# The Road of The Dead #
Berkali-kali aku mengerjap, namun keadaan masih tetap sama. Gelap, sama sekali tidak ada cahaya yang masuk ke ruangan. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Terakhir kuingat aku tertidur di UKS karena sengaja mangkir pada jam fisika. 'Kemungkinannya cuma dua: kalau bukan mati lampu, berarti sudah malam,' batinku.
Aku beranjak dari kasur tempatku tidur, sedikit menjengit ketika telapak kaki bersentuhan dengan ubin yang dingin. Tanganku bergerak di depan, meraba dalam gelap, menerka posisiku dan letak pintu keluar. Sekali kepalaku terantuk sesuatu yang kuperkirakan adalah kotak obat. "Shh, sialan," umpatku sambil meringis memegang kepala. "Bakal jadi benjol ini, sih."
Kembali aku menerka benda sekitar sampai apa yang kucari ditemukan. Perlahan pintu terbuka, seiring dengan kepalaku yang menyembul keluar. Aku mengerjap, membiasakan cahaya yang masuk ke retina. Cahaya jingga kemerahan di atas menandakan kemungkinan keduaku salah.
Aku mengedarkan pandangan ke sekitar, sepi. Padahal biasanya sore-sore begini kegiatan ekstrakulikuler dilaksanakan. Kulangkahkan kaki di koridor menuju tangga, ada yang terasa asing bagiku. Setapak demi setapak yang kulalui semua tampak berbeda: cat di tembok tidak secerah biasanya, bangunan sekolah terlihat lebih tua, juga pohon rindang di dekat gerbang masuk seharusnya tidak pernah ada.
Sampai di lantai dua, aku berjalan perlahan di lorong remang menuju kelas. Semua lampu padam. Sumber cahaya hanya berasal dari matahari yang masuk lewat jendela kelas di sisi-sisi lorong. Kuperhatikan lagi keadaan sekitar. Asing, benar-benar asing. Loker yang biasanya rapi, kini ditumpuk asal.
Semua siswa sudah menghilang ketika aku sampai di kelas, tinggal menyisakan tasku yang tersampir di bangku paling belakang. Selagi berjalan menggapai tasku, tanpa sengaja aku menyenggol meja yang kulewati, menciptakan bunyi decitan nyaring antara kaki meja dengan lantai.
Aku tergeming untuk beberapa saat, lalu menyadari ada langkah kaki yang terdengar. Seperti benturan antara sepatu boots dengan lantai di sepanjang lorong. Awalnya samar, namun lama-lama gema langkah itu semakin jelas, juga nyata. Gorden yang menutup jendela kelas tak ayal membuatku semakin merinding karena terus berkibar pelan. Sampai satu bayangan hitam itu terintip dari celah pintu di bawah, dan dalam sekejap menghilang bersamaan dengan suara langkah barusan.
Aku mematung selama beberapa detik, masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Tanpa sadar, peluh telah menetes di dahi. Seketika aku tersadar, aku kembali melanjutkan aktivitas mengambil tasku, buru-buru menyelempangkannya di bahu dengan asal.
Tak sampai di sana keterkejutanku usai, papan tulis white board yang biasa terpampang di depan kelas kini diambil alih oleh papan kapur tua. 'Shit! Apa-apaan ini?!' umpatku kesal. Segera aku berjalan keluar kelas, berniat mencari dalang dari ini semua untuk mendamprat dan menjejalkannya dalam gua kemurkaan.
Aku berlari ke arah pintu, mendorongnya dengan kasar, sehingga pintu itu menjeblak keluar dengan bunyi yang cukup keras. Untuk yang kesekian kali aku tersentak, lalu cepat aku menoleh ke belakang.
Ini aneh. Ini tidak nyata. Pasti halusinasi. Aku sudah gila. Tidak, aku tidak gila. Ini mimpi. Semua. Cuma. Mimpi. Tapi ... dari mana datangnya orang-orang berseragam hitam ini? Beberapa detik lalu, kelas dan lorong sepi, namun sekarang lihat apa yang terjadi! Beberapa orang beraktivitas di sini.
Tak ada yang kupikirkan lagi selain berlari menuju tangga, beberapa kali kulihat orang berpakaian hitam di sekitar yang tampak tak sadar akan keberadaanku. Wajah mereka lesi, tatapan matanya kosong seakan tanpa atma. Peluh makin membanjiri wajah. Aku mempercepat langkah, namun tempat tujuanku tak kunjung mendekat. Lorong yang kususuri tak berujung. Nafasku mulai terengah, jantungku berdetak cepat.
Seketika lantai tempatku berpijak bergetar hebat. Namun, getarannya tidak menggebah orang-orang di sana. Mereka terus berjalan mengikuti arah lorong tanpa ujung. Aku terombang-ambing, menabrak dinding dan bahu-bahu misterius tak berisi jiwa. Sampai aku melemas, kakiku mulai ruat, pandanganku buram, lalu semuanya gelap.
***
Aku terbangun dengan pening di kepala. Berharap mimpi buruk itu telah selesai. Sayang, asa tinggallah asa. Yang kudapat adalah aku sedang berdiri di tengah lapangan luas, dengan angin yang bermain dengan rambutku yang tergerai panjang. 'Mimpi lagi,' batinku meyakinkan, walau keyakinan itu tak dapat seratus persen kuterima. Semua terlalu nyata untuk disebut mimpi.
Dari tempatku, terlihat puing bangunan yang meninggalkan rangka. Jarak pandang yang jauh membuatku harus menyipitkan mata. Bangunan yang tak asing, keadaan sekitarnya juga.
Aku berjalan mendekat. Banyak orang sibuk menyingkirkan puing di beberapa titik, mencari sesuatu yang tertimbun di dalamnya. Susah payah mereka mencoba mulai dari menggunakan alat berat sampai alat tradisional, hingga salah satu berteriak, "saya menemukannya!" Cepat mereka menyingkirkan puing-puing yang tersisa, menggotong sesuatu itu, lalu memasukkannya ke kantung oranye yang sebelumnya mereka bawa.
Aku berjalan lebih dekat, terlebih karena penasaran. Mengintip apa yang ada di dalam lewat celah kantung yang belum tertutup sepenuhnya. Seketika tubuhku meremang, mataku memburam, dan aku tersadar ... atmaku telah keluar dari raga.
Rabu, 9 Agustus 2015
KAMU SEDANG MEMBACA
The Road of The Dead
Короткий рассказAku sepenuhnya sadar bahwa kematian itu benar-benar ada. Aku tahu, semua jasad manusia itu bermuara pada kematian. Yang sulit kupercaya, jalanku ke 'sana' benar-benar di luar dugaan. Copyright © 2015 by lil-galilei