Aku benci rumah sakit. Aroma antiseptik yang sebenarnya menyembuhkan jadi terasa menyesakkan jika dihirup terlalu lama.
Karena aku bosan, langsung saja aku melangkahkan kakiku ke luar dari kamar pasien. Aku bersyukur minggu depan sudah boleh pulang. Terserang tifus itu begitu menyebalkan. Membuatku jadi terlihat sakit-sakitan.
Di luar rumah sakit, aku melihat sebuah gedung bernuansa country yang asing. Aku tidak pernah melihatnya, mungkin karena terlalu sering mengurung diri di dalam kamar pasien.
"Kau lihat? Dari pagi café ini tidak pernah sepi!"
"Tentu saja, banyak cogan di sana, yang datang udah pewe di sana gak mau balik-balik lagi sampai dipaksa pulang gara-gara kasian yang nunggu,"
Aku mendengar gosip dua gadis remaja -- seusia anak SMA yang masih mengenakan seragam mengintip antrian sepanjang empat meter itu.
"Memangnya karena cogan jadi ramai?" Entah keberanian dari mana, aku bertanya demikian.
Syukur keduanya ramah, mereka menyunggingkan senyum lembut.
"Iya, nama cafénya aja Princafé. Tapi rumornya gak salah juga katanya kopi mereka enak banget!"
"Aku juga penggemar kopi, tapi yang latte sih,"
Mendengar kata kopi, aku teringat dengan seseorang yang menyukai kopi, sampai menuntut ilmu ke negeri seberang dan kini kami putus kontak.
Aku pun beroh ria, sampai menemukan seorang laki-laki bertubuh tinggi. Rambut indigo yang ditata penuh gaya, warna mata yang senada dengannya menatapku ketika tengah berlari ke arahku, kemudian berhenti.
"[Reader]-san!"
Aku mengerjapkan mataku beberapa kali.Begitu aku melihat wajahnya dari dekat, aku mengenal wajahnya. Begitu mengenalnya. Berpisah dengannya dan kemudian bertemu lagi. Ichinose Tokiya!
"Ichinose-san?" Aku pun menekap wajahku, syok parah. Kedua gadis barusan berhisteria, mungkin berkesempatan melihat wajah salah satu dari café adalah suatu keajaiban.
"Tokiyaaaa~" suara ramah pemilik rambut flame red itu berlari menyusul laki-laki yang menemuiku tadi. Sama persis dengan ekspresi Ichinose, dia mengerjapkan mataku beberapa kali.
"[Reader]-chan! Lama tidak berjumpa!" Sebuah senyuman hangat yang ditemani deretan giginya yang rapi diluncurkan oleh laki-laki berambut merah barusan.
"Ittoki-kun?" Seingatku Ittoki tidak pergi ke negeri seberang, melainkan melanjutkan kuliah.
"Aku menyusul Ichinose karena dia kehabisan biji kopi, kami mau milih bareng. [Reader]-chan mau ikut?"
Aku mau-mau saja, tetapi aku masih mengenakan pakaian pasien. "Maaf aku tidak bisa. Lagian aku juga masih pakai baju pasie--"
"Loh! [Reader]-chan sakit apa sampai ke rumah sakit?" Ittoki bertanya dengan raut wajah khawatir.
"Aku terserang tifus, di tempat tinggalku ya desa, jadinya fasilitasnya masih minim. Kalau di sini udah bagus, jadi dipindahin ke sini,"
Ichinose menatap arloji hitamnya. "Ini masih awal musim semi, seharusnya [Reader]-san tidak keluar dengan baju tipis seperti ini,"
Ichinose pun melepaskan mantel cokelat mudanya, memakaikannya kepadaku yang membeku oleh tindakan perhatian yang kelewat tiba-tiba. Dia masih tidak berubah, cuek-cuek tapi mengejutkanku dengan tindakannya.
"A-ano, tapi bajumu juga seharusnya tipis, Tokiya," Ittoki mencolek bahu bidang Tokiya yang dibalut kemeja putih lengan panjang.
"Kita sudah harus pergi ke pelelangan kopi. Cepetan. [Reader]-san, kami duluan ya," pamitnya menggeret Ittoki/what?/ditarikajamaksudnya.
Aku menatap antrian yang kebanyakan menolehku.
Berbagai ekspresi pun disuguhkan kepadaku. Baik itu marah, kesal, cekikikan sendiri. Masa bodoh, lebih baik aku ke rumah sakit lagi daripada ditatapi lama-lama."My Little Lamb [Reader]-chan?"
Julukan itu juga tidak asing lagi. Pemilik rambut blonde gondrong bermata aqua itu sedang mengantongi puluhan tangkai mawar merah yang dibagikan gratis kepada pengunjung yang sedang mengantri.
"Jinguji-san!" Sudah lama sekali aku juga tidak menemuinya. Jinguji Ren, anak pemilik perusahaan besar Jinguji Group itu bisa nyasar ke sini?
"Little lamb pasti heran kenapa aku ada di sini, heh?" Ia menopang daguku agar bisa menatapnya face-to-face.
Semua yang kutemui setelah dua tahun terakhir masih tetap sama. Hanya aku yang menjauh dari mereka. Karena aku terharu atau apapun itu, pelupuk mataku menitikkan air mata.
"Membuat gadis menangis tidak baik, kau tahu?" Suara berat terdengar di sisi kiri Jinguji. Laki-laki yang memiliki mole di bawah matanya melipat tangan. Hijirikawa Masato!
"Hijirikawa-san?"kejutku menatapnya memakai apron biru muda.
"Lama tidak berjumpa, [Reader]-san," tatapannya melembut, sebuah senyuman tipis melekat di sudut bibirnya.
Aku mengangguk pelan. Dulu semasa SMA, aku mengikuti ekskur yang sama dengan Hijirikawa. Ekskur PKK. Dan laki-laki ini sangat pandai dalam menyulap bahan makanan menjadi dessert yang memanjakan lidah pencicipnya.
"Cepetan bagi bunganya, kasian Shinomiya dan Syo, mereka sibuk di dalam," tegur Hijirikawa menyikut Jinguji.
"Iya, aku juga tahu. Besok ke sini, Little lamb. Akan kusuguhkan sapuan cinta kopi khusus untukmu,"
"Udah jangan gombalin cewek mulu,"
Jinguji terkekeh pelan. "Sampai jumpa, Little lamb,"
Aku pun menatap antrian yang sepertinya tidak berkurang sama sekali sejak bertemu dengan Ichinose.
Princafé. Bentukan teman-teman yang ternyata berada di sebelah rumah sakit. Seharusnya aku menyadarinya dari awal, hanya saja jendela ruanganku hanya kupakai untuk sekadar mendapatkan oksigen alami.
Tetapi hal yang mengejutkanku, serius mereka berenam kini mengisi kafe itu?!
Author's note :
Aloha! Aku mengisi pojokan fanfiction bagian uta no prince. Sudutnya orang pertama, tapi namanya nama kamu :)
Pleasure to vomment!
See ya on the next part ♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Princafé [END]
ФанфикTuhan, mungkin aku sedang ditampar oleh mimpi. Tapi aku boleh berbahagia sedikit saja? Namaku, [Full Name] adalah seorang gadis NEET (Not Educating, Employment, or Training) yang jatuh sakit sehingga harus dirawat di Tokyo. Tapi ketika berada di Tok...