Bab 5

32.2K 1.8K 38
                                    

"Kamu mau ke mana, Hana?" tahan Juan saat Hana nyelonong masuk duluan mendahului tuannya.

"Ke dapur, Mas. Simpen belanjaan ke lemari es, sama mau siapin makan malam buat Mas Juan."

"Hmmm, karena ini hari pertama kamu, saya rasa kamu tidak usah masak dulu. Saya akan pesan makanan untuk makan malam kita. Habis makan malam kamu bisa segera pergi beristirahat."

Rohana terperangah mendengar penuturan Juan. Ia memang kelelahan karena harus naik kereta malam dan tidak bisa tidur nyenyak selama perjalanan, karena itulah kali pertamanya pergi jauh dari kampung halaman. Belum lagi saat sampai Stasiun Jati Negara, Jakarta, dengan pengalamannya yang minim membuatnya tersesat, ditambah baterai ponsel yang tinggal sedikit sehingga ia tak bisa segera menghubungi buleknya. Hana benar-benar lelah dan Juan yang peka menyadari kantung mata pembantunya menghitam, pupilnya pucat, sesekali mata Juan yang tajam menangkap Hana sedang menguap secara sembunyi-sembunyi.

"Wah makasih, Mas. Tapi ini masih sore, saya jadi tidak enak tidur sore di hari pertama kerja."

"Jangan begitu, kamu harus menjaga kesehatan. Kalau kamu sakit saya juga yang repot," jelas Juan membuat beban Hana sedikit meringan.

Mereka makan malam bersama setelah cumi bakar teriyaki, kepiting saus padang, dan cah kangkung pesanan Juan datang. Hana benar-benar bersyukur atas nikmat yang Tuhan titipkan melalui Juan. Dirinya yang di kampung jarang-jarang ketemu lauk mewah, seharian ini dijamu luar biasa oleh keluarga Juan. Tadi pagi Saroh memberinya semur daging, paru kering, dan rendang babat. Lauk sapi-sapian kegemaran Hana biasanya hanya ia santap pada Hari Raya Idul Adha, itupun kalau ia dapat sumbangan banyak daging kurban dari musala. Siang tadi Juan membelikannya kari ayam yang dimasak dengan bumbu khas Jepang. Kalau daging sapi atau kambing ia makan di Idul Adha, ayam yang diolah menjadi opor atau dimasak bumbu bali biasa Hana temui di Hari Raya Idul Fitri saja. Malam ini, demi apa ia akhirnya bisa makan kepiting dengan saus sesedap itu? Berkat Juan, Hana jadi tahu bahwa di dunia ini yang namanya lauk tidak cuma tempe, tahu, dan ikan asin. Ada begitu banyak hal yang belum pernah Hana coba dalam hidupnya, kini ia cicipi satu per satu.

Juan selalu puas melihat ekspresi penuh syukur Hana. Nafsu makan Hana yang baik secara tidak langsung meningkatkan selera makan Juan. "Pelan-pelan, Hana. Nanti kamu kena gangguan pencernaan kalau makan cepet-cepet gitu," saran Juan sebelum meneguk air putih di gelasnya. "Makanannya masih banyak, tidak akan saya habiskan. Jadi jangan khawatir."

"Ma-maaf, Mas. Saya memang kebiasaan makan cepat. Kata ibu e, makan ndak boleh sambil ngomong dan harus cepat kalau mau jadi orang berhasil."

"Orang berhasil?" Juan mempertanyakan makna kalimat Rohana.

"Mungkin orang sukses maksudnya."

"Oh."

Makan malam telah berakhir, Hana melaksanakan kewajibannya. Membersihkan meja makan, mencuci piring di dapur kemudian pergi tidur. Di dalam kamar, Hana yang kelelahan langsung tergelepar di atas kasurnya. Ia persis seperti tongkol segar yang terdampar. Posisi tidurnya asal-asalan, tanpa bantal, tanpa selimut. Dengkuran halus mengisi ruang kamarnya yang kedap suara. Apakah ini yang disebut tidak enak tidur sore di hari pertama kerja?

***

"Selamat pagi, Mas." Hana menyapa Juan yang keluar dari kamar dengan pakaian rapi. Kemeja krem pas tubuh, celana bahan cokelat muda, jangan lupa dasi marun menyempurnakan penampilannya.

"Pagi Hana, kamu masak apa? Wanginya kuat banget?" Juan duduk di sofa untuk mengenakan kaus kaki.

"Nasi goreng sama telur ceplok, Mas." Hana menjelaskan sambil menata meja makan untuk Juan.

Juan menghampiri kursi makannya. Sepiring nasi goreng dengan telur mata sapi di atasnya terlihat kurang menggugah selera. Warna nasi gorengnya pucat, Juan yakin Hana tak menambahkan kecap, saus, atau sejenis saus tiram ke dalamnya.

MAJIKAN ADALAH MAUT [REPOST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang