(1)

580 73 16
                                    

Oh, I shouldn't go on hoping
Oh, that you will change your mind and one day we could start again
Well I don't care if loneliness kills me
I don't wanna love somebody else

============
(Song Fiction)

Kafe di sudut jalan selalu mengingatkanku akan hadirmu di sini. Aroma kacang beserta kopi menyeruak ke indra penciumanku, membuatku seperti terlempar kembali ke masa lalu. Dulu, kau selalu duduk disana, tepat di hadapanku dengan rambut cokelatmu yang terurai. Percakapan panjang dengan dua cangkir kopi dan kacang yang selalu aku rindukan.

Kemudian aku beralih ke piano putih yang berada di sudut kafe dengan vas bunga di atasnya, aku bilang itu adalah piano yang menyedihkan, tapi kau bilang itu adalah piano yang bahagia. Aku masih bisa mengingat dengan jelas dentingan suara piano di sudut kafe yang kau mainkan saat itu, suaranya yang selalu bisa menghipnotisku, selalu bisa membuatku tersenyum.

Aku kembali meneguk secangkir cappuccino, minuman favoritmu. Duduk di tempat ini tanpa hadirmu bagai sebuah mimpi dan aku ingin segera bangun dari hal itu. Namun, ini adalah kenyataan, kenyataan kalau kau telah pergi untuk yang lebih baik, meninggalkanku sendiri.

Mungkin aku tak bisa mengulang waktu, aku tak bisa kembali ke percakapan dimana kita masih duduk berhadapan, masih ada senyum di bibirmu, masih ada binar di matamu saat melihat kedalam kedua bola mataku.

Mungkin laki-laki yang kau pilih memang lebih baik, mungkin memang dia yang paling bisa mengertimu dibandingkan aku. Tak ada yang salah dengan pilihanmu, tak ada yang salah dengan kita, namun sebaik-baiknya aku berharap, kuharap kau mau mengubah pilihanmu, kembali melihatku yang masih menunggumu disini. Bahkan jika aku harus tetap duduk di kafe ini setiap malam, mengenang masa-masa kita, aku tak peduli lagi, aku tak peduli kalau rasa sepi ini bisa saja membunuhku perlahan. Karena sudah cukup. Hanya kau.

Setelah lewat pukul sebelas aku bangkit dari kursiku, beranjak pulang meski salju masih berlomba turun di luar. Aku mengenakan jaketku, jaket yang dulu sering kau pakai karena kau menyukai wanginya.

Suara gemerincing bel pintu dari luar membuatku menoleh, dan disana kutemukan dirimu dengan jaket merah menatap tepat ke kedua bola mataku. Terpana.

"Ae, apa kabar?" Suaramu lagi-lagi menghipnotisku.

"Baik, Seina. Bagaimana denganmu dan tunanganmu?" Tanyaku kembali padamu.

Kau tertawa. "Laki-laki itu kabur begitu saja." Lalu bisa kulihat tawamu mulai beralih menjadi isakan tangis. Aku diam, menerawang sesuatu di balik mata hijaumu, aku tahu ada kesedihan disana. "Kau mau kita melakukan hal yang dulu?" Begitu katamu saat kau sudah mulai tenang.

Aku mengangguk, mengerti maksudmu. "Teh atau kopi?"

"Kopi, tentu saja."

Dan masa lalu itu terulang kembali, duduk berhadapan denganmu di kafe hingga larut malam, membicarakan begitu banyak hal yang tak penting.

Seina, aku rela mendengarkan begitu banyak kisah sedihmu, menghapus air matamu lalu kembali mengukir senyummu. Dengan sisa kemampuanku yang terakhirpun aku masih rela tetap berdiri menanti karena aku tak mau mencintai lain hati, kau satu-satunya. Jadi kuharap, tetaplah disini.

Aku tak tahu harus mencintai hati mana kalau kau tak ada di sini.

--I don't wanna love somebody else--

Kafe di Sudut JalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang