Kehamilan Irish

42 2 0
                                    

Aku belum sempat menikmati kemenangan kecilku ketika langkah-langkah tergesa-gesa mendekat dari belakang. Begitu aku menoleh, aku langsung disambut tatapan penuh kebencian dari Selir Rosalina. Wanita itu berdiri di hadapanku dengan dagu terangkat, seakan posisinya masih berarti sesuatu bagiku.

"Aku harap kau puas dengan apa yang terjadi hari ini, Lydia," suaranya terdengar rendah, beracun. "Kau sudah mempermalukan putriku di depan semua orang. Tapi kau lupa satu hal—aku adalah ibu dari calon permaisuri. Jika aku mau, aku bisa memastikan kau tidak akan pernah punya tempat di istana ini lagi."

Aku mendengus pelan, menatapnya seolah dia hanyalah debu yang beterbangan di udara. "Begitu?" Aku melipat tangan di dadaku, mataku menyipit dengan sinis. "Dan kau pikir aku peduli? Kau pikir aku takut pada ancaman konyolmu? Dengarkan baik-baik, Selir Rosalina. Aku sudah muak dengan drama murahan kalian."

Wajahnya menegang, tapi aku tidak peduli. Aku melangkah maju, mendekat hingga hanya beberapa inci dari wajahnya.

"Putri kecilmu itu bukan siapa-siapa selain pembohong murahan yang mengira bisa menipu semua orang. Dia pikir dia bisa menggunakan kehamilan palsu itu untuk mengunci statusnya? Betapa menyedihkannya. Dan kau?" Aku tertawa dingin. "Kau lebih menyedihkan lagi, berusaha mati-matian menutupi kebusukan anakmu. Seperti tikus yang berusaha menyelamatkan bangkai busuk."

"Apa kau sadar dengan siapa kau berbicara, bocah?" suara Rosalina bergetar, entah karena marah atau takut.

Aku menyeringai. "Aku berbicara dengan wanita tua yang hidupnya bergantung pada seorang putri pembohong. Kau pikir orang-orang akan percaya kalau aku yang menjebak Irish? Silakan coba. Aku akan pastikan kebenaran menyebar lebih cepat dari racun yang nyaris membunuh putrimu hari ini."

Matanya melebar, tapi aku tidak memberinya kesempatan untuk membalas.

"Aku bisa memastikan tidak ada satu pun bangsawan yang sudi mendekati Irish setelah ini. Aku bisa pastikan Averio akan membuangnya seperti sampah begitu kebenaran terungkap. Dan kau?" Aku menyeringai lebih lebar. "Kau hanya akan menjadi wanita tua tak berguna yang anaknya bahkan tak bisa menjaga kebohongannya sendiri."

Rosalina menggertakkan giginya, wajahnya merah padam karena amarah. Aku tahu dia ingin membantah, ingin mencakarku jika perlu, tapi dia tidak bisa. Dia tahu aku benar.

Aku menepuk bahunya pelan, seakan sedang menghibur anak kecil. "Jadi, kalau kau punya rencana murahan lain, silakan coba. Aku akan pastikan kalian berdua jatuh lebih keras daripada yang pernah kalian bayangkan."

Aku berbalik dan berjalan pergi tanpa menoleh lagi. Aku tidak perlu melihat ekspresinya untuk tahu bahwa aku telah menang dan hal tak terduga, sosok yang hanya berdiam diri. Sang Raja, Ayahku. Seperti pengecut. 

Aku mendengus kesal, dan berbalik tak sudi berlama-lama memandanginya. 

Aku melangkah keluar dari koridor dengan rasa puas yang masih menggantung di dadaku. Selir Rosalina bisa mengancamku sepuasnya, tapi dia tak akan bisa menyentuhku tanpa membakar dirinya sendiri terlebih dahulu.

Saat aku berjalan menuju kamarku, mataku tertuju pada sebuah benda di meja kecil di sudut ruangan—sebuah telepon. Alat ini masih sangat langka, hanya dimiliki oleh keluarga kerajaan dan bangsawan tertentu. Rakyat jelata bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya berbicara dengan seseorang dari kejauhan hanya dengan mengangkat gagang dan memutar angka.

Aku mengambil gagang telepon dan memutar nomor yang telah kuhafal di luar kepala. Butuh beberapa saat sebelum suara khas yang familiar terdengar di seberang sana.

"Lydia?" Suara Oliver terdengar sedikit terkejut, seolah dia tak menyangka aku akan meneleponnya. "Ada apa? Apa kau baik-baik saja?"

Aku tersenyum kecil. "Aku baru saja selesai membuat selir dan adik tiri manisku itu kejang-kejang dalam ketakutan," ujarku santai, seakan aku baru saja membicarakan cuaca hari ini.

Hening. Lalu aku mendengar Oliver mendesah pelan. "Lydia... Apa yang kau lakukan kali ini?"

