(Mungkin) Kita Belum Berakhir

99 10 1
                                    

Senja kembali menyapa, rona mega menghiasi cakrawala di ufuk barat. Sore ini kau mengajakku menikmati mentari terbenam di pantai sembari menyaksikan buih-buih air laut bercumbu dengan lembutnya pasir pantai. Aku begitu menikmati keindahan yang dicipta dari tangan Sang Maha Sempurna, aku bahkan melupakan sosokmu yang masih terjaga di sisiku dalam bisu. Aku menoleh sekilas ke arahmu dan menangkap tatapan penuh kegelisahan dari kedua bola matamu. Entah apa yang kau pikirkan saat ini, aku tak begitu peduli dengan hal itu. Aku kembali mengalihkan pandangan jauh ke batas laut yang mulai bertemu dengan mentari senja. Langit perlahan semakin gelap, namun kau tak jua mengatakan apa tujuanmu mengajakku ke tempat ini. Kau masih diam dan berperang dengan gejolak hatimu sendiri.

"Apa kau akan tetap terdiam seperti itu?" tanyaku, aku mulai bosan dengan sikapmu hari ini.

"Aku hanya tak tahu bagaimana harus memulainya," balasmu tanpa menoleh ke arahku, melainkan menunduk memandang ke arah pasir-pasir pantai.

"Katakan apa yang ingin kau katakan. Aku mohon, jangan bersikap seperti laki-laki pengecut," ungkapku. Aku tahu kata-kataku mungkin sedikit menyakitkan bagimu, hal itu terlihat dari bagaimana responsmu yang sedikit kaget dengan ucapanku.

"Aku mencintaimu," ungkapmu setelah berhasil mengendalikan diri untuk tidak membalas ucapanku yang terkesan sedikit kasar dan merendahkanmu.

Aku terdiam, entah bagaimana aku harus menjawab penyataan cinta yang begitu tiba-tiba dari bibirmu. Kita bahkan belum lama berkenalan, kedekatan kita bisa dibilang hanya masih sekedipan mata. Namun bagaimana kau bisa menyimpulkan bahwa kau mencintaiku?

"Haruskah aku menjawabnya sekarang?"tanyaku kemudian, sambil memandang tajam ke arah matamu, berharap menemukan apa arti di balik ungkapan cinta yang baru saja kau lontarkan.

"Tidak, aku akan menunggumu hingga kau siap mengatakannya. Tapi jangan buat aku menunggu terlalu lama, kau tahu aku tidak suka menunggu apalagi perihal hati," balasmu sambil melemparkan senyum yang terkesan dipaksakan.

Satu minggu berlalu setelah hari pernyataan cintamu di pantai senja itu, hari ini aku datang ke kampus lebih pagi untuk memberi jawaban atas penantianmu beberapa hari yang lalu. Kakiku melangkah menuju taman kampus, mataku menangkap sosokmu yang telah menantiku di sana, entah sejak kapan.

"Kau sudah lama di sini?" tanyaku, begitu aku telah berdiri di sebelahmu.

"Ah tidak, aku baru saja tiba," balasmu sambil tersenyum. "Apa yang akan kau sampaikan?" tanyamu kemudian. Aku bisa menangkap getar suaramu yang sedikit gelisah.

"Sepertinya aku memberimu izin untuk menjadi bagian dari hidupku," ungkapku sambil tersenyum kecil. Aku tak menyangka bahwa kau akan memelukku saat itu juga ketika aku baru saja menyampaikan jawaban atas penantianmu.

Dua minggu sudah kami bersama, melewati waktu berdua meski hanya untuk bercakap-cakap tentang hal-hal kecil perihal kegiatan-kegiatan kampus atau hal-hal lain yang tak begitu penting.

Dua minggu sudah aku selalu mencoba untuk merasa nyaman berada di dekatmu, mencoba untuk menciptakan getar berbeda saat bersamamu. Ah namun sepertinya aku gagal, aku tak pernah merasa ada yang berbeda dengan diriku saat menghabiskan waktu berdua denganmu. Aku tak merasakan gejolak yang sama seperti mu ketika kita bersama, aku tak mampu menangkap tatapan lembut yang selalu kau tujukan padaku. Aku tak pernah benar-benar merasa nyaman ketika berada di dekatmu.

Aku sempat berpikir, apa aku tak pernah benar-benar mencintaimu? Entah berapa kali sudah aku selalu memaksa diriku untuk terlihat bahagia di dekatmu, menunjukkan pada dunia luar bahwa kita adalah pasangan yang saling mencinta dan saling menjaga. Namun aku selalu gagal, aku selalu kembali pada diriku yang sebenarnya ketika aku bersandiwara bahwa kita benar-benar saling mencinta satu sama lain. Aku tidak memiliki rasa yang sama seperti rasa yang kau berikan untukku.

Hari-hari telah kami lalui berdua, selama itu pula aku selalu memaksa diriku untuk selalu terlihat nyaman berada di dekatmu, bersikap seolah aku memang benar-benar mencintaimu. Aku tak memiliki modus apapun di balik semua kepura-puraan ini, aku hanya tak ingin membuatmu terluka ketika mengetahui aku tak pernah benar-benar menghadirkan cintaku untukmu. Mungkin aku yang terlalu bodoh, aku tak pernah sanggup mengartikan ketulusan yang kau berikan padaku melalui perhatian-perhatian kecil meski terkadang hal itu terlihat sangat bodoh. Tak jarang aku memaki dalam hati pada setiap tindakan-tindakan bodohmu, meski aku tahu itu adalah caramu untuk membuatku tersenyum ketika bersamamu. Namun entah mengapa, aku tak pernah menikmati waktu-waktu kebersamaan kita, aku bahkan sering kali merasa malu pada diriku sendiri ketika kau mulai menunjukkan tindakan konyolmu.

Satu bulan sudah kita menjadi sepasang kekasih, selama itu pula aku selalu menahan diri untuk tidak meninggalkanmu. Selama itu pula, aku selalu mencoba membohongi diri jika aku benar-benar bahagia berada di dekatmu. Kau bahkan tak pernah tahu, bagaimana aku tertawa lepas saat berada jauh dari mu dan ketika aku bersama yang lain. Aku merasa lebih nyaman ketika berada di dekat laki-laki lain meski itu hanya teman. Aku lebih bahagia ketika berfantasi ria bersama mereka dan menertawakan hal-hal kecil yang tak begitu penting.

Satu bulan satu minggu, aku sudah mulai jemu dengan hubungan kita. Hubungan ini tak pernah menguntungkan, baik untukku maupun untuk dirimu.

"Aku ingin mengatakan sesuatu padamu," ungkapku, ketika kami bertemu seusai jam kuliah siang itu.

"Apa yang ingin kau katakan?" tanyamu.

"Maaf, sepertinya hubungan ini harus berakhir. Aku hanya tak ingin kau semakin terluka ketika kita melangkah semakin jauh nantinya," ungkapku. Aku tak berani menatap bola matamu, aku takut melihat sayatan luka yang telah ku goreskan dalam hatimu.

"Bisakah kau memberiku alasan yang pasti?" tanyamu kemudian.

"Aku merasa kita tak pernah cocok satu sama lain. Aku tak merasa ada gejolak yang berbeda dengan diriku setiap kali berada di dekatmu. Maaf," ungkapku.

Kau hanya tersenyum dan mengalihkan pandangan dari arahku. Aku bisa menangkap siratan kekecewaan dari hembusan nafasmu yang berat. "Jika memang seperti itu, aku tak ingin lagi memaksamu untuk tetap menjadi bagian kisah hidupku. Aku tak ingin kau terluka karena keterpaksaan. Terima kasih untuk hari-harinya," ungkapmu sambil tersenyum simpul kemudian pergi meninggalkanku yang masih terdiam di tempat itu.

Beberapa hari setelah kita terlepas dari hubungan yang melelahkan, aku merasa begitu bebas. Aku seperti menemukan diriku lagi yang beberapa hari lalu tersingkir dalam sebuah hubungan tanpa cinta. Aku melewati hari-hariku seperti saat hubungan itu belum ada, tertawa bersama mereka yang selalu membuatku nyaman. Namun, sepertinya kebahagiaan itu hanya berlaku untuk beberapa hari saja. Aku mulai merasa kesepian di hari berikutnya, aku mulai merindukan hadirmu dan tingkah-tingkah bodohmu yang dulu sering kali ku maki dalam hati. Aku serasa terjebak dalam gelombang kesepian yang teramat sangat. Tak ada lagi pesan-pesan singkatmu yang dulu selalu menemaniku, tak ada lagi perhatian-perhatian kecil dari mu yang dulu bahkan tak jarang membuatku muak. Sepertinya aku mulai merindumu dan kita dahulu.

Aku mengerti, kita tak lagi bisa menjadi kita yang dulu. Kau telah bersama dia yang lain sedangkan aku telah bersama laki-laki lain yang mungkin lebih hebat dari mu. Namun, dia tak pernah bisa bertindak bodoh seperti dirimu dahulu, dia tak pernah bisa memberikan perhatian-perhatian kecil yang terkadang membuatku muak seperti dirimu. Mungkinkah tak ada yang seperti mu? Mungkinkah tak ada yang bisa membuatku merasa muak dan jemu dengan tindakan bodoh selain kau?

Aku seperti terjebak dalam mimpi masa lalu, sepertinya aku telah terjerat pada cinta yang dulu sering kali ku harap akan berakhir secepat mungkin. Kini aku mengerti, keterpaksaan itu, rasa jemu dan muak yang dulu acap kali membuatku memaki dalam hati, mampu membuatku begitu merindu hingga terpuruk dalam sepi. Ah, sepertinya aku mulai terjebak dengan cinta di masa lalumu, bukan lebih tepatnya cinta masa lalu kita. Cinta yang selalu aku sia-siakan, cinta yang tak pernah aku anggap ada. Aku takut kehilanganmu, aku takut kehilangan cintamu yang (dulu) hanya untukku. Aku takut dia menggantikan posisiku di hatimu. Ah, bagaimana bisa aku takut kehilanganmu yang bahkan bukan lagi milikku? Aku seperti tak ingin mengakui bahwa kita telah berakhir beberapa bulan yang lalu. Aku merasa (mungkin) kita belum berakhir hingga saat ini, meski di hari itu dengan kejamnya aku melepasmu.

(Mungkin) Kita Belum BerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang