Are We Friend or Enemy?

29 1 0
                                    

Aku menuju ke kamar mandi. Aku sudah tidak kuat lagi menahan air mataku. Mereka berebutan untuk jatuh. Anak-anak di sekitarku merasa heran denganku. Mungkin mereka bertanya-tanya, apa yang sudah terjadi padaku? Apakah ia digigit srigala, atau dimarahi guru killer? Biarkan saja, aku tak peduli. Tiba-tiba, aku mendengar suara Candy.

"Cam, are you okay?" katanya sambil menepuk pundakku. Aku tersontak kaget dan menghapus sisa-sisa kesedihanku.

"I'm okay, Can" kataku sambil terisak-isak. Orang-orang di sekitarku pun mulai melihatku (lagi). Sekarang pasti mereka berpikir bawa aku adalah orang gila yang tadinya menangis terisak-isak dan sekarang ia berkata dengan logat Inggris yang sangat kental dengan temannya.

Kring...Kringg.. Bel pun berbunyi. Candy memberikanku tissue dan berbicara "Ayo, usap air matamu dan kita kembali lagi ke kelas. Kamu tau kan, guru kita nanti kaya gimana?" 

Aku pun mengiyakan ajakannya. Saat kami kembali ke kelas, semua teman-temanku berkumpul untuk menanyakan keadaanku. Apakah aku baik-baik saja? Darimana saja kamu? Itulah kata-kata yang mereka ucapkan. Tapi tak satupun dari perkataan mereka yang aku respon.

Aku melihat seorang anak lelaki yang wajahnya pucat pasi. Ya, siapa lagi kalau bukan Randy? Ia tersontak melihatku. Ia segera bangkit dari tempat duduknya, memberikanku jalan untuk menuju bangkuku.

Ia menyodoriku setangkai bunga mawar-entah dapat dari siapa, seperti film-film romantis. Ia berkata "Maafkan aku, Cam. Aku mengaku salah. Maukah kau memaafkanku? Jika iya, ambil bunga mawar ini. Tapi jika tidak, acuhkanlah saja diriku"

Aku bingung. Buat apa ia memberikanku bunga mawar? Ini sungguh berlebihan. Kalau aku jadi dia, aku sudah pasti malu. Aku saja sekarang malu saat ia mengatakannya padaku. Aku masih ingin marah. Tapi karena banyak teman-temanku yang melihat kejadian ini, kalau aku menolak pasti mereka berpikir bahwa aku jual mahal. Akhirnya, aku mengambil bunga mawar itu dari tangannya.

Ia tersenyum. Jujur saja, senyumnya manis sekali-tapi aku tetap saja tidak tertarik. Ia menatap mataku dengan tajam dan berkata "Terima kasih, Cam. Aku berjanji, tak akan membuatmu marah lagi. Peganglah janjiku" sambil melilit jari kelingkingnya ke jari kelingkingku.

Aku hanya tersenyum kecut, dan anak-anak bersorak sorai melihat kami berbaikan-padahal dalam hati masih ada kata tidak. Ya, aku butuh waktu untuk menenangkan kejadian yang barusan terjadi. Selang beberapa detik, guru seni budaya pun datang. Semua siswa kembali lagi ke tempat duduknya masing-masing.

"Psttt.. Nanti aku traktir di kantin ya, Cam. Itu sebagai ganti bekalmu yang aku tumpahkan tadi" ujarnya menyeringai. Aku-masih tersenyum kecut mengiyakan.


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 11, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Fri(lov)endshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang