Sejak lima menit yang lalu, aku memperhatikanmu dalam diam. Di hidungmu ada bintik-bintik kecil, terlihat kentara karena terpapar cahaya lembut matahari senja. Bibirmu pecah-pecah. Aku harus mengingatkanmu untuk makan sayur dan buah, batinku. Ada noda-noda bekas jerawat di pipi dan keningmu, tapi aku tidak peduli.
Lima belas menit yang lalu, aku menunggumu di kedai kopi kecil di pinggir kota. Desainnya kuno. Batu bata terlihat sengaja tidak disemen di beberapa dinding kedai. Jendelanya pun menggunakan kusen kayu yang rapuh, namun cantik karena sudah dicat ulang. Ubin yang digunakan hampir sama tuanya.
Secara keseluruhan, kedai kopi ini memang tua dan kuno. Meskipun begitu, pemilik kedai ini jelas sangat mencintai kedainya; kedai ini sungguh bersih dan terawat. Pemiliknya bahkan menyulapnya menjadi tempat yang nyaman dan hangat dengan dekorasi-dekorasi buatan tangannya.
Aku suka kedai kopi ini.
Kamu, yang kusuka, kuundang untuk sama-sama menyukai kedai ini; menyukai kopinya, suasananya, pemiliknya, dan mungkin pengundangnya.
Tuhan ada untuk tempat berharap, bukan?
Saat ini kita sedang menunggu pesanan kita datang. Kamu sedang menopang dagu dengan tangan kananmu, memandang lalu-lalang kendaraan yang pengemudinya buru-buru ingin berkumpul dengan keluarga dan beristirahat. Aku menganggap ini sebagai kesempatan untuk menatapmu lamat-lamat, ingin memotret setiap detil wajahmu dengan mata dan ingatanku.
Jadi, aku ikut menopang dagu. Kamu memandang jalan; aku memandangmu.
"Langit senja memang selalu cantik, ya," katamu, memulai percakapan, namun masih melihat ke luar jendela.
Garis-garis wajahmu melembut ketika kamu membicarakan senja, seolah senja adalah orang yang paling disayangi olehmu. Senja terdengar begitu spesial ketika diucapkan oleh bibir penuhmu. Diam-diam aku iri pada senja.
Aku menggumam mengiyakan, sama sekali tidak melirik langit.
Tidak mengatakan apa-apa lagi setelah itu mungkin adalah suatu kesalahan. Masih menopang dagu, kamu mengalihkan perhatianmu kepadaku, hendak memprotes. Mulutmu sudah membuka sedikit, menampakkan lidahmu yang gatal ingin berucap. Akan tetapi, tidak ada sepatah bahasa yang keluar.
Coklat beradu dengan abu saat mata kita saling tatap.
Sekedip kemudian, kamu mengalihkan pandangan. Rona wajahmu sewarna mawar. Seringai lebar tak mampu kutahan untuk bermain di bibirku. Susah payah aku menahan diriku untuk tidak tergelak. Ya Tuhan, kamu lucu sekali ketika kamu tersipu.
Setelah beberapa saat, akhirnya kamu menggerutu. "Kenapa kamu melihatku seperti itu?"
"Seperti apa memangnya?" kataku, menahan senyum.
"Gini."
Kemudian, kamu menatapku.
Lagi, coklatmu bertemu abuku. Aku terpaku.
Ada sesuatu di dalam matamu yang tidak bisa kuterjemahkan saat kamu melihatku. Tatapanmu adalah bahasa asing yang indah, namun tidak kumengerti sama sekali. Matamu mengatakan beribu kata, tapi tidak satupun dapat kutangkap maknanya.
Ada sesuatu di dalam matamu yang tidak bisa kuterjemahkan saat kamu melihatku. Tiba-tiba, aku menjadi sangat tertarik untuk mempelajari arti pandanganmu. Tanpa sadar, badanku condong ke depan, mendekatimu. Kita sama-sama menopang dagu; kamu dengan tangan kananmu, sedangkan aku dengan kedua tanganku yang saling tertaut.
Kamu memiringkan kepalamu ke kanan, lalu tersenyum samar. Matamu berkilat singkat, sekali lagi memancarkan sesuatu yang tidak mampu ku--
Aku menunduk, menyembunyikan mukaku yang memerah.
Sedetik kemudian, tawa puas terlepas dari bibir pecah-pecahmu. Matamu menyipit ketika kamu tertawa dan deretan gigimu yang rapi tampak untuk kukagumi. Aku menggaruk-garuk kepalaku yang sama sekali tidak gatal. Mataku masih belum berani menatap matamu.
"Hei," katamu akhirnya, "Sudah mengerti maksudku?"
Aku mendengar nada jahil dalam suaramu, membuatku mendengus sebal. Tidak ingin membuatmu merasa puas lebih lama karena berhasil membuatku malu, aku memberanikan diri menatapmu lagi.
Coklat itu sekarang tampak hangat, mengingatkan aku pada secangkir coklat panas yang biasa dibuatkan ibu ketika aku sedang mengerjakan tugas sekolahku. Coklat itu mengingatkanku akan rumah, terasa familier dan menenangkan. Kali ini, coklat itu memancarkan jenis kehangatan yang belum pernah kutemui sebelumnya, namun membuatku nyaman.
Kita saling senyum. Muka kita sama-sama memerah. Kamu tertawa, aku nyengir lebar.
Tatapan kita tidak pernah lepas.
"Satu Toraja espresso dan satu caramel tea. Silakan dinikmati."
Aku dan kamu terkejut, lupa bahwa kita tengah berada di kedai kopi tua dan sedang menunggu pesanan tiba. Pelayan lelaki itu tersenyum ramah kepada kita seraya menaruh pesanan kita.
Aku suka menyebut "kita".
"Anda, Mister, adalah pria yang beruntung," katanya, mengedipkan sebelah matanya ke arahmu sebelum pergi. Aku menaikkan alis, menyembunyikan senyum.
"Beruntung? Hei, aku dipermalukan oleh perempuan di sini," kataku, melirikmu saat menyesap kopiku.
Tentu saja kamu tidak akan terima begitu saja. "Bukan salahku. Kamu yang terlebih dulu menatapku seperti itu!"
"Terserah," kataku, enggan mengakui kebenaran ucapanmu. Kamu menjulurkan lidahmu padaku penuh kemenangan, kemudian menghirup aroma karamel pada tehmu sebelum meminumnya.
Kamu mendesah, "Hm, surga... Tehnya enak banget."
Aku mendongak dari kopiku, hendak berkata, "Kopinya juga," tapi dua kata itu tertahan di ujung lidahku saat aku melihatmu tengah memejamkan mata dan tersenyum, mengingat detil rasa yang tercecap oleh lidahmu ketika teh itu mengalir masuk melalui sela-sela bibirmu, kemudian ke kerongkonganmu, meninggalkan jejak manis karamel di mulutmu.
Aku penasaran seperti apa rasa--
Aku mengerang dalam hati. Jangan pikirkan itu, aku memarahi diriku sendiri. Tidak, tidak. Aku sangat menghormatimu. Jauh sebelum hari ini, aku pernah berjanji untuk menjagamu, bahkan dari diriku sendiri, setidaknya hingga Tuhan mengesahkan kita.
Jangan salahkan aku jika aku lebih suka menaruh harap kepada Yang Menciptakan untuk dibersamakan dengan ciptaan-Nya.
Raut wajahku pasti memaparkan dengan jelas isi pikiranku, meskipun dalam hati aku berharap sebaliknya. Ketika kamu membuka matamu, dahimu mengernyit heran. Ah, aku perlu berlatih untuk menetralkan air mukaku.
"Ada apa?"
Aku melirik kopiku. "Gak apa-apa. Kopinya agak pahit buatku."
"Softie," gumamnya pelan.
"Aku masih bisa mendengarmu!"
Sore itu adalah sore yang paling menyenangkan. Aku menyesap Torajaku, kamu menghirup karamelmu. Iya, menghirup, karena kamu tidak bisa berhenti mencium harum manisnya teh karamelmu sampai akhirnya aku lelah mengomentarimu. Sekali pandanganku menemui pelayan kedai yang mengantar pesanan kami, kemudian ia mengangkat jempolnya kepadaku. Mulutnya berkata tanpa suara, "She's hot." Aku memelototinya.
Sore itu adalah sore yang paling menyenangkan. Di dalam sebuah kedai kopi tua, di meja dekat jendela, kita duduk saling berhadapan. Obrolan ringan menggantung tanpa henti di antara kita, dilatarbelakangi musik easy listening yang manis. Aku menatapmu, kamu balas menatapku. Kamu menopang dagumu dengan tangan kananmu, aku dengan kedua tanganku yang saling tertaut. Suatu saat nanti, mungkin tangan kita yang akan tertaut.
Coklatmu bertemu dengan abuku. Mereka berkata tanpa berkata. Ini rahasia semesta.
Begitulah aku membayangkan bagaimana kita akan bertemu: di sebuah kedai kopi tua, di meja dekat jendela, kita duduk saling berhadapan.
Untuk kamu yang belum kuketahui namanya, yang terus kusemogakan, aku harap kita dipertemukan Tuhan pada suatu sore yang hangat, di atas secangkir kopi dan teh.
Atau, lebih baik lagi, di atas secangkir coklat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Suatu Kedai Kopi
Short StorySenja telah menyapa, hendak menutup hari yang lelah. Pada senja ini, biarkan aku menemanimu melewatinya di suatu kedai kopi. Kedai ini spesial. Aku suka kedai kopi ini. Kamu, yang kusuka, kuundang untuk sama-sama menyukai kedai ini; menyukai kopinya...