N.O.T

38 3 0
                                    

Memasuki rumah, hal pertama yang menyapaku adalah, "Sudah makan, Miracle?"

Suara ibu dari dapur. Rumah kami kecil, jadi tanpa terlalu membesarkan suara pun suara ibu tetap terdengar olehku dari ruang depan yang sambil melepas sepatu.

"Sudah."

"Kapan? Dimana?"

"Tadi, di sekolah."

Aku makan jam 10 pagi dan itu sarapan bagiku. Sekarang jam 3 sore dan makan siang belum kulakukan, tapi aku tidak mau memberitahu ibu.

Sebenarnya setiap hari aku begitu.

Aku masuk ke kamar, mencabut ponsel dari charger-an lalu membawanya baringan bersamaku di tempat tidur. Mengecek SMS yang selalu dari operator. Kadang ada SMS penting dari teman atau guru BK-ku, tapi hari ini hanya SMS dari operator. Rasanya aku ingin membunuh pemilik operator ini.

Aku membuka Wattpad, aku membiarkan imajinasiku bermain sebelum berpikir untuk mengetiknya.

Aku memikirkan kata demi kata untuk menggambarkan kejadian dan perbuatan yang dilakukan "pemeran".

Bagiku ini wajar, kupikir semua penulis begitu. Tapi kadang juga tidak. Mungkin penulis lain tidak begitu. Aku memang sering berubah pikiran, dan aku senang akan itu. Bagiku itu membuatku agak unik.

Tapi apa pentingnya?

Apa ya?

Ah, sudahlah, lupakan.

Aku mengetik sedikit yang kudapatkan dari imajinasiku. Lalu menyentuh tanda centang dengan ibu jari. Cerita yang belum selesaiku tersimpan.

Aku suka melihat readers di chapter sebelumnya bertambah, itu membuatku tersenyum.

Tapi yang paling membuatku senang dan yang paling kutunggu adalah komentar. Kurasa selain karena menulis adalah duniaku, komentar adalah alasan lain mengapa aku menulis cerita.

Aku suka membaca komentar pembacaku, kadang malah kubaca lebih dari sekali. Kalau menurutku komentar itu perlu dibalas, aku akan membalasnya.

Kalau aku tidak mood menulis, aku akan membaca komentar chapter sebelumnya dan moodku pun membaik.

Aku menulis ini bukan tanpa alasan. Untukku, dan juga penulis lain.

Semoga para pembaca menjadi sadar. Aku benar-benar berharap.

[]

Berjalan menuju depan rumah. Kadang aku melihat kucing liar melewatiku, seperti hari ini. Darahku berdesir.

Mereka itu lucu, polos. Apa jadinya ya kalau aku membunuh salah satunya? Apa yang lain akan berduka? Mungkin temannya atau keluarganya?

Memangnya mereka punya hati?

Jemputanku sudah datang, aku naik ke boncengannya dan motor melaju menuju sekolah.

By the way, aku benar-benar ingin mencobanya.

Tapi aku juga bukan orang yang tega'an. Kalau kucing itu merasa sakit gimana?

Tapi aku penasaran.

Duh, gimana nih.

Aku sudah sering merasakan pergolakan ini, tapi kali ini rasanya aku tidak perlu menahannya lagi.

Aku mau dan aku harus.

[]

"Miracle, apa kau melihat pisau mama yang kecil itu?"

Deg.

"Yang kecil yang mana, ma?"

"Yang kecil, yang gagangnya putih."

Deg. Deg.

"Yang agak tumpul itu?"

"Iya, yang agak tumpul itu, kamu lihat?"

Deg.

Jantungku berdetak turun ke perut. Aku mendadak mual tapi tidak ingin muntah.

Aku lupa mengembalikannya!

"Tidak tau, ma."

"Bantu mama mencarinya ya?"

Aku mengangguk lalu mulai pura-pura mencari.

Aku kembali ke ruang tv karena biasanya ibu atau ayahku suka makan buah dan menaruh bekas pisaunya di sana, dan ibu tau itu, jadi ia tidak bertanya apa-apa melihat kepergianku dari dapur.

Sekitar lima menit kemudian aku kembali ke dapur dan mengatakan, "Tidak ketemu."

"Apa ada yang meminjamnya ya?"

Aku memasang wajah "tidak tau". "Mungkin."

"Ya sudahlah, kan, ada pisau kecil yang lain," kataku menyarankan.

Ibu menghelas nafas. "Yah, terpaksa pakai yang lain."

Aku mengangkat bahu dan pergi ke kamar.

[]

"Clee, kamu dipanggil mama tuh."

Aku terbangun karena suara keras ayah yang sudah dari sananya, tapi tidak bangun dari tempat tidur.

Aku melirik jam dinding kamar dan kembali berguling di tempat tidur.

Jam 4 sore dan aku baru tidur kira-kira setengah jam. Aku pura-pura tidur. Sukur-sukur bisa tidur lagi.

Srrrt.

Suara tirai kamarku digeser. Tapi aku tidak membuka mata.

"Dia tidur." suara ayah.

Lalu tidak terdengar apa-apa lagi. Aku kembali melanjutkan tidur pura-puraku.

[]

"Clee, sudah jam 5 sore." ayah membangunkanku. Aku menggeliat.

Pada akhirnya aku tidak bisa tidur lagi.

Aku keluar kamar dan mendapati ibu tiduran di samping ayah di depan tv. Itu pemandangan yang biasa.

"Tadi mama memanggilku, kenapa?" tanyaku.

"Kamu denger?" ibu malah bertanya balik.

"Iya, tapi aku tidur lagi."

"Kalau dengar itu nyaut dong. Papa bilang kamu tidur."

"Mataku ngantuk banget, jadi aku lanjut tidur."

"Gorengkan ikan sana, tangan mama habis terkena minyak panas."

Aku melihat ke arah tangan ibu. Memang melepuh. Lalu mengangguk pada ibu sebelum pergi dan melakukan apa yang disuruh.

By the way, gimana kabar kucing itu ya?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 16, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

N.O.TTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang