Prolog

124 9 9
                                    


Aku menatap cermin, pipiku semakin tirus dan tulang tulangnya menonjol. Pergelangan tanganku mengkerut. Rambutku rontoh dan semakin tipis. Aku berpaling karena muak melihat cermin melihat betapa anehnya wajahku sekarang dan berbalik ke tempat tidur. Duduk dipinggiran tempat tidur, duduk disitu adalah hal yang paling nyaman. Aku bisa memikirkan banyak hal disana.

Hujan tak kunjung berhenti, terus menerus menghantamkan petir petir keras. Bau tanah menyeruak tajam melewati dinding- dinding teralis. Angin menyerang kain penutup jendela seperti seseorang yang terbang lewat jendela. Dingin semakin mencengkram. Tidak ada yang bisa membuatku takut sekarang. Aku sudah biasa melewati ruang ruang gelap dengan seorang penjaga aneh dengan alis tebal dan wajah datar. Aku sudah biasa tinggal sendiri bersama kamar serba putih dan obat obat atau bergabung dengan orang orang aneh dan menyeramkan. Tapi aku sadar seseorang yang paling menyeramkan dalam hidupku bukan hanya kakakku tapi diriku sendiri.

Aku tidak pernah merasakan lagi bagaimana mencat dan menyatukan warna warna kamar atau bagaimana membeli baju dengan warna warna yang bisa dipadukan. Semua bajuku sekarang berwarna putih atau warna warna pastel. Tidak ada celana pendek atau kaus untuk bersantai. Semua baju panjang berkancing atau sweater tebal berbulu dan bau obat. Hampir semua isi ruangan yang sekarang menjadi rumah, sekaligus kamarku berwarna putih atau perak terang.

Aku tersenyum sedikit karena beberapa bulan lagi aku terbebas dari mimpi buruk ini. Bahwa sebentar lagi aku bisa hidup normal. Tetapi yang membuatku masih betah disini adalah orangtuaku. Mereka mungkin belum bisa menerimaku sepenuhnya. Atau bahkan tidak bisa.

Sore tadi Ibuku datang dengan Ayah. Ibu tersenyum dan menitikan air mata, tapi ayahku tidak berbicara sama sekali ia berkeliling dan menghiaraukanku. Aku mendorong kursi roda ibuku lebih dekat sehingga tiba tiba ayah datang dan menariknya menjauh. Ia menatapku marah dan gelisah. Ibu mencoba mengomel pada ayahku tapi suaranya tidak keluar sama sekali bahkan ia tidak bisa menggerakan tangannya sedikitpun.

Ayah menatapku tajam ,aku tersentak tapi kemudian aku tidak peduli. Rahang ayah mengeras ketika mata kami bertemu. Tapi satu hal yang aku tahu adalah bahwa aku sama sekali tidak takut padanya, atau menyesal. Atau hal lain yang bisa dirasakan anak lain ketika bertemu Ayah yang membencinya, dan Ibu yang sakit sakitan kerana dirinya. Tapi aku tidak bisa merasakan apa apa kecuali kekosongan. Aku bahkan tidak bisa merasakan bagaimana itu jatuh cinta, atau menangis.

Aku benar benar mempunyai teman banyak dan tawa setap hari. Tapi lama lama sebuah tembok membatasiku dengan orang lain. Bahkan membuatku susah payah merobohkannya. Hingga aku menyerah dan memutuskan untuk menutup diriku dan perasaanku.

Jam dinding berdetak memecahkan kesunyian. Hujan reda tapi mataku masih terbuka ketika semua orang sudah menutup dirinya dengan selimut dan tidak sadar bahwa hujan telah pergi. Aku berbaring dan menatap langit langit. Ada sesuatu dalam pikiranku. Sebuah rencana besar yang akan mengubah hidupku. Aku merasa sangat bahagia meskipun butuh waktu 7 bulan lagi untuk keluar dari gedung busuk yang menguburku selamat 2 tahun. Rasa kantuk menggangguku aku terus menahan tidur. Aku mengambil gelas berisi air dan menegak semua isinya.

Hingga aku sadar aku telah meminum air yang dicampur obat tidur yang diberikan Suster Anna karena ia kasihan melihatku tidak tidur dan selalu menahan tidur di malam hari. Tapi ia malah membunuhku, ia malah mempertemukanku dengan gadis itu.

THE DARKNESS OF DREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang