[Oneshot] Since Forever

4.8K 359 36
                                    

Pagi ini aku terbangun setelah tiga jam tidur yang tidak nyenyak dengan perasaan hampa yang biasa. Aku bangkit dari tempat tidur dengan gerakan kaku karena dingin yang semalaman memerangkap tubuhku, menyeret kakiku ke kamar mandi untuk bersiap-siap, lantas memakai kemeja pertama yang disambar tanganku dari lemari. Tidak ada tindakan khusus yang kulakukan untuk mendukung penampilanku, walaupun hari ini aku akan butuh sebanyak mungkin dukungan yang bisa kudapatkan.

Aku meninggalkan apartemen kecil yang kutempati di pusat kota selama beberapa tahun terakhir ini tanpa sarapan. Aku sedang tidak berselera makan. Bahkan, aku ingin malam tiba sesegera mungkin agar aku bisa kembali meringkuk di balik selimut sampai terbit matahari berikutnya, karena aku punya firasat hari ini tidak akan berakhir sesuai dengan keinginanku.

Aku tiba di depan sebuah kafe bergaya klasik saat jam tanganku menunjukkan hampir pukul sepuluh pagi. Aku berjalan ke arah kasir, memesan asupan kafein pagi untukku dan gadis yang akan kutemui dalam hitungan menit jika dia tidak terlambat, lalu duduk di meja paling sudut ruangan. Menunggu. Rasanya kata itu sudah menjadi teman setiaku meski seumur hidup aku membencinya setengah mati.

Jantungku mempercepat degupnya secara tak sadar saat mataku menangkap sosok kurus gadis itu melewati pintu kaca kafe yang didorong lembut terbuka dan membunyikan lonceng kecil di atas pintu. Dia menoleh tepat ke arahku dan tersenyum tipis, kemudian melangkahkan tungkainya menghampiri meja yang kutempati.

Namanya Baek Minji. Dan aku mengenalnya lebih baik daripada yang bisa dilakukan siapa pun.

"Mini-ya," aku memanggil gadis itu dengan nama kecilnya, Min—kebiasaan lama yang sulit hilang.

Minji kembali tersenyum, sama tipisnya dengan senyum sebelumnya, dan menarik kursi kayu dari bawah meja bundar berhadapan denganku. "Sudah dari tadi?"

Aku menggeleng. Mengamati wajahnya. Sebelas bulan sejak pertemuan terakhir kami, dia tidak banyak berubah, yang berarti masih sama lesu dan tidak bersemangatnya. Aku mulai berpikir pekerjaan sebagai penyiar memang pilihan tepat untuknya—di sana dia bisa bicara pada siapa saja sepanjang waktu tanpa menunjukkan dirinya yang, sejujurnya, tampak menyedihkan.

Aku perlu mengingatkan diri berkali-kali setiap menatapnya bahwa dia dulu tidak seperti ini. Sepasang matanya pernah bersinar begitu indah. Memancarkan kepercayaan bahwa segalanya akan berjalan sesuai harapan. Sampai binar itu meredup begitu saja sejak hari itu.

Dan satu-satunya tujuan hidupku saat ini hanya mengembalikannya.

Kami duduk dalam keheningan yang canggung selama lima menit penuh sampai seorang waitress menghampiri meja dengan dua cup latte dan americano ukuran sedang. Aku mengambil americano-ku dan mendorong cup kopi berisi latte ke hadapan Minji dalam diam.

"Kau masih ingat," kata Minji.

Aku tersenyum kecil—kusadari untuk pertama kalinya hari ini. Tidak mungkin aku lupa. Segala tentang gadis itu, kebiasaannya, kesukaannya, aku hafal mati bahkan sejak kami masih sama-sama memakai seragam anak sekolahan.

Minji menangkupkan kedua tangannya pada cupnya yang hangat. Aku dengan enggan menempelkan bibir pada tepi cup milikku dan campuran panas americano yang pahit menyentuh ujung lidahku.

"Bagaimana kalau kita jalan-jalan?" Aku menawarkan setelah setengah jam kami berdiam-diaman.

Minji mengangguk pelan. Aku lebih dulu berdiri dari kursi dan meninggalkan kopi yang baru kuminum sedikit di atas meja—sesuatu yang dulu akan membuat Minji berceramah tentang pemborosan—lalu dia mengikutiku. Kami meninggalkan kafe bersisian tanpa saling bicara.

Jalanan kota Seoul sama lembabnya dengan udara yang menusuk paru-paru setelah hujan yang semalam suntuk mengguyur deras. Matahari tengah hari ini tidak begitu berhasil menghangatkan tubuh meskipun semua orang telah membungkus diri dengan mantel tebal dan sepatu bot. Aku melihat uap tipis terhembus dari bibir Minji yang pucat dan kering saat gadis itu membuang napas perlahan. Perlu tekad sepenuh hati untuk tidak meraih tangannya dan menghangatkannya di dalam saku mantelku.

Since ForeverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang