3. Pagi Pertama

19.7K 553 14
                                    

Bahagia itu ketika menjadikanmu sebagai wanita pertama yang kulihat kala membuka mata, bangun dari tidurku
=Rivanno=

=====

Goresan tinta Rivanno

Aku terbangun begitu sinar mentari pagi masuk melalui celah gorden. Menandakan malam telah berganti. Kubuka mata perlahan. Ada yang berbeda pagi ini, tak seperti pagi sebelumnya. Sekarang ada seseorang yang menemaniku tidur. Kulihat Reina masih terpejam. Aku tersenyum.
Bersama dengannya sejak kemarin, dan melalui malam hanya berdua saja masih seperti mimpi bagiku. Mulai saat itu, saat kuucap ijab qabul, ia akan selalu menemaniku sampai hanya maut yang pisahkan kami. Hanya ia, Reina. Bidadari yang paling cantik, paling kucintai di dunia.

Bukan kali pertama aku melihatnya saat tertidur seperti sekarang. Tapi tetap saja, aku tak pernah bosan. Reina menggeliat kecil. Membuat ia makin terlihat manis.  Perlahan dibukanya kedua mata indah itu, kemudian menyipit lagi saat mendapati seberkas sinar yang makin menerobos masuk. Begitu menyenangkan melihatnya seperti itu. Aku tertawa kecil.

Reina terkejut. Mungkin kaget mendapatiku berada tepat di hadapannya. Ia menatapku dengan canggung. Dan saat ia masih terdiam, kukecup bibir tipisnya. Membuat ia sedikit menegang.

Morning kiss,” ujarku seraya mengedipkan sebelah mata dan tersenyum jahil.

Ia tersipu. Samar kulihat rona merah menjalari kulit pipinya yang putih. Aku tersenyum lagi. Istriku ini pasti belum terbiasa dengan status baru kami.

“Sayang ... pagi ...,” sapaku saat ia tak kunjung bersuara.

“Pagi, Kak,” jawabnya terbata.

“Udah pagi. Bangun, yuk!” Ia mengangguk.

Aku mengubah posisi menjadi setengah duduk, namun tetap di sampingnya. Lupa kalau aku hanya bertelanjang dada saat ini. Aku nyaris tertawa melihat ekspresinya. Selimut yang menutupi tubuhnya sedikit tersibak. Menampakkan kedua bahu putihnya. Dan langsung saja terlintas kejadian semalam.

“Rei ....”

“Kak ....”

Kami saling memanggil. Lalu serta merta kecanggungan menguasai. Aku menggaruk kepala yang tak gatal sama sekali. Sementara ia, makin mengkeret di dalam selimut. Beberapa detik kemudian hanya terdengar suara detak  jarum jam di dalam kamar kami. Tak ada yang bersuara.

“Vanno ... Rei ....”

Suara Ibu dan ketukan pelan di pintu memecah keheningan. Namun aku dan Reina malah panik.

“I-iya, Bu,” jaawabku akhirnya.

“Ibu udah siapin sarapan. Kalian udah bangun?” tanya Ibu.

“U-udah, Bu,” jawabku lagi, gugup. Sementara Reina terlihat enggan menjawab.

“Ya udah ... kalian mandi dulu terus turun, ya, Nak.”

“Iya!”

Entah sekeras apa aku menjawab. Tak berapa lama, suara Ibu tak terdengar lagi. Sepertinya sudah menjauh dari pintu dan turun menuju dapur kembali.

Aku melirik Reina. Ia masih tak mengubah posisi. Tetap seperti tadi. Membuat otakku kembali memutar kejadian semalam dan menelan ludah.

“Aku ... aku mandi dulu, ya, Rei,” izinku dengan susah payah menahan perasaan.

Reina mengangguk, tanpa bersuara. Ia sungguh manis. Bahkan berkali lipat ketika sedang berekspresi seperti itu.

Aku berjalan menuju kamar mandi setelah sebelumnya menyambar dan memakai boxer juga kaos yang tergeletak di lantai. Berusaha meredam keinginan yang muncul tiba-tiba saat melihat Reina dengan mengguyurkan air dingin ke kepala.

Cinta TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang