Suasana di ruang makan malam itu terasa semakin berat, seiring kata-kata yang terus berputar di antara kami. Meja makan yang seharusnya menjadi tempat beristirahat, justru menjadi medan pertempuran tak terlihat, penuh dengan ketegangan yang memuncak di setiap detik yang berlalu. Aku menatap Irish dengan perasaan marah yang masih menyisakan luka lama, sementara ayah yang duduk di ujung meja tampak terjebak dalam kebingungannya sendiri.
"Bagaimana kau bisa mengatur kamarku sesukamu? Kau hanya membuktikan bahwa dirimu tidak memiliki sopan-santun!" tegasku dengan suara yang tak bisa kuendapkan, meskipun hati terasa sesak.
Irish terdiam sejenak, wajahnya menegang. Aku bisa melihatnya berusaha untuk tetap tenang, namun aku tahu ada rasa bersalah dalam tatapannya. Saat itu, ayah mulai berbicara, mencoba mengalihkan arah percakapan.
"Cukup, Lydia. Tak perlu menekan Irish. Lagipula, kau tidak tinggal di sini lagi. Mengapa kau masih mempermasalahkan semuanya?" suara ayah terdengar tegas, meskipun ada kepanikan yang samar di baliknya. Tapi kata-katanya semakin membuat dadaku sesak.
"Apakah aku bukan anakmu lagi, Tuan Mario?" tanyaku, suara mulai tergetar, namun tetap penuh kemarahan. "Kemana pun aku pergi, bukankah seharusnya kau menghargai kenangan yang aku miliki di sini?" Aku berusaha untuk tetap terlihat tegar, meskipun hatiku hancur.
Aku melirik ke arah meja teh, tempat di mana dulu vas bunga Delphinium selalu diletakkan dengan penuh kehati-hatian. Bunga itu adalah simbol kedamaian di rumah ini. Tapi sekarang, aku melihat ada sesuatu yang berbeda—sebuah vas dengan bunga yang tak aku kenali. Tanaman itu memiliki bentuk yang aneh dan sedikit menakutkan. Aku tahu bunga itu bukanlah Delphinium yang biasa. Aku bisa merasakannya, ada sesuatu yang janggal, seperti sebuah perubahan yang mendalam yang telah dilakukan tanpa persetujuanku.
"Bahkan belum ada yang pernah meletakkan vas bunga Delphinium di meja teh. Kau bahkan merubah taman kesukaanku. Aku melihat tanaman yang masih baru ditanam," lanjutku, nada suaraku semakin tajam, tak bisa menahan rasa kecewa yang semakin menggebu.
Namun, ayah tampaknya tidak menyadari apa yang sebenarnya terjadi. "Jika bukan karena undangan itu, aku tak akan datang. Jika bukan karena nenek yang ingin menemaniku, aku tak akan menginjakkan kakiku di sini," kataku dengan tegas, meskipun tanpa sadar sendok yang kupegang jatuh ke lantai, memecahkan ketenangan yang semakin menipis.
Ayah menatapku dengan cemas, mencoba menenangkan situasi. "Lydia, ayah yang mengizinkan Irish mengganti bunga Delphinium yang lama dengan yang baru. Itu hanya masalah vas bunga di meja teh, tak perlu diperbesar-besarkan."
Namun, aku merasa ada sesuatu yang lebih dalam di balik kata-kata ayah. "Delphinium?" tanyaku, mataku menyipit tajam. "aku ingin memperingati ayah, untuk terus mengawasi gerak gerik siapapun dan jangan terlalu percaya kepada siapapun" Suaraku semakin keras, penuh dengan kekecewaan yang tak bisa lagi kutahan.
Ayah terdiam, bingung. "Siapapun? termasuk dirimu?"
Aku menggelengkan kepala, merasa hampa. "aku harap kau mengerti maksudku, Tuan Mario."
Irish tampak terkejut, wajahnya memucat. "Apa yang kau maksud dengan kepercayaan? bukankah sudah sewajarnya seorang ayah percaya pada anaknya seniri?" tanyanya, suaranya gemetar.
Aku hanya bisa menatapnya dengan dingin, merasa sakit hati melihat betapa semua perubahan ini dilakukan tanpa izin dan tanpa menghormati sejarah yang ada. "Kau mungkin tidak tahu apa-apa tentang perasaanku , Irish. Tapi aku yakin ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini. Dan aku tidak bisa membiarkannya begitu saja."
Suasana di ruang makan semakin mencekam. Ayah, yang masih tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, hanya bisa duduk terdiam, bingung dan terkejut dengan penjelasanku. Irish terlihat bingung dan khawatir, sementara aku merasa hampa, terperangkap dalam kebingunganku sendiri. Rasanya seperti rumah ini telah berubah menjadi tempat yang asing, yang tak lagi memberikan rasa aman seperti dulu.
Aku menghela napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan diri, Ruangan itu terasa semakin penuh dengan ketegangan yang menekan, seakan setiap kata yang keluar menjadi senjata yang mengarah ke hati kami masing-masing. Aku mencoba menenangkan diri, namun emosiku tak bisa lagi terkendali. Aku menarik napas panjang, merasakan beban yang berat di dada, sebelum akhirnya kata-kata itu keluar.
"Aku ingin menjawabnya dengan bertarung denganmu," kataku, suaraku lebih tegas dari yang pernah aku bayangkan.
