Daffa menguap. Bukan karena ia mengantuk, tapi karena baru bangun.
Daffa mendapat giliran jaga terakhir, setelah Eza yang kini sudah mulai terlelap.
Pria ini berdiri dan berjalan mendekati jendela, sebentar lagi matahari terbit, walau tidak terlalu terlihat karena tertutup awan salju.
Uap nafasnya mengepul. Daffa tersenyum, alasan mengapa ia memilih villa ini-walau berhantu-adalah karena ini cukup terpencil dan bebas dari polusi. Udaranya pun masih segar.
Satu jam berdiri di sana, Daffa bergerak untuk membangunkan teman-temannya-kecuali Eza. Namun, telinganya menangkap suara senandung, senandung yang keluar dari mulut seseorang.
"Siapa itu?" pikir Daffa setelah berbalik dan melongo ke bawah. Ia pun mendapati gadis dengan mantel berwarna oranye yang sedang menyapu salju yang menutupi sekerumun bunga. Tidak mau menambah rasa penasarannya, Daffa segera berlari ke bawah menemui gadis itu diam-diam.
oOo
"Selamatkan aku..."
"Jangan pergi! Berbahaya!"
"Haha! Kalian akan mati! Mati! Mati!"
"Mamaaaa!"
"Fan! Fanny! Aduh Fan, bangun dong!"
Jessie mengguncang-guncang tubuh Fanny yang berkeringat. Mulutnya terus mengeluarkan teriakan, dan tangannya menggapai-gapai angin.
"Jessie!"
Fanny sontak bangun dan memeluk Jessie yang ada di hadapannya. Jessie membalasnya dengan memberikan belaian dan melepasnya perlahan. "What's wrong Fan?"
Fanny memejamkan matanya. Bayangan mimpi buruk itu cepat sekali lagi hilangnya, hukum mimpi. Semakin kamu mengingat, semakin kamu melupakannya. Andai saja, cinta juga seperti itu. Eh?
Fanny menggeleng sambil memijat pelipisnya. "Nightmare, ugh."
Jessie tersenyum dan mengusap bahu Fanny. "Yaudah, kita ke bawah yuk, sarapan." ajak Jessie membantu Fanny berdiri.
Fanny berdiri dan berjalan dibantu Jessie. Fanny menoleh ke Jessie, "sarapan? Siapa yang masak? Hantu?"
Jessie terkekeh. "Kita kapok kali, Fan. Yang masak Chika, she is so good at that."
Fanny mangut-mangut. "Ah iya, Chika enak banget masakannya."
Mereka berdua sampai di meja makan. Teman-temannya menyapa keduanya hangat dan melanjutkan sarapan mereka. Fanny ikut duduk di samping Nesya dan hendak memakan nasi goreng buatan Chika.
Baru sesuap, Fanny mengedarkan pandangannya. Ia merasa ada sesuatu yang hilang.
"Daffa mana?" celetuk Fanny membuyarkan aksi sarapan mereka, menjadi sunyi senyap.
"Entah?" sahut Adhan yang kini sedang mengambil roti bakar, sambil mengedikkan bahu.
"Kalian ga sembunyiin apa-apa, dari gue 'kan?" tanya Fanny penuh selidik, menatap teman-temannya satu per satu.
Vania memutar bola matanya. "Dia dari pagi emang udah hilang, kali."
Fanny membelalakkan matanya. "Daffa? Hilang?"
"Dia ga hilang Fanny. Mungkin, dia lagi keliling-keliling." sahut Eza yang merasa kesal, aktivitas sarapannya diinterupsi.
"Gue mau cari Daffa." Fanny beranjak dari bangkunya dan berkeliling menjelajah villa. Sesekali, ia bertemu dengan hantu dan zombie yang menyeringai-atau mungkin disebut senyum-kepadanya. Fanny bergidik, itu menyeramkan.
"Hahahaha, I like you. Funny."
Fanny terperanjat, ia memutar badannya ke arah barat. Tepat ke arah pintu halaman belakang, yang kini terbuka setengah. Samar-samar, ia melihat bayangan kaki, dan ia yakin itu siapa.
"Daffa?" gumam Fanny sambil berjalan menuju pintu halaman belakang.
Samar-samar Fanny mendengar suara seorang perempuan, dan itu membuatnya gemetar. Ia takut, Daffa akan dibunuh. Tidak, tidak, buang pikiran bodoh itu, Fanny.
Brak
"Daffa!"
Fanny membuka pintu kasar, menyentakkan dua remaja di hadapannya.
"Fanny? Ada apa?"
Fanny berlari dan meloncat memeluk Daffa. Daffa terhuyung mundur karena terkejut, ia melingkarkan kedua tangannya memeluk Fanny, takut gadis itu jatuh.
"Fanny? Kenapa?" tanya Daffa lagi.
Fanny melepas pelukannya dan menatap Daffa yang tidak memakai snapback. "Mimpi buruk. Dan lo ga ada di samping gue, malah kabur ga tau kemana." Fanny mendengus sambil melipat kedua tangannya.
Daffa terkekeh dan mengacak rambut Fanny. "Gue cari angin segar, Fan."
Fanny memutar bola matanya, ia melirik gadis bermantel oranye di samping Daffa. Gadis itu biasa, tidak seperti hantu atau zombie yang lainnya. Tapi...
Tangannya berdarah.
"Pergi! Pergi!" teriak Fanny mendorong gadis itu kasar.
"Why you do this to me?" lirih gadis itu berdiri, dan membersihkan salju yang mengotori tubuhnya.
"Just go! You are ghost! Zombie! Don't dreaming to deceive us!" pekik Fanny yang membuat gadis itu terbelalak.
"No... you don't know anything..." lirih gadis itu menunduk.
"You all are wicked!" pekik Fanny lagi.
Gadis itu mengangkat kepalanya, dan berlari ke dalam villa, entah kemana.
Daffa menatap Fanny tak percaya, pria itu mengguncang bahu Fanny kasar. "Kenapa lo bilang kaya gitu ke dia Fan? Dia baik! Dia baik!"
Fanny menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Mereka semua jahat! Mereka ingin kita juga mati di sini, Daffa!"
Daffa mencengkram bahu Fanny. "Siapa yang bilang? Siapa!"
Fanny terdiam. Ia bungkam akan bentakan Daffa padanya. Bayangkan, seseorang yang sudah kau anggap kakak, dan membentakmu? Rasanya sakit. Dan itulah yang Fanny rasakan.
Fanny menunduk, ia membendung air matanya. "Aku... aku... cuma takut mereka nyakitin kamu Daff. Aku... ga mau kehilangan kamu..." ucap Fanny terbata-bata.
Daffa yang terlanjur emosi, tak memedulikan itu. Ia melepas cengkraman tangan dari bahu Fanny dan pergi memasuki villa.
"Lo berlebihan." ucap Daffa singkat sebelum benar-benar meninggalkan Fanny sendiri.
Fanny jatuh bersimpuh sambil menyembunyikan tangis di balik wajahnya. Ia tak mampu menangis terlalu banyak, karena air matanyap justru mudah membeku.
"Bukan cuma takut kehilangan Daf. Juga cemburu."
To be continued
Ini filler aja kok! Part selanjutnya udah masuk riddle house! Dan maaf banget kalo sedikit karena ini emang udah plotnya.
Walaupun cuma filler, tapi ini akan berhubungan di part akhir. Kepo ga?
Rencana mau double update, tapi votenya harus sampe 5 atau 10 lah, nanti aku update hari ini juga!Sekian, jangan lupa baca 'Untitled' ya! Bikin baper deh, cek aja di work! Sip
24.10.15
KAMU SEDANG MEMBACA
Riddle House [HIATUS]
Misteri / ThrillerSembilan remaja yang berniat berlibur dengan petualangan seru. Justru terjebak dalam rumah menyeramkan penuh teka-teki. Akankah mereka selamat?