Heartbeats [Avin/01]

131 3 3
                                    

Seperti bandara pada umumnya, Bandara Internasional Narita Jepang seakan tidak pernah berhenti beraktivitas walaupun hari sudah malam. Terlihat banyak orang berlalu lalang, beberapa dari mereka berpelukan dengan kerabatnya seakan tidak akan pernah bertemu lagi. Ada pula yang hanya berdiri dengan kopernya, sepertinya menunggu seseorang. Aku termasuk salah satu yang sedang berdiri, menunggu seseorang sebelum aku pergi meninggalkan Jepang setelah lima hari di sini. Sudah lima belas menit aku berdiri di sebelah mesin kopi otomatis di salah satu sudut bandara.

Aku mengenakan celana jeans biru dengan atasan sweater rajut berwarna pink, tidak lupa mantel hitam yang membalut tubuhku karena sekarang adalah musim dingin. Dan juga tipikal sepatu hak tinggi Charlotte Olympia dan tas hitam Chanel. Kubiarkan rambut coklatku yang panjang tergerai, sekali kali aku kibaskan sebagai bentuk ketidaksabaranku.

"Natasha!" terlihat seorang gadis berlari ke arahku sambil mengayunkan syal berwarna putih. Aku pun berjalan ke arahnya dengan tersenyum.

"Halo, Hasegawa" sapaku.

"Hush, Nat. Berhenti memanggil nama keluargaku, bisa – bisa ayahku bangun dari tidurnya saat ini," membuat kami berdua tertawa. "Hanya Mari untukmu." Lanjutnya.

"Oh tentu, Mari-san." Jawabku.

Hasegawa Mari adalah sepupuku dan ya, dia orang Jepang. Dia memiliki fitur layaknya orang Jepang pada umumnya, tetapi dia memiliki rambut pirang sejak lahir dan dia cukup tinggi. Apakah aku orang Jepang juga? Sayangnya tidak. Kisah pertemuan Bibi Chloe, adik ibuku, dengan Paman Kudo atau suaminya yang sekarang dan merupakan ayah Mari, bermula saat Bibi Chloe ditugaskan untuk melakukan misi sukarela sebagai seorang dokter selama tiga tahun. Paman Kudo juga seorang dokter sekaligus supervisor Bibi Chloe dan kemudian mereka berdua menyukai satu sama lain, setahun setelah keduanya mengenal satu sama lain lebih baik, mereka menikah. Klise, jika aku boleh berkata.

"Tidak kusangka kau rela membuang waktumu yang sangat berharga, sampai kau menolak ajakan ku untuk pergi ke Harajuku dua hari yang lalu, hanya untuk mengantarkan syalku yang tertinggal." Ucapku dengan sedikit sarkasme.

Mari pun tertawa. "Ayolah, Nat. Pada akhirnya kau dapat pergi bersama Yuko, kan? Dan juga, aku menolakmu saat itu karena alasan, asal kau tahu." Dia pun menunjukkan paper bag yang ia bawa.

"Aku berjanji padamu bukan bahwa aku akan menemukan The Beatles White Albumlimited edition dengan tanda tangan John Lennon yang sangat kau inginkan jika kau datang ke Tokyo bulan ini," Aku mencoba mengingat – ingat. Ah, dia pernah berkata seperti itu, tapi kukira dia hanya bercanda.

"Dua hari lalu aku pergi ke Hokkaido untuk menemui temanku yang baru saja kembali dari Frankfurt setelah berhasil membeli White Album yang aku pesan. Dan aku membelinya dari seorang kolektor dengan harga mahal, Natasha." Ucap Mari seraya mengedipkan sebelah matanya.

"Kau tidak ... Apa kau serius?" Aku tidak mendapat jawaban atas pertanyaanku, kuanggap hal itu sebagai pertanda bahwa dia benar-benar mendapatkan album yang sudah lama aku incar. "Astaga ini menjijikkan tapi aku benar-benar menyayangimu, Hasegawa!"

Gadis di depanku ini kemudian membuat suara tch. "Kau benar-benar menjijikkan, Hans!"

Kami pun tertawa bersama untuk kesekian kalinya malam ini. Sudah cukup lama sejak terakhir aku bisa tertawa lepas seperti ini, aku senang dapat bertemu Mari sebelum meninggalkan Tokyo.

"Oh ya, jika kau sudah sampai di London, tolong katakan pada Mia bahwa keluarga Hasegawa dan Jepang merindukannya." Ucap Mari pelan.

Mia, sudah beberapa hari sejak terakhir aku mendengar namanya, kurasa aku merindukannya.

"Tentu saja. Tapi Mari, aku serius. Kenapa kau mau datang jauh-jauh kemari? Dan tolong jangan katakan karena syalku yang tertinggal, aku tidak akan termakan omonganmu. Oh, aku harus masuk sebentar lagi." Kataku seraya melihat jam tangan yang kukenakan.

HEXXA: The Complete SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang