Bab 4

37.5K 1.9K 65
                                    

Pintu kamar mandi terbuka, Juan masuk dengan paniknya. Tak ada siapa-siapa sejauh matanya memandang.

"Hana? Kamu di mana?" Apa Rohana hilang diculik dedemit?

Suara serak Hana menggema setelah pertanyaan itu dilontarkan Juan. "Saya di balik pintu, Mas."

"Oh," desah Juan lega. "Airnya kenapa?"

"Itu, tadi pas saya puter, yang keluar air bukan di kerannya, tapi pancuran di atas saya. Jadinya saya kaget. Terus anehnya, airnya panas, Mas. Apa orang yang tinggal di atas lagi masak air ya?"

Juan mengusap muka, ada senyum kecil di bibirnya. Bisa-bisanya gadis itu mengira air panas yang mengucur di kamar mandi ini merupakan air bocor dari unit lain. Memangnya apartemen Juan menara Sutet? Tanpa atap dan bisa kebocoran?

"Saya kira kenapa, kamu bikin kaget saja, Hana. Air panas ini namanya water heater, tidak perlu rebus air."

"Oooh, begitu. Maaf ya, Mas, kalau saya kampungan."

"Sekarang kamu ke sini, saya ajari bagaimana cara pakainya." Juan berniat menjelaskan ke Rohana satu persatu.

"Tapi saya belum berpakaian, Mas," jawab Hana lirih.

"Astaga, Hana." Sekali lagi Juan mengusap muka stresnya sambil menelan liur untuk membasahi tenggorokan yang tiba-tiba kering. "Kenapa kamu berani sekali membuka pintu, kalau belum pakai baju? Jangan pernah melakukan hal semacam ini, apalagi dengan pria dewasa lain. Kamu sedang membahayakan diri kamu, Hana."

"Ta-tapi, saya sudah pakai handuk, Mas," jelas Hana membuat Juan semakin tidak mengerti.

"Kamu pakai handuk?" tanya Juan retoris. "Kenapa kamu harus ngumpet di balik pintu kalau begitu?"

"Ya karena saya cuma pakai handuk, Mas."

Juan auto lemas, ia makin pening, asam lambungnya makin memburuk. "Kamu pikir saya pria macam apa, Hana?"

"Ya ... macam pria, Mas. Manusia, bukan setan."

"Ya ampun, maksud saya, apa kamu berpikir saya adalah pria mesum?"

"Tidak, Mas Juan sangat sopan dan baik, seperti kata Bulek Saroh."

"Ya terus kenapa kamu bersembunyi?" Kesabaran Juan mulai habis.

"Soalnya kata buk'e, ndak sopan pakai handuk doang di depan orang lain. Namanya ndak beradab." Hana membela diri dengan prinsip yang ditanamkan oleh ibunya.

Juan melunak, alasan Hana yang kolot masih bisa diterima akal sehatnya. "Baiklah, saya keluar dulu. Kamu pakai baju, lalu panggil saya, nanti saya jelaskan cara pakai semua alat-alat di kamar mandi."

"Siap, Mas."

Juan keluar, Hana dengan kecepatan luar biasa mengganti pakaiannya. Kurang dari satu menit nama Juan telah dipanggil oleh Hana.

"Mas Juan, sudah." Gadis itu membuka pintu kamar mandi, menyambut Juan dengan senyuman lebar.

Juan yang hampir tiba di sofa berbalik lagi. Kembali berjalan menuju kamar mandi. Ia mulai menjelaskan detail kepada Hana tentang cara penggunaan setiap benda yang ada di sana. Sebenarnya Hana tidak terlalu bodoh, hanya beberapa hal yang tidak pernah ia jumpai di kampungnya yang membuat Hana bingung.

"Yang kanan ini untuk keran bawah, yang kiri untuk shower atas. Nah, di bagian tengah ini ada putaran dengan tanda panah kan, jika kamu arahkan ke atas, airnya akan menjadi air panas. Sebaliknya jika diarahkan ke bawah airnya akan dingin. Kalau mau air hangat arahkan tanda panahnya ke tengah. Paham?"

"Paham, Mas. Oo iya, saya ada pertanyaan. "

"Ya, apa itu?"

"Boleh saya minta sabun dan sampo Mas Juan? Kayaknya mahal, botolnya bagus e ... saya jadi takut pakainya. Takut tidak diperbolehkan."

Juan menyukai pribadi Hana yang santun dan selalu permisi sebelum menyentuh barangnya. "Pakai aja dulu, nanti saat ke supermarket saya belikan yang khusus buat kamu."

"Waaah, terima kasih, Mas."

"Ya sudah, kamu lekas mandi, supaya kita bisa segera belanja."

"Siapppp."

***

"Kare-nya enak, Mas. Beda sama bikinan ibuku."

Juan mengajak Hana makan di kafe sebelah supermarket yang masih berada di kawasan apartemennya. Karena Hana mengatakan pesan terserah Juan, maka ia memesankan nasi dengan Japanese curry favoritnya. Juan tersenyum melihat Hana juga menyukai makanan itu. "Itu menu favorit saya di sini. Syukurlah kalau kamu suka."

"Eh, bukannya Mas Juan ada asam lambung? Katanya ndak boleh makan yang bersantan," komentar Hana setelah menelan kunyahan di mulutnya.

"Kata siapa? Justru kandungan magnesium pada santan bisa mengatasi refluks asam lambung," balas Juan membuat Hana mengangguk-angguk.

"Jangan-jangan Mas Juan dokter ya?" tebak Hana dengan senyum lebar yang khas. Senyum yang seolah bisa menularkan kebahagiaan pada siapa pun yang memandang.

Juan terkekeh. "Bukan, saya desainer interior."

"Oh, ternyata desainer interior toh."

"Kamu sendiri, rencana kuliah jurusan apa?" Kini Juan balik bertanya.

"Jurusan Farmasi, Mas. Sempat melamar ke Fakultas Kedokteran, tapi gagal dapat beasiswanya."

Juan terkagum untuk sesaat. "Kalau gitu kamu pinter dong sekolahnya, sampai bisa dapat beasiswa di kampus Pinus, jurusan farmasi lagi."

"Cuma jago matematika, yang lain gabuk, Mas. Hehehe."

Juan terkekeh lagi. Baru kali ini ia bisa bergurau dengan pembantu. Selain karena Hana anaknya asik dan enak diajak bicara, Juan memang tak pernah bisa dekat dengan pembantu di rumah mamanya. Sejak kecil Mayang selalu membatasi interaksi Juan dengan para pembantu di rumah mereka. Apa pun yang Juan inginkan, ia harus mengatakannya ke Mayang, nanti Mayang sendiri yang meneruskan permintaan Juan ke pembantunya. Tak hanya ke sang putra, Mayang juga membatasi akses Abdi, suaminya, agar tidak terlalu dekat ke pembantu.

"Kalau makannya sudah, kita langsung belanja aja," ajak Juan setelah menyadari piring Hana sudah bersih.

"Ayok, Mas." Hana berdiri dan dengan semangat pergi.

Supermarket sore itu sepi, tak banyak orang berbelanja di sana. Juan dan Hana bisa bebas memilih bahan makanan dengan santai.

"Ambil telur dua mika ya," perintah Juan sambil menunjuk ke arah rak telur. Satu mika berisi sepuluh butir telur ayam negeri. "Saya lebih suka ikan, udang, cumi, atau seafood lain, daripada ayam. Jadi masak ayamnya usahakan satu kali saja dalam seminggu."

"Tunggu sebentar, Mas." Hana meminta Juan berhenti. Ternyata gadis itu sedang mengeluarkan buku catatan kecil dan bolpen dari dalam saku, untuk mencatat ucapan Juan.

Melihat Hana sibuk dengan catatan, Juan mengambil alih troli yang didorong Hana sedari tadi. "Bagus, kamu punya inisiatif mencatat, jadi tidak ada yang terlupa," puji Juan seraya menghadiahkan senyum termanis. .

Demi mie goreng yang direbus, Rohana klepek-klepek melihat wajah tampan majikannya tersenyum dengan sederet gigi putih yang rata dan pas untuk bibirnya yang penuh tapi membulat. Jika dilihat-lihat, wajah Juan sepintas mirik aktor yang main dalam film La Tahzan. Hana berpikir keras mengingat-ingat nama pelakon tokoh Yamada.

Ah, Joe Taslim. Bener, Mas Juan mirip banget sama Joe Taslim, terutama hidung dan senyumnya. Jangan-jangan mereka saudaraan?

"Mas, pernah ada yang bilang kalau Mas Juan mirip sama aktor Joe Taslim tidak?"

Juan melirik Hana dengan tatapan lebih menelisik. Apa gadis ini memperhatikan wajahku sejak tadi?

"Banyak. Memangnya kami semirip itu?" jawab Juan kalem.

"Banget, mirip banget. Kayak saudara kandung," timpal Hana yakin seyakin-yakinnya.

"Kami memang saudara, Joe Taslim, Juan Taslim. Kamu baru tahu?"

"Haaaaahhhh, beneran?" Hana terperangah takjub.

Juan tertawa. "Sayangnya saya bohong."

"Iiihhhh, Mas Juan. Saya kirain serius."

***

MAJIKAN ADALAH MAUT [REPOST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang