Kerajaan Azalea

25 1 1
                                    

Lagi-lagi aku kembali ke Kerajaan Azalea, tempat di mana rasa sakit dan luka tak henti-hentinya bertumbuh. Istana megah yang berdiri kokoh di hadapanku seakan menjadi saksi bisu atas setiap kehilangan yang kualami. Mobil terus melaju, melewati gerbang besar menuju halaman istana yang luas. Aku duduk di samping nenek, mencoba menenangkan diri, meski hatiku bergetar hebat.

"Kapan Oliver akan kembali?" tanya nenek, memecah keheningan yang terasa begitu menyesakkan.

Aku menarik napas pelan, mencoba menenangkan suara yang ingin pecah. "Dia akan kembali sehari sebelum acara dimulai. Dia akan datang mendampingi Averio, Raja Galileo, bersama ratu dan selirnya, yaitu ibunya," jawabku pelan.

Nenek mengangguk tanpa berkata apa-apa, tetapi aku tahu dia memperhatikan getar di suaraku.

"Kata Paman Oliver, aku harus jadi pengganti paman untuk melindungi Kakak Lydia!" seru Bruno dengan penuh kegirangan dari kursinya. Wajahnya cerah, seakan dunia ini penuh dengan hal-hal indah.

Nenek tersenyum tipis, menoleh ke arahnya. "Anak yang pandai. Kurasa, aku mulai menyukai anak yang kau bawa ini," ujarnya, sambil mengelus lembut kepala Bruno.

Bruno tertawa kecil, sementara aku hanya tersenyum samar, mencoba menahan badai di dalam diriku.

Saat kami tiba, asisten pribadi nenek dengan sigap membukakan pintu mobil. Aku melangkah keluar, dan seketika itu juga getaran emosi memenuhi tubuhku. Udara di halaman istana terasa berat. Rasanya seperti dinding yang tak terlihat menekan dada ini hingga sesak.

"Tak apa-apa," bisik nenek sambil menyentuh lenganku. Aku menggenggam tangannya, mencoba menjadikannya jangkar agar aku tidak tenggelam dalam lautan rasa sakit. Mungkin nenek tahu apa yang kurasakan, atau mungkin ia hanya bisa merasakannya dari raut wajahku.

Namun, sambutan di istana ini dingin. Tidak ada keluarga, tidak ada sapaan hangat. Hanya Gilbert, asisten kepercayaan Ayah, yang menanti bersama beberapa pelayan di tangga istana.

"Kemana mereka semua?" tanyaku datar, suaraku nyaris seperti bisikan angin, sembari melangkah menuju kamar lamaku.

"Raja Mario sedang sibuk dengan urusan kerajaan, Nona Lydia. Sedangkan Nona Irish sedang menjalani pelatihan untuk menjadi Ratu," jelas Gilbert dengan nada tenang.

Aku hanya mengangguk, tak ingin memperpanjang percakapan. Ketika sampai di depan pintu kamarku, aku merasakan sesuatu yang aneh. Aku membuka pintunya dengan cepat—dan terkejut.

Kamarku... bukan lagi kamarku.

Segala sesuatu di dalamnya berubah. Dinding yang dulu dipenuhi kenangan masa kecil kini dipenuhi dengan pernak-pernik bayi, mainan kecil, dan hiasan yang tidak pernah kubeli. Rasa asing itu menikam dadaku dengan tajam.

"Gilbert?" Suaraku bergetar, hampir tak keluar. "Bisa kau jelaskan... apa yang terjadi di kamarku?"

Gilbert menunduk dalam-dalam, seperti takut menjawab. "Kamar Anda telah diubah, Nona. Nona Irish memutuskan untuk menjadikannya kamar anaknya kelak."

Aku mematung. Rasanya seperti ada sesuatu yang menghantam dadaku begitu keras. "Mengapa? Setelah sejauh ini... kenapa baru sekarang kau memberitahu saya?" tanyaku dengan nada rendah yang menahan ledakan amarah. Bibirku bergetar, dan aku tahu air mataku sudah mengancam keluar.

"Saya tidak berani, Nona," jawab Gilbert lirih, penuh rasa bersalah.

Aku tak bisa lagi menahan gejolak di dadaku. Lututku melemah, dan aku jatuh berjongkok di depan pintu kamar itu. Air mata yang kutahan sekuat tenaga akhirnya tumpah. Dadaku terasa panas, begitu sesak, seperti akan meledak.

"Kenapa?" bisikku sambil memegang dadaku yang berdenyut nyeri. "Kenapa semua ini terjadi? Semua milikku... hilang dan dicuri."

Air mata terus mengalir, dan tanpa sadar, aku terbatuk. Saat itulah darah keluar dari mulutku, bercampur dengan isak tangisku yang tak terkendali. Aku mencoba menutupi darah itu dengan tanganku, tetapi tidak berhasil. Tubuhku gemetar hebat, dan aku tahu semua orang di sekitarku mulai panik.

The Main Princess✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang