Gadis itu bercermin di depan kaca, mematut-matut dirinya. Dia tersenyum saat merasa penampilannya sudah cukup sempurna. Setelah rapi, ia turun ke ruang makan untuk sarapan bersama kedua orangtuanya.
“Pagi, Ma! Pagi, Pa!”sapa gadis itu sambil mencium kedua pipi orangtuanya.
“Pagi Nin, gimana tidur kamu?”tanya papanya.
Gadis bernama lengkap Aninda Khirana itu tersenyum. “Nyenyak donk, Pa! Sekarang kan Ninda udah kelas 3 SMP, sebentar lagi mau SMA. Jadi Ninda nggak mau datang siang lagi!”kata Aninda.
“Itu baru anak Papa,”kata Papa sambil mengacak-acak rambut Aninda, membuat gadis itu memprotes karena rambutnya berantakan lagi.
“Oh iya, Papa lupa bilang sama kamu. Kemarin Nanda telepon. Dia bilang sabtu nanti mau pulang,”kata Papa.
“Yang benar, Pa?? Nanda pulang?! Uhh, itu anak kenapa harus tinggal di rumah Om Frans dan Tante Claudia sih?!”ujar Aninda.
Usai sarapan roti dan susu, Aninda pamit pada kedua orangtuanya. Ia melangkah ke pintu dengan langkah riang. Ini adalah hari pertamanya sebagai murid kelas 3. Rasanya ia sudah nggak sabar untuk sampai di sekolah.
Akan tetapi, saat ia mencapai pintu, langkahnya terhenti. Ia terpaku dengan tangan menyentuh kenop pintu saat sesuatu berkelebat di dalam pikirannya. Dadanya seolah bergemuruh, sekujur tubuhnya gemetar dan sakit. Lambat laun napasnya menjadi berat hingga akhirnya ia tersengal-sengal.
Aninda jatuh berlutut sambil memegangi dadanya, berusaha untuk menghirup oksigen. Air mata menggenang di pelupuk matanya saat luapan rasa sedih melandanya. Ia tidak sadar kalau dirinya sempat menjerit sehingga Mama dan Papanya bergegas mendatanginya yang meringkuk di depan pintu.
“Ma, Ninda... nggak... bisa... napas...”isak Aninda. Ia menarik napas panjang ketika tubuhnya tersentak lalu melemas. Dan Aninda pun tak sadarkan diri.
Aninda kemudian dibawa ke rumah sakit. Setelah diperiksa, ternyata tidak ada keanehan apapun yang menunjukkan kalau dia sakit. Dokter hanya bisa mengatakan kalau Aninda mungkin mengalami serangan shock atas sesuatu.
Aninda siuman tak berapa lama setelah dokter pergi. Tatapannya menerawang dan dia hanya diam.
“Ninda, sayang, kamu baik-baik aja?”tanya Mamanya lembut.
Bukannya menjawab, Aninda malah menatap Mamanya dengan mata yang berkaca-kaca. Ia memeluk Mamanya dan menangis sejadi-jadinya. Membuat kedua orangtuanya kebingungan. Tepat disaat yang bersamaan, sebuah telepon masuk ke ponsel Papanya.