Aku duduk di tepi tempat tidur, memainkan ujung selimut dengan jariku. "Hanya memberi mereka sedikit pelajaran. Kau tahu, Irish ternyata berbohong tentang kehamilannya. Dia bahkan sampai minum teh berisi Wolfsbane hanya demi mempertahankan kebohongannya."

Oliver terdiam sejenak. Aku bisa membayangkan dia sedang menekan jembatan hidungnya, mencoba meredam kekesalan. "Jadi kau membuatnya meminum racun?"

Aku tertawa kecil. "Jangan bodoh. Aku tidak perlu mengotori tanganku. Dia sendiri yang membenamkan dirinya ke dalam kebohongannya. Aku hanya memberinya sedikit dorongan. Hanya mengamati"

"Aku bahkan tidak tahu apakah aku harus bangga atau khawatir dengan kelicikanmu," gumam Oliver.

Aku mengangkat bahu meskipun dia tidak bisa melihatnya. "Kau selalu tahu siapa aku sejak awal, Oliver. Aku tidak pernah bermain bersih, terutama jika itu menyangkut orang-orang yang mencoba menjatuhkanku."

Dia terdiam sebentar sebelum akhirnya menghela napas lagi. "Jangan sampai kau terbakar dalam permainanmu sendiri, Lydia. Kau terlalu pintar untuk jatuh dalam jebakanmu sendiri."

Aku tersenyum kecil. "Tentu saja. Dan ngomong-ngomong, Cleora menyuruhku mengundang Bruno ke pernikahan kita."

Oliver langsung terbatuk. "Pernikahan kita? Kau sudah merencanakannya tanpa memberitahuku?"

Aku tertawa. "Kau pikir aku mau menikah sendirian? Jangan bodoh, Oliver. Lagipula, itu masih lama... atau mungkin kau belum memikirkannya sama sekali?"

Aku bisa merasakan Oliver tersenyum meskipun aku tidak bisa melihatnya. "Percayalah, Lydia. Aku memikirkannya lebih dari yang kau kira."

Aku menggigit bibir bawahku, tiba-tiba merasa sedikit hangat di dalam dadaku. "Bagus," bisikku sebelum menutup telepon.

Aku meletakkan gagang telepon kembali ke tempatnya dan menatap langit-langit kamarku. Aku hanya ingin menggodanya tapi kenapa lagi-lagi aku yang kalah, kenapa debaran jantungku ini berdetak kencang.

"Aku akan menelepon Bruno, tapi aku yakin pasti dia tidak memiliki telepon" Aku pun mengambil secarik kertas dan mulai menulis lalu memasukan resin tipis bunga Wolfbane's. 

"Aku menyukai bunga ini terimakasih telah mengenalkan bunga ini, aku sangat bersyukur dan aku jadi terselematkan karena pengetahuan darimu. Resin ini adalah hadiah dariku"

"Kirim surat ini" perintahku pada Helena. 

"Baik, Nona. Namun sebelum itu aku ingin memberitahu bahwa ada kabar dari ruang pengobatan. Putri Irish sudah sadar."

Aku mendengus pelan. "Bagaimana reaksinya?"

"Seperti yang Anda duga," Helena tersenyum miring. "Dia menangis histeris dan menyalahkan semua orang atas 'kematian' bayinya. Bahkan, dia mencoba menyalahkan Anda, tetapi dokter kerajaan segera membantahnya."

Aku menyilangkan tangan. "Jadi dia tetap mempertahankan kebohongan itu?"

Helena mengangguk. "Dia berkata bahwa bunga Wolfsbane membunuh bayinya, tapi para dokter menjelaskan bahwa jika dia benar-benar hamil, efek racun bunga itu akan jauh lebih parah. Mengingat dia hanya mengalami sedikit mual dan lemas, mereka yakin dia tidak sedang mengandung sejak awal."

Aku tertawa kecil. "Jadi kebohongannya akhirnya terbongkar."

"Tepat sekali, Tuan Putri," Helena tersenyum puas. "Banyak tamu kerajaan yang sudah mulai berbisik-bisik tentang hal ini. Reputasi Putri Irish sedang runtuh."

Aku menarik napas panjang, merasakan kemenangan yang manis. Namun, ini belum berakhir. Rosalina masih bisa melakukan sesuatu untuk membalikkan keadaan. Aku harus memastikan mereka tidak bisa bergerak bebas lagi.

"Helena, pastikan informasi ini menyebar ke seluruh istana," perintahku. "Aku ingin setiap pelayan, setiap bangsawan, dan setiap pejabat tahu bahwa Putri Irish telah berbohong."

Helena menunduk hormat. "Tentu, Tuan Putri. Saya akan mengaturnya."

Aku berjalan menuju balkon, menatap langit malam yang pekat. Semakin lama aku berada di istana ini, semakin aku menyadari bahwa aku harus lebih cerdas dan lebih kejam jika ingin bertahan.

The Main Princess✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang