Brukk!
"Ah, lelahnya," ujarku seraya membanting diri di kasur. Margie hanya melirikku.
"Aku lapar, mau memasak mie instan, kau mau membantu, atau mau tidur-tiduran aja?"
"Kalau tidur-tiduran aja, tapi nanti aku ikut makannya aja, boleh nggak?" tanyaku jail.Margie hanya menatapku dengan pandangan awas-saja-jika-kau-berani-begitu-akan-kuterkam-kau.
Buru-buru aku meralat ucapanku.
"Ya ya ya, sebentar, aku ganti baju dulu."
---Yellow---
Ya, di sinilah kami, di desa paman Margie--yang Oh My God pamannya ganteng banget--yang dimana, desa ini anti modernisasi.
Bahan utama baju mereka saja masih dedaunan, listrik adalah hal yang sama sekali asing bagi mereka. Agak menyesal sih, kenapa kemarin bilangnya mau ke Margie. Tapi lumayan lah, untuk menambah pengalaman.
"Die, astaga! Kamu mikirin apa? Aku tungguin daritadi lho, eh malah kamunya bengong di sini, buruan!"
Aku sedikit tergagap saat suara nyaring Margie meneriakiku, dengan gerakan tergopoh gopoh kuambil air sungai didepanku dengan ember, sebelum kemudian berlari menuju tempat dimana Margie berada.
"Haish, ngapain saja sih daritadi, ditungguin juga," omel Margie dengan muka memerah, setengah karena kesal, setengahnya lagi karena panas api didepannya. Tangannya lincah membuka bungkusan mie instan.
"Ehm, Gie, by the way, paman kamu lumayan lho," mukaku memerah saat membayangkan senyum paman Margie, yang lebih suka dipanggil Om Fahri.
"Emang kenapa? Kamu suka? Dia udah punya istri," kata Margie kejam, kini tangannya sibuk mengaduk mie semi-matangnya, tak menghiraukan wajahku yang mendadak nelangsa.Ouch. Kenapa rasanya sesakit ini?
"Uhm, nggak kok, aku nggak suka," dustaku.
"Oh, bagus deh, nih, mie kamu."Duh, kapan hati ini sembuh dari rasa sakit?
---Yellow---
"Gie! Astaga! Kamu...," jeritku kaget melihat Margie yang kini menyadarkan punggungnya di salah satu pohon dengan gaya santai.
Astaga! Apa dia bercanda? Lihatlah bajunya! Kuning! Bajunya berwarna kuning!
"Apasih, ya ampun, lebay deh," ujar Wendie santai, seraya mengibaskan tangannya
"Aduh Margieku sayang, kamu emang nggak takut? Kamu sendiri kan tau, kalau peraturan didesa ini nggak boleh pakai baju kuning, kenapa dilanggar sih?"cerocosku kesal, lebih menjurus ke khawatir sih, sebenarnya."Ah, Die, kamu pernah dengar kata orang gak? Yang bunyinya 'peraturan dibuat itu, untuk dilanggar'," aku memberi tatapan datar padanya. Dia nyengir, tak merasa bersalah.
Ya ampun.
--Yellow--
"Tapi Gie, kamu beneran nggak takut?"
Margie memutar bola matanya. Bosan. Bosan dengan pertanyaanku yang itu itu saja, dan bosan dengan jawabannya yang itu itu saja.
"Ehm Die, kamu tau sendiri aku ini orangnya seperti apa, jadi, tolong jangan menjadi penghalang kemauanku!" ujar Margie tegas.
Aku menelan ludah dengan susah payah.
"Baiklah," balasku tak rela.
Bagaimana jika nanti ia terluka?
Bagaimana jika nanti ia menghilang?
Bagaimana jika nanti ia menjadi batu?
Bagaimana jika nanti ia menjadi gila?
Bagaimana jika nanti...
Bagaimana jika...
Bagaimana...Berbagai pikiran buruk berkelebat di otakku. Kugelengkan kepalaku dengan keras, berusaha membuang pikiran negatif. Kemudian tersenyum tanggung pada Margie yang kini menatapku aneh.
"Kau sedang berpikir yang aneh-aneh ya?"
Iya. "Ah, tidak kok."
"Lantas, kenapa tadi melamun?"
Aku sedang memikirkanmu, Gie. "Nggak kok, aku nggak ngelamun"
Margie mengangkat alisnya tinggi-tinggi. Yang kubalas dengan anggukan dalam diam.
"Yasudah, ayo ikut aku! Kudengar ada tempat bagus di sekitar sini!"
"B-baik"
--Yellow--
a/n
Sebenernya bingung, mau nulis apa di an jadinya, anon cuma mau bilang:Hai hai hai, next part di ranrini ya, and, luv luv yang udah mau baca cerita ini ;3
KAMU SEDANG MEMBACA
Yellow-Wendie [6/6]
Mystery / ThrillerCollab with Ranrini -------------------------------------------------------------------------- Hai, aku Wendie, seorang sahabat dari cewek bernama Margie. Karma? Kutukan? Yah, aku agak sedikit percaya dengan hal hal semacam itu. Dan tampaknya, kini...