga akan mengajak ibuku ke pesta itu," lanjutnya. "Aku ingin memperkenalkanmu padanya, dan pada semua orang."
Aku terdiam, jantungku berdebar lebih cepat. Kehangatan dari genggamannya terasa begitu menenangkan, tetapi pikiranku justru dipenuhi pertanyaan.
Tiba-tiba, suara ceria Bruno memecah keheningan. "Apa aku boleh ikut?"
Aku menoleh ke arahnya, dan sebelum aku menjawab, Oliver sudah mengangguk. "Tentu saja, Bruno. Kau akan ikut."
Aku menatap Oliver dengan alis terangkat. Sejak kapan aku membutuhkan persetujuannya untuk mengambil keputusan? Tunggu sebentar. Aku menunduk sedikit, berusaha menyembunyikan pipiku yang memerah. Aduh, Lydia, kacau sekali!

KAMU SEDANG MEMBACA
The Main Princess✔️
FantasyDalilah terperangkap di tubuh kembarannya sendiri, sejak kematian dirinya beberapa hari yang lalu. Highest rank #2 | Pahlawan (13 February 2025) #13 | 2023 (13 February 2025) #22 | Jiwa (13 February 2025)