Tiga Puluh Sembilan

141 17 0
                                    

Raka dan Lara sama-sama belum bisa tidur. Lama membicarakan banyak hal, mereka sampai tak menyadari kalau sebelumnya mereka sempat berdebat akan melakukan malam pertama atau tidak. Lama-lama, mereka malah lupa sendiri akan soal itu. Dan hampir pukul dua belas malam, mereka tiba di pembahasan ke mana baiknya destinasi bulan madu.

Lara bangkit dari kasur dan berjalan mengambil tabletnya. Kemudian kembali ke kasurnya dan duduk bersila, membuat Raka jadi ikutan duduk. Lara cari tempat destinasi yang dia inginkan. Sampai akhirnya dia menunjukkan foto pantai pada Raka.

"Aela, Ra. Nggak bosan-bosannya apa, ke pantai mulu? Udah bentuk pantai aja tuh muka. Sekali-kali ke hutan, nginap di hotel nggak berpenghuni. Kalo mau makan, curi makanan sesajen."

"Eh! Itu honeymoon apa uji nyali?" Lara menatap Raka dengan sudut matanya. "Sembarangan kalo ngomong. Emangnya kamu bisa nentuin destinasi? Disuruh pilih, jawabnya selalu di luar nalar."

Sejenak tertegun, Raka kian tersenyum dengan sangat manis. Dia menjangkau pipi Lara dan mencubit gemas pipi istrinya itu. "Nah, gitu. Biasain panggil aku-kamu mulai sekarang ya, Sayang."

Lara menepis tangan Raka. "Lo maksudnya."

Dengan ekspresi bersabar, Raka kembali mencubit pipi Lara sekali lagi.

"Kalo gitu seminggu ini kita di rumah aja. Nggak usah ke mana-mana. Isolasi diri sekalian. Stok bahan makanan banyak-banyak untuk seminggu," sungut Lara. Melihat dirinya yang tampak kesal, Raka jadi geli sendiri.

"Nggak usah ngambek. Kan aku udah janji mau bawa kamu ke Finland. Sekarang aku lebih sering bolak-balik ke sana."

"Tapi aku nggak pengen keluar negeri seminggu ini. Pengennya di dekat sini aja ...."

"Yaudin, kita kelilingin aja ini rumah tujuh hari tujuh malam."

"Raka!!"

Sekali lagi, bantal mendarat di wajah tampan Raka. Raka sampai harus menyentuh pipinya untuk mengecek apakah ada yang lecet atau tidak.

"Oke-oke. Kita bakal cari cara asik buat habisin waktu seminggu buat senang-senang. Ke pantai, ke hutan, ke mal, ke gua, atau di rumah aja; pokonya ke mana pun kamu suka, kita bakal jabanin. Sekarang tidur, yuk. Ngantuk. Udah tengah malem ini."

Raka mengambil tablet milik Lara dan meletakkannya ke meja hias yang agak jauh dari kasur. Lalu kembali lagi menjamah kasur sambil mendorong tubuh Lara untuk dibuat berbaring. Lara pikir sudah aman, tapi mengapa dilihatnya Raka tiba-tiba melepas piamanya?

"Wohohoo si Bapak mau ngapain?" tanya Lara waspada. Pelan-pelan, dia mulai menarik selimut dan menyembunyikan tubuhnya.

"Mau cek aset; masih fungsi apa kagak," jawab Raka enteng. Dia lalu menyibak selimut dan dengan santainya menindih tubuh Lara. Tentu saja itu tidak berjalan mulus. Lara yang kagetan hampir-hampir menepuk wajah Raka kalau saja tangan Raka tak gesit menangkap dan menahannya.

Lara mendelik. Sementara kedua tangannya sudah terkunci saja di atas kepalanya. Belum lagi tubuh kekar Raka berhasil menindih tubuhnya meski tak sepenuhnya. Napas mentol yang hangat, serta wajah yang dekat, membuat Lara benar-benar tak bisa berkutik lagi untuk kali ini. Jangankan meraih bantal untuk menimpuk kembali wajah Raka. Melepaskan diri saja sudah tidak mungkin.

Untuk beberapa saat, mereka saling menatap dalam diam. Ada banyak yang Lara rasakan saat menyelam dalam mata Raka. Tak terhitung berapa banyak memori di balik mata itu. Selalu saja ada titik di mana Raka menatapnya sangat sayu; antara haru, sedih, bersyukur, dan rindu. Dan sekarang, Lara sedang mendapati tatapan itu.

Hanya melalui tatapan itu, Lara bisa mengerti apa yang Raka rasakan.

Tanpa berkata-kata, Raka mengecup kening Lara dengan khidmat. Lara seperti dimandikan embun; dia memejam matanya karena nyaman. Raka juga mengecup dua belah pipi Lara, mengendus hidung perempuan itu, menghirup napas Lara sambil tersenyum—apakah Raka tiba-tiba berpikir dirinya akan menghisap energi Lara?

Jangan Membenci MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang