0.00
Malam itu aku melihatnya sendiri: Baju hitam berdebu yang tertutupi noda yang menguning, sepatu kulit lusuh berminyaki lumpur halus, lantunan musik kecil yang menghanyutkan, dan kulit putih yang tak asing lagi bagiku… Ini adalah dansa kematian.
***
Aku melihat tanganku sendiri gemetar saat mencoba meraba mukaku yang terusik ilalang tinggi di sekitar pintu pagar, dan jam di arlojiku menunjukkan pukul dua belas malam. Kali ini aku yakin diriku bukan dalam mimpi, kenyataan bahwa para monster tak bernyawa itu berjalan dan berbicara dengan gaya yang berbeda membuatku mampu menyimpulkan satu hal: mereka adalah zombie.
Aku menengadahkan kepala dan melihat langit yang terasa menyilaukan, berusaha menyerapi suasana yang terasa janggal ini. Bagaimana aku bisa terbangun di tempat ini? Berpuluh batu nisan yang mencuat tak beraturan di atas tanah dan udara lembab berdasar amis menjadi latar belakang pikiran di kepalaku. Aku mengerang sedikit saat mencoba mengangkat badan dan duduk bersender dengan luka di beberapa bagian kaki. Luka lebam juga banyak bermunculan di tanganku, seperti mengambang entah karena apa. Lalu ketika aku berhasil menyatukan kembali diriku, aku ingat semua hal.
21.45
Aku ingat, saat itu aku sedang merayakan Halloween di rumah bersama beberapa teman dan kami melakukan sebuah permainan gila. Entah siapa yang memulainya duluan. Mungkin Louie, atau Bram. Tapi aku yakin Annette tak melakukannya. Ia duduk di sebelahku pada saat itu sambil memegangi kantong permennya yang terisi penuh.
“Hey Regan, kau tahu apa yang dilakukan orang mati pada hari ini? Mereka berpesta!” Bram menyenggol tanganku dan tertawa. Wajahnya tampak redup dari sinar api unggun aku buat.
“Benarkah?” Annette menaikkan alisnya sambil memasuki beberapa permen karet ke dalam mulut. Gadis itu tampak menikmati acara api unggun seperti halnya Louie. Ia mendengarkan dan mengomentari, sedangkan aku hanya berharap acara ini selesai agar aku dapat pulang dan tidur di kasur empukku tanpa perlu memikirkan segala jenis monster yang ada di dalam otak Bram.
“Tentu saja. Aku dapat menunjukkannya padamu.” Bram mengangguk, lalu beralih menatap Louie. “Louie, kau ingat tempat itu? Kita sering bermain saat bulan purnama dan mengelilingi gedung tua yang kau anggap sebagai menara itu.”
Mendengar itu Louie langsung tersenyum dan melihat Bram. “Itu masih menaraku, Bram. Annette hanya boleh melihat-lihat sebentar.” Suara berat Louie menjawab. Tubuhnya yang besar menutupi sebagian besar pemandangan bebatuan di depanku. “Tentu saja aku ikut jua agar kau tidak bisa menyentuh batu kesayanganku, Ann.”
“Well? Kurasa semua sudah setuju disini, bagaimana denganmu Regan? Kau mau ikut?”
Aku menaikkan kepalaku seraya tiga pasang mata mengharapkan jawaban. Bagaimana sekarang? Aku tak mungkin terus terang dan mengatakan aku tak ingin ikut. Bermain di pemakaman pada hari Halloween tentu ide cemerlang bagi remaja seusiaku. Tapi entah mengapa aku merasakan ada yang berbahaya dari hal tersebut. Mungkin pikiranku lebih tua dari kenyatannya.
“Regan, mukamu pucat.” Annette menghela nafas dan membuyarkan pikiranku. Rasa malu mulai menjalari badanku yang duduk tegap.
“Ayolah, Regs. Aku bersumpah takkan ada yang bisa menyakitimu.” Bram mencoba meyakinkanku dengan senyum khasnya. “Biar kupermudah jalan bagimu nanti. Yang penting kau harus menikmati hari ini!”
“Dia benar Regan, terakhir aku kesana, aku tak ingin pulang dari tempat itu.” Loiue menimpali. Akhirnya dengan bujuk rayu murahan dari ketiga temanku itu, aku menerima ajakan dengan berat hati dan senyum pahit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dancing Dead
FantasyBermain di pemakaman pada malam Halloween? Menakjubkan! Oh, aku ingat, kehidupan alam lain berlangsung pada malam itu. Mayat yang berdansa ditengah sinar bulan, kau pernah mendengarnya?