"Apa yang kau lakukan disini paman” tanyaku heran, tidak biasanya Paman ada di kebun, karena biasanya aku memetik buah sendirian dan tentu saja aku juga yang mengantarnya ke toko.
“Tentu saja untuk membantumu. Ku dengar dari Devan kau sedang tidak enak badan, makanya aku ingin membantumu” jelas Paman Nighel.
“Kenapa bukan Devan saya yang kesini? Setahuku hari ini Paman harusnya berada di toko. Hari ini hari minggu, akan banyak pengunjung hari ini”
“Devan sedang ke kota. Tak apa Olyana, kami tak kau ingin sakit”
“Terimakasih paman, tapi aku memang sudah tidak enak badan, hehe”
“Tidak ada salahnya kan aku membantumu? Apa jangan-jangan kau mengharapkan Devan yang membantu mu?” goda Paman Nighel.
Pipiku terasa panas, ah, mungkin saat ini pipiku memerah. Heyy, kenapa aku jadi merasa malu? Apa yang dikatakan Paman Nighel benar? Ah, tidak mungkin.
“B..Bu..bukan begitu Paman” jawabku gugup, hmmm, aneh tiba-tiba aku merasa gugup.
“Haha, dasar anak muda” Paman Nighel tertawa renyah. Aku dan Paman Nighel kembali memetik buah.
“Hmm, sepertinya ini sudah cukup banyak untuk di bawa ke toko. Olyana, kau tidak usah membawa keranjang buahnya, nanti aku kembali lagi kesini untuk mengambilnya” tegas Paman Nighel.
“Paman, aku bisa membawanya. Aku masih kuat, lihat ini” jawabku sambil mengangkat keranjang buah.
“Baiklah jika itu mau mu” kata Paman Nighel mengalah.
“Ah iya, aku lupa. Paman duluan saja ke toko, aku menyusul. Ada yang harus aku ambil dirumah” aku teringat sesuatu.
“Baiklah, kau hati-hati ya. Jika kau belum datang dalam 30 menit, aku akan kembali” kata Paman Nighel khawatir.
“Siaaap Paman” kataku lalu tertawa.
***
Bodohnya aku kenapa harus meninggalkan benda itu.
‘Oh, Olyana, itu adalah peninggalan ibumu yang berharga, Bisa-bisanya kau meninggalkannya’ makiku pada diri sendiri.
Aku sampai di rumah dan segera mencari benda itu.
Dimana? Kenapa tidak ada ditempatnya? Tidak mungkin. aku mencari di seluruh penjuru rumahku. Namun hasilnya nihil, tidak ada.
Bagaimana ini? Aku duduk tersandar di dinding kamarku. Aku melihat jam, sudah jam 9.50 pagi, 10 menit lagi paman akan kembali kesini jika aku tidak segera ke toko.
Ah, aku akan mencarinya lagi setelah datang dari toko.
***
Devan’s POV
Ceroboh sekali dia. Jika kemarin malam aku tidak sadar ada yang berbeda dengannya mungkin sekarang aku tidak berada di kota.
Oly tanpa kalungnya terasa bukan Oly. Kalung berharga miliknya itu mungkin jatuh saat kami melihat parade. Pasti saat ini ia panik sadar kalungnya tidak ada.
Aku kembali menyusuri jalan yang kami lalui saat parade berlangsung. Matahari semakin naik. Aku harus menemukannya sebelum sore hari.
***
Olyna's POV
Dengan gontai aku berjalan memasuki rumah. Hari ini banyak sekali pengunjung di toko roti. Aku sangat lelah sepertinya besok saja aku mencari kalung itu.
Hampir saja aku tertidur jika tidak ada ketukan di pintu depan.
"Siapa yang bertamu pada malam hari begini?" Tanyaku pada diri sendiri.
Ah, rupanya Devan. Ia tampak kelemahan.
"Ada apa?"
Ia tidak menjawab pertanyaanku namun ia mengeluarkan sesuatu dari balik saku celananya.
"Jangan menghilangkannya lagi" katanya lelah lalu memasangkan kalung berliontin apel emas itu ke leher ku.
"Kau mencarinya?" Tanyaku takut takut.
"Hmm, jangan ceroboh lagi. Aku pulang" ia berbalik pulang setelah sempat mengacak rambutku.
Apa ia ke kota untuk mencari kalung ku? Oh tidak! Aku belum sempat berterima kasih padanya. Besok aku akan mengucapkan terima kasih dan mungkin membuat pie apel kesukaannya.
♥♥♥
Maaf ceritanya abal-abal gini
Jangan lupa untuk vote+comment yaa love
Kritik saran oke :)Love,
GL
KAMU SEDANG MEMBACA
Fairest [ON-HOLD]
FantasyIni bukanlah mimpi tapi kenyataan yang tak bisa disangkal. Kupu-kupu tak lagi terbang indah. Awan terus berarak. Sebelum tawa terperai dan masa depan kelabu. Dengan nafas keabadian ku yakini dunia ini hanya delusi. Api membara dihatiku. Akankah tera...