"Sekali lagi maaf ya. Kalau lo mengalami gangguan-"
"Ah, ga usah, makasih. Gue buru buru." Lelaki itu memotong ucapan Myka dan pergi begitu saja dengan skateboardnya.
"Yasudahlah." Myka kembali kedalam mobil. Dia merasakan keanehan dalam mobil ini. Entah apa yang terjadi.
"Rin, Ris, Lyv? Semua baik baik aja kan?" Ia melihat Rinka yang disebelahnya, lalu menengok kebelakang.
Rinka terlihat sedikit gugup, Riska melonggo seperti sapi, dan Lyva.. dia satu satunya yang masih bersikap seperti biasa. Ini kenapa sih?
"Ba.. baik kok Kak." Ujar Rinka. Myka mengendikkan bahunya dan mobil itu kembali berjalan.
Entah apa yang terjadi pada Rinka. Sepanjang jalan ia terus terbayang lelaki tadi. Sedangkan Riska, dia benar benar terus memabayangaknnya. Kalian bisa tebak sendiri keadaan Lyva. Ya, dia sibuk dengan kunci kunci gitar yang terus berputar dikepalanya.
***
Hari ini ada murid baru dikelas. Namanya Kevin Jonathan, dan dia duduk dengan Rinka. Itu tidak buruk bagi Rinka, Kevin orang yang lucu, baik dan pintar. Bukan tipe yang dibenci olehnya-suka nyontek-.
Tapi, Orix tampak tidak suka sama sekali. Dia benar benar terganggu dengan kehadiran Kevin. Yasudahlah.
Riska duduk dengan Eva, sedangkan Lyva duduk dengan Rena dibelakang Riska dan Eva.
"Va.."
"Kenapa Ris?"
"Gue tadi ketemu cogann!" Lyva memutar bola matanya saat mendengar obrolan saudara kembarnya dengan Eva.
"Ah, masa? Dimana? Siapa? Sekolah disini juga?" Eva nampak antusias.
"Sst, eh kalian, Bu Rissa lagi nerangin PR nomer 12. Entar lu pada ditegur baru tau." Rena menasihati mereka berdua, sedangkan Lyva hanya pura pura tidak mendengarnya. "Tapi cogannya level apa?" Lyva ingin lenyap dari sana secepatnya. Sampai kapan dia harus terus duduk dengan Rena yang seperti itu.
"Ih, Re! Itu tuh cogan level teratas!" Riska menghadap kearah belakang. Lyva yakin, kali ini suara Riska terdengar ke telinga Bu Rissa.
"Kalian membahas apa Riska, Eva, Rena dan.. Molly?" Bu Rissa berada tepat dibelakang Riska. Riska meringis. Lyva melonggo tak percaya, ia bahkan tak mengeluarkan sepatah kata pun tapi namanya dibawa bawa.
"Saya ga ikut mereka ngobrol Bu." Ujar Lyva.
"Benarkah Mollyva? Bagaimana dengan Eva dan Rena?" Rena menelan salivanya dan Eva menunduk.
"Hm? Tidak ada yang berbicara? Kalau begitu Riska kerjakan nomer 13, Rena nomer 14, Eva nomer 15 dan Molly kerjakan nomer 16." Lagi lagi ia dipanggil Molly.
"Tapi kan Bu.. saya-"
"Ibu mau kamu kerjakan nomer 16 Mollyva Lavender." Lyva bangkit dari kursinya sambil memutar bola matanya.
"Ini semua gara gara kalian. Gue kan ga ikutan ngobrol." Lyva berbisik.
"Santailah Lyv." Rena mengambil spidol di meja guru.
Dalam 2 menit Eva menyelesaikan soal itu. Yah, Eva memang pandai sih. Lyva dan Riska hanya melonggo belum menulis apapun dan Rena masih sibuk dengan hitungannya. Mungkin sebentar lagi Rena selesai.
"Soal macam apa ini.." Lyva menggerutu.
Samar samar Lyva mendengar perkataan Orix yang duduk di barisan depan meja guru. "Itu kan soalnya yang paling susah, Rin. Gimana mereka bisa ngerjain?"
Lyva menghela nafasnya. Soal yang biasa saja sudah membuatnya pusing, apalagi yang paling susah. Hidup memang berat.
Baru saja Rena menyelesaikan soal itu, terdengar ketukan pintu. Muncul seorang guru yang termasuk disegani. Kelas hening, Bu Rissa juga tidak berucap septah kata pun. Riska dan Lyva terus fokus pada soal dipapan tulis.