Dragon's Last Kiss

2.6K 104 16
                                    

Aku berdiri terpaku tepat di pinggir pertokoan, di tengah terpaan gerimis sehalus sutra yang menyapa tiba-tiba. Rasa sejuk yang kontan diserap kulit wajahku tidak sanggup mengalihkan pandangan dari objek yang kuperhatikan sejak lima menit lalu. Bola mataku terpancang lurus pada sebuah poster film Hollywood yang ditempel dari balik jendela kaca transparan sebuah tempat penyewaan DVD.

            The Girl with the Dragon Tatoo, aku mengulangi judulnya di dalam hati. Dibintangi oleh si cantik Rooney Mara tapi jelas bukan itu yang menghipnotis tubuhku seumpama pendulum untuk terus berdiri di sini.

            Gadis bertato naga tidak bisa tidak hanya akan mengingatkanku pada sosok yang masih bersinggasana di pikiran, berkubang dalam lautan memori, dan tersimpan dalam kotak harta di palung hatiku yang terdalam. 

            Di mana dia sekarang? Apa dia baik-baik saja? Pernahkah dia mengingatku paling tidak sedetik saja dalam hidupnya?

***

            “Dua martini,” pintaku sambil mengacungkan jari pada bartender yang berdiri di di balik meja di hadapanku.

            Aku dan Geri, rekanku, sedang berada di salah satu kelab malam terbesar di ibukota. Sebagai anggota penegak hukum, kali ini kami berdua ditugaskan untuk mengumpulkan informasi tempat yang akan dijadikan pertemuan seorang bandar narkotika internasional yang ingin menjalin kerjasama dengan pemain lokal.

            “Terima kasih,” kataku pada si bartender ketika dia meletakkan pesananku. Sekilas mataku menangkap sebuah tato bergambar naga, tepat di bagian dalam pergelangan tangannya. Saat itulah aku baru menyadari kalau dia seorang perempuan. Rambutnya sebahu, berwarna hitam, sekelam lukisan eyeliner memanjang yang menciptakan nuansa oriental di sudut matanya.

“Kukira wanita lebih suka bunga atau malaikat,” sambungku kalem sambil menyesap pesananku. 

            Dia tersenyum tipis sebelum membalas, “Kukira polisi hanya minum orange juice.”

            Sesaat aku terperangah sebelum dengan cepat menetralisasi ekspresi wajahku agar sedatar jalan tol. Bagaimana mungkin dia mengetahui siapa aku sebenarnya? Intel yang tengah bertugas tidak boleh dikenali dan itu harga mati!

            “Jangan terlalu yakin. Lebih mudah menganggapku sebagai orang jahat ketimbang pria baik-baik,” balasku, mencoba pura-pura tak peduli pada kata-kata terakhirnya.

            Dia mencondongkan tubuh sehingga aku bisa mencium wangi lembut lavender yang menguar tajam dari tubuhnya. “Tenang saja,” bisiknya, “aku tahu persis kau pria macam apa karena kalaupun salah satu di antara kita adalah penjahat maka orang itu pastilah aku.”

            Aku tidak tahu apakah itu efek lavender atau karena kata-katanya, tapi seketika aku merasa tenang. Bahkan ketika akhirnya aku memberanikan diri untuk mengulurkan tangan padanya.

            “Juno.”

            “Liong.”

***

            Kalau tidak teringat akan tato naga yang melingkar itu, aku pasti akan protes ketika Liong menyebutkan nama aslinya, Wulandari. Sebuah nama yang indah tapi tetap saja dia memintaku memanggilnya dengan julukan yang diberikan orang-orang padanya itu.

            “Mereka bilang aku naga yang cantik,” ujarnya tertawa sambil menyelipkan sebatang rokok filter di antara bibirnya yang mengkilap, menyemburatkan warna jingga yang mengingatkanku pada suasana rembang petang.

Sophi's Music BoxWhere stories live. Discover now