Aku tersenyum pedih, memandang senja yang beradu dengan langit. Ada kepedihan yang terasa. Di senja ini, aku kembali mengingatnya, merasa kehilangan yang pekat. Di balik bingkai jendela ini, aku memandangi senja, mengulang memori yang terasa kembali berputar tanpa jeda.
*****
"Sumpah yang kuucapkan saat akad nikah kita tadi, bisa kau pegang sampai akhir nanti, Sayang."
Ah, sungguh aku tersipu. Menyadari ada seorang pria mencintaiku sebesar ini. Ya, sejam lalu, ada seorang pria meminangku di depan hukum dan agama.
"Sungguh?"
Dia melangkah mendekat. "Kau bisa pegang janjiku, Sayang."
Aku mengangguk pelan. Sadar ada satu hal yang masih mengganjal pada pernikahan ini.
"Tapi Papi dan Mamimu belum memberi restu," keluhku dengan wajah sedih. Ya, hampir dua tahun kami menjalani hubungan, dan memutuskan untuk menikah, satu kalipun aku belum pernah bertemu orang tuanya. Dia bilang, mereka menetap di luar negeri. Dan terlalu sibuk untuk mengurus kepulangan ke Indonesia, meski hanya untuk bertemu putra tunggalnya.
"Suatu saat nanti, kita yang akan menyusul mereka ke sana."
Mataku berbinar cerah saat mendengar janjinya. "Benarkah?"
Dia mengangguk yakin sembari mengelus kedua pipiku.
Hari itu, hari di mana aku merasa beruntung bisa menikah dengannya. Dia, yang mencintaiku sepenuh hatinya. Satu-satunya yang berani memintaku di hadapan Papa dan Mama. Ya, lelakiku satu-satunya. Kebahagiaanku yang sempurna.
*****
Waktu berjalan dengan cepat. Aku dituntut untuk tak bekerja, demi melayaninya sepenuhnya. Menjadi istri yang baik, yang selalu ada saat suami membutuhkannya. Kapanpun dan di manapun.
Dan sejauh pernikahan ini berjalan, kami masih sama-sama mengusahakan kehadiran buah hati di tengah keluarga kecil yang kami miliki.
Hampir setiap hari kami melakukannya. Tapi semua mulai berubah saat menginjak tahun kedua pernikahan kami.
*****
"Kau mau kemana, Sayang?" Kedua mataku mengerjap pelan saat menyadari tempat tidur kami bergerak. Padahal baru sejam lalu kami bercumbu seperti biasa. Dan lagi-lagi, dia meninggalkanku dengan tiba-tiba. Padahal, saat awal pernikahan kami, dia tak pernah seperti ini. Setelah kami melakukannya, sepanjang malam dia akan memelukku dalam kokoh kedua lengannya.
"Hanya sebentar," ujarnya pendek. Bahkan dia tak mau repot-repot untuk melihatku.
Aku melirik ke arah jam dinding yang menggantung. Masih pukul tujuh malam."Apa ada masalah di kantor?" terkaku.
Dia hanya mengedikkan bahu. "Begitulah." Dia berjalan mendekat, kemudian mencium keningku dengan lembut. "Tidurlah. Jangan lupa kunci pintunya. Jangan menungguku kalau sampai nanti pukul sepuluh aku tidak pulang."
Aku menghela napasku dengan pelan. Mengapa akhir-akhir ini suamiku sibuk sekali?
"Hati-hati."
Dan dia hanya mengangguk sekali, kemudian menghilang di balik pintu kamar kami.
*****
Adalah rindu yang berubah menjadi sesak jika tak pernah bisa tersampaikan. Aku tak tahu, kenapa suamiku akhir-akhir ini hampir tak pernah tidur di rumah. Dan bahkan aku juga tak tahu, masalah apa yang terjadi di kantornya, hingga sebulan ini membuatku tidur sendiri tanpa teman di sepanjang malam. Suamiku akan pulang jika dia rindu menyentuhku. Ya, ia akan pulang jika ingin bercumbu denganku. Setidaknya, dari sikapnya itu, aku tahu bahwa ia masih membutuhkanku di tiap malamnya, meski ia tak lagi sering memelukku di tengah malam saat aku meringkuk mencari ketenangan dalam tidurku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Vow
Short StoryI'll let you go I'll let you fly Why do I keep asking why I'll let you go Now that I found A way to keep somehow More than a broken vow