Bab 2

53.2K 2.1K 39
                                    

Saroh menyeka meja makan yang baru saja digunakan oleh majikannya saat Mayang kembali ke ruang makan untuk menanyakan beberapa hal ke pembantunya itu.

"Ponakanmu itu sudah sampai mana?" Ditariknya kursi makan paling ujung untuk duduk.

"Harusnya sudah sampai Stasiun, Nya. Tapi Rohana belum telepon, mungkin ada sedikit kendala." Saroh menjawab sambil terus tekun menyeka meja.

Mayang bersedekap. Tangannya yang menyilang di dada merupakan tanda bahwa ada hal penting yang ingin disampaikan, Saroh hafal betul gerakan itu. "Kalau ponakanmu sudah ngabarin, orderin gojek, bawa ke sini. Sebelum dia kamu kirim ke apartemen Juan, saya mau memastikan semuanya oke."

"Baik, Nya," jawab Saroh kemudian menghela napas panjang.

Mayang meninggalkan ruang makan, kini ia duduk di teras sambil membaca koran. Telepon genggam Saroh berdering, panggilan masuk dari kontak yang diberi nama Rohana.

[Bulek, maaf baru telepon. Tadi aku kesasar terus baterai lowbat, ini cari tempat buat charge dulu sebelum ngabari.]

"Yawes, Nduk. Yang penting kamu nggak apa-apa. Bulek segera orderin gojek buat kamu, sms-ke posisi kamu sekarang di mana, kamu pakai baju apa, terus nanti pas turun kamu ndak usah bayar yo. Bulek sudah bayar pakai non tunai."

[Enggeh, Bulek.]

Satu jam setelahnya, Saroh tampak sibuk menjemur pakaian. Suara Mayang melengking menyerukan namanya. "Roh, Sarooooooooooooooh. Ponakan kamu datang."

Mendengar itu Saroh segera berlari ke luar, lewat garasi samping. Benar saja, Rohana sudah di depan berbincang dengan Mayang. Entah apa yang mereka bicarakan.

"Ajak ponakanmu masuk dulu," saran Mayang yang langsung diiyakan oleh Saroh.

"Yuk, Nduk." Saroh membantu membawakan beberapa barang Hana.

Hana dengan sopan menyerahkan tas dari anyaman ke Mayang, isinya oleh-oleh dari kampungnya. Sambal pecel, bawang merah, keripik pare, sampai batik adem khas Nganjuk. Mata Mayang langsung berbinar, terlebih harga bawang di Jakarta sedang fluktuatif, naik meroket bak harga emas. Lumayanlah, bawang dari Rohana bisa untuk persediaan sebulan.

"Nggak perlu repot-repot bawa beginian," basa-basi Mayang yang tak kuasa mengendalikan senyum semringahnya. "Ooo iya, barang bawaan kamu cuma satu tas ransel itu saja?"

"Enggeh, Bu," balas Hana.

"Panggil Nyonya." Saroh berbisik ke keponakannya.

"Oh, maaf, maksud saya Nyonya." Hana mengoreksi, Mayang tersenyum maklum.

"Eeee, siapa nama kamu?" tanya Mayang sambil mengingat-ingat.

"Rohana, Nyonya."

"Ooo iya, Hana. Tolong buka tas kamu, ya. Saya ingin lihat barang apa saja yang kamu bawa."

Rohana menoleh ke Saroh, meminta pendapat lewat tatapan matanya. "Iya, Nyonya." Dibukalah resleting tas ransel hitam yang ia cangklong tadi. Hanya ada beberapa potong baju sederhana, yang semua celananya panjang dan longgar. Lalu mukena, sajadah, charge ponsel, sikat gigi, dan pasta gigi.

Mayang puas melihat isi tas Hana yang tidak neko-neko, gadis itu bahkan tak memiliki satupun alat make up. Padahal wajahnya cukup cantik meski tanpa riasan, tapi ia tak centil sedikitpun. Lugu, polos, dan sopan. Mayang suka pribadi Hana, baru kali ini ia mendapat pembantu lajang yang tak banyak tingkah.

"Ya sudah, Saroh, ajak ponakanmu makan dulu sebelum mengantarnya ke tempat Juan." Mayang mempersilakan Hana ke dapur, mengikuti Saroh. Sementara Mayang sendiri pergi ke kamarnya untuk menyimpan oleh-oleh dari Hana.

MAJIKAN ADALAH MAUT [REPOST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang