Interval
Manik matanya tertancap tepat di mataku. Tatapannya tajam, seperti elang, seolah menelanjangiku, membuka semua rahasia yang tersimpan rapat di palung hatiku. Oh tidak! Apakah dia tahu kalau aku menyukainya?
Segera, kualihkan pandanganku darinya. Berusaha fokus menatap papan tulis tapi tetap saja, dia yang memenuhi isi kepalaku. Seulas senyum muncul di wajahku saat mengingatnya hingga membuat rona merah di pipiku.
Aku mengembuskan napas lega saat tentor mengakhiri materinya. Setidaknya, aku bisa cepat-cepat pergi dan melupakannya. Tapi tidak, ritme detak jantungku kian tak beraturan saat aku mencium aroma parfumnya mendekat. Ekor mataku menangkap dia berdiri di sampingku. Beberapa saat, aku hanya diam, berusaha meredam gemuruh di dadaku. Apakah dia mendengarnya? Saat aku menoleh, matanya bertabrakan dengan mataku.
"Hai, Ritma," sapanya yang membuatku terlonjak kaget.
"Ha...hai juga, Kenang." sahutku gugup.
*
Tak ada yang istimewa dari gadis yang sedang berjalan di samping gue saat pertama kali aku mengenalnya. Hanya gadis periang yang selalu menularkan tawanya pada semua orang. Seperti sekarang, dia sedang menertawakan bahasa latin syaraf kejepit. Aku ikut tertawa, bukan karena HNP yang sulit dilafalkan tapi karena akhirnya...aku bisa tertawa bersamanya.
"Kalau kamu mau duluan, nggak apa-apa." katanya saat dia bilang mau makan siang.
"Aku juga belum makan siang." kataku sambil menggandeng tangannya.
Dia berhenti. Menatap jemariku yang sudah menyatu di sela jari-jarinya. "Maaf," ujarku lalu melepaskan genggaman tanganku.
Seulas senyum muncul di wajahnya lalu menggeleng. "Tidak apa-apa." katanya lalu kami kembali berjalan sambil bergandengan. Seperti dua anak kecil yang saling diam dan menorehkan senyuman di wajah.
Aku menggeleng saat dia menawari semangkok bakso. Dia memanyunkan bibir lalu bertanya, "Kenapa?"
"Banyak MSG-nya," sahutku lalu mengeluarkan sebuah kotak dari dalam tas. Dahinya berkerut saat melihatku membuka bekal dari Ibu.
"Kamu mau?" tanganku mengarahkan garpu dengan sebuah daging ke arahnya.
"Masak sendiri?" tanyanya sebelum meraih garpu dan melumatnya dengan pelan. "Enak."
"Bukan, Ibu yang membuatkannya untukku."
Entah yang kukatakan salah atau tidak, matanya melebar saat kubilang Ibu yang membuatnya. Ah, lagi-lagi aku ingin cepat pulang. Bukan karena tak ingin bersamanya tapi aku rindu Ibu.
*
Aku tak habis pikir saat dia menyuapiku dengan makan siangnya. Makanan dari ibunya. Aku sama sekali tak tahu cowok seperti dia dekat dengan ibunya. Lihat saja penampilannya. Rambut kribo dengan kumis tipis di atas bibir. Juga ujung celana jeans yang dilipat di atas mata kaki dengan kemeja yang selalu terlihat berantakan. Sepanjang kami bersama, pasti ada saja hal yang menghubungkannya dengan ibu.
"Tidak, Ibu selalu membuat bakso untukku saat hari Minggu." jawabnya saat aku menyuapinya bakso. Sedikit sebal, karena bakso makanan favoritku ditolaknya mentah-mentah.
*
Semalam, aku bercerita tentang gadis itu kepada Ibu. Bagaimana dia tersenyum, tertawa, memanyunkan bibir saat kesal atau bahkan memukul kepalanya dengan pensil saat dia bingung. Aku suka ekspresi wajahnya saat berpikir. Tenang. Dan keeseokan paginya, Ibu memaksaku untuk memotong rambut dan mencukur kumis.
"Ayolah, mana ada gadis yang menyukai lelaki berkumis sepertimu."
Aku menggeleng lalu tersenyum jahil ke arah Ibu. "Tapi Ibu suka, kan?" godaku lalu mencium pipinya. "Lebih mirip Ayah," bisikku yang membuat senyum di wajahnya sirna. Sontak, aku langsung memeluknya. "Maaf, Bu."
YOU ARE READING
Interval part 1
Short StoryManik matanya tertancap tepat di mataku. Tatapannya tajam, seperti elang, seolah menelanjangiku, membuka semua rahasia yang tersimpan rapat di palung hatiku. Oh tidak! Apakah dia tahu kalau aku menyukainya? Segera, kualihkan pandanganku darinya. Ber...