Ayah terdiam, matanya melebar dengan kebingungan yang semakin dalam. "Sepertinya kau semakin tidak beretika....kau-" katanya, tetapi kalimatnya terhenti begitu saja, seolah tak tahu harus melanjutkan apa.
Namun, sebelum dia bisa melanjutkan, suara nenek yang tegas memotongnya. "Hentikan, Mario. Biarkan cucuku berbicara!" ucap nenek dengan nada yang penuh otoritas. Semua mata teralihkan ke nenek, yang berdiri dengan penuh kewibawaan.
Aku menatap Irish, yang duduk dengan senyum yang tampak penuh tantangan. "Kau ahli dalam apa?" tanyaku, mataku tajam menatapnya, penuh perhitungan.
Irish tersenyum penuh percaya diri, "Bagaimana dengan bertarung dengan memanah, baru kali ini kakak mengajakku bermain. Aku senang sampai terharu" ucapnya dengan nada yang sengaja dibuat aneh, aku tahu kau hanya berpura-pura dasar iblis. Kenapa harus dengan memanah? Aku bisa merasakannya, ada sesuatu dalam dirinya yang terus menantangku, menguji batasanku.
"Baik, siapa takut!" Aku menjawabnya dengan senang hati, merasakan api yang menyala dalam diriku. Kini, aku akan menjebaknya dalam permainannya sendiri, dalam jaring-jaring yang kutenun dengan hati-hati.
Kena kau!!!
"Nenek, jangan khawatir. Aku akan berlatih," kataku dengan nada meyakinkan, meskipun aku tahu betapa besar tantangan yang menanti. Nenek tampak khawatir, wajahnya menunjukkan rasa cemas yang dalam.
"Berlatih membutuhkan waktu yang lama," kata nenek dengan nada penuh keprihatinan. "Dan kau ingin kalian melakukan ini pada acara peresmiannya? Itu terlalu berbahaya, Lydia!"
Aku menatap nenek dengan penuh tekad. "Tak apa, nek. Aku akan melakukannya. Aku tidak takut," kataku dengan suara yang semakin keras, mencoba menenangkan kecemasan di matanya. Aku tahu betul, kalau aku menunggu lebih lama, Irish akan semakin sombong dan merendahkan diriku. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi.
Namun, Irish tampaknya semakin yakin akan kemampuannya. Dia mendekat dengan senyum yang semakin tajam, seolah-olah dia sudah menganggap aku sebagai musuh yang mudah ditaklukkan. "Bagus, kalau begitu," katanya, matanya berkilat penuh tantangan. "Aku ingin melihat seberapa jauh kemampuanmu, Lydia."
Ayah yang sedari tadi terdiam, kini berbicara dengan suara tegas, namun ada kecemasan yang samar. "Lydia, Irish, kalian berdua melangkah terlalu jauh. Ayah tidak akan mengizinkan kalian bertarung seperti ini. Ini bukan permainan!"
Aku menatap ayah, merasa semakin tidak dipahami. "Tuan Mario, ini bukan tentang permainan. Ini tentang membuktikan sesuatu yang lebih besar dari sekadar kekuatan fisik. Dan jika aku mati, maka sesuatu yang besar akan terjadi, Nek," kataku, menatap nenek dengan serius. "Dan kau, Tuan Mario, kau tak perlu takut. Putri kesayanganmu ini tidak akan mati karena aku tidak punya niat membunuhnya. Aku hanya ingin membuktikan kekuatanku."
Suasana semakin mencekam. Kata-kataku bergema di ruangan, mengisi ruang kosong yang seakan menyerap semua perasaan dan ketegangan yang ada. Aku berdiri, melemparkan pandangan terakhir ke semua orang yang kini menatapku dengan ekspresi yang sulit dicerna.
"Jangan khawatir, semuanya. Aku akan terus berjuang untuk melatih diriku," kataku dengan nada datar, dan tanpa menunggu jawaban, aku berbalik dan meninggalkan ruangan.
Langkahku terasa berat, namun aku tahu ini adalah jalan yang harus kutempuh. Saat aku keluar dari pintu, langkah kaki Irish terdengar mendekat, dengan suara yang penuh sindiran. "Lydia, apakah kamu benar-benar yakin bisa menghadapiku? Jangan sampai kamu menyesal."
Aku menoleh sebentar, mataku yang tajam menatapnya dengan penuh kebencian. "Aku tidak akan menyesal, Irish. Ini adalah jalanku, dan kamu hanya akan menjadi bagian dari perjalananku."
Dengan kata-kata itu, aku melangkah pergi, merasakan kegelisahan yang mulai menyusup ke dalam hati, namun juga semangat yang membara. Irish, dengan segala kebanggaannya, tak tahu apa yang akan menimpanya. Dan aku—aku tak akan membiarkan diriku jatuh begitu saja.
"Helena" aku memanggil pelayanku.
"aku akan menulis surat, lalu kirim pada pos kerajaan, ini adalah surat untuk Oliver" perintahku.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Main Princess✔️
FantasyDalilah terperangkap di tubuh kembarannya sendiri, sejak kematian dirinya beberapa hari yang lalu. Highest rank #2 | Pahlawan (13 February 2025) #13 | 2023 (13 February 2025) #22 | Jiwa (13 February 2025)