Go

1.8K 128 6
                                    

"Baka. Kenapa kamu nggak pernah bersyukur akan apa yang kamu punya?" Suara Sakura-kun tertahan, dia seperti menahan emosinya dan berusaha bersikap tenang.

Guratan kekecewaan terlihat jelas dimatanya saat aku menceritakan tentang Chichan. Apakah sepenting itu keberadaan seorang teman disampingku baginya?

Ku rasakan dua tangan dingin menyentuh pipiku. Mengangkat wajah ku yang menunduk. Mempertemukan mata kami, mata hitamnya yang gelap menghipnotis ku. Ah, mata itu menangkap ku lagi. "Berhentilah menunduk. Kamu tidak akan dapat melihat apapun jika hanya menunduk. Dunia ini luas, yume-chan"

"Aku hanya benci ditanyai seperti itu"

"Itu artinya dia peduli!"

"Dia hanya ingin tahu! Diam lah! Kamu tidak akan mengerti!" Teriak ku.  Air mata ku menetes perlahan. Aku menarik wajah ku, menolak untuk melihatnya. Ini pertengkaran pertama ku dengan laki-laki yang selama ini jadi tempat berbagi. Rasanya dunia ku kembali terpukul mundur, kenangan dan ketakutan kembali menguasai ku. Badan ku mulai gemetar "Kamu yang selalu ceria tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya ditinggal oleh orang2 yang kamu sayang!!!"

Sakura-kun menatap ku nanar sebelum akhirnya berbalik dan mengatakan "orang yg terlihat ceria tidak selalu bahagia, hanya saja dia bisa mengatasinya. Ya, mungkin aku tidak mengerti perasaan mu."

Lagi, aku melihat tubuhnya menjauh, badannya yang begitu kurus.... apa aku keterlaluan? Bagaimana kalau dia sebenarnya juga tidak bahagia?

***

Chichan berkali-kali mencoba mengajak ku bicara, namun aku menghindarinya. Aku tidak ingin menatap wajahnya atau pun mendengar suaranya saat ini. Aku bertengkar dengan Sakura kun hanya karna dia, entah kenapa rasanya semakin mengesalkan. Walau aku tahu itu bukan salahnya... namun aku butuh seseorang untuk disalahkan.

Sama seperti malam itu, tidak ada yang bisa disalahkan pada kecelakaan itu, hewan liar yang melintas membuat supir bus banting setir dan menabrak mobil kami. Tidak ada yang bisa disalahkan... karena supir bis itu pun ikut menjadi korban. Aku ingat bagaimana suara tangis anak dan istrinya pecah di pemakaman yang dingin. Tidak ada yang bisa disalahkan.....

Air mata kembali menggenang

Tuhan aku lelah... Andai saat itu Sakura kun tidak muncul tiba-tiba, mungkin aku sudah bunuh diri karna tak tahan. Mental ku, fisik ku. Aku benar-benar jenuh dengan semua ini...

"Ah ketemu!" pekikan suara yang  cukup ku kenal membuat aku buru-buru menghapus sisa-sisa kesedihan diujung mata. Menatap dingin dia yang mendekat sambil tersenyum riang. "ne, Yume chan, apa aku mengganggu mu?"

"Katakan saja apa mau mu"

"Hahahaha.. kamu benar-benar marah ya? Chichan datang kerumah ku sambil menangis kemarin sore."Tawa yang hambar,  Suzuki kun menetap kosong kedepan, aku hanya diam mendengarkan. "Kau tahu, sejak lama dia ingin berteman dengan mu, dia ingin mengajak mu jalan-jalan, ingin mengenal saudara kembar mu, ingin mengajari mu banyak hal tentang negri ini."

Suzuki kun tersenyum kecut sebelum akhirnya mengatakan sesuatu yang mengejutkan ku, "Kedua orang tuanya juga meninggal saat dia kecil.."

Aku menatap Suzuki kun dalam-dalam, mencari kebenaran akan ucapannya. Chichan? Bukankah sekarang dia tinggal bersama orang tuanya?

"Dia diadopsi oleh pasangan suami istri yang tinggal disebelah rumah ku. Makanya kami bisa saling kenal dan berteman." penjelasan dari Suzuki cukup untuk membungkam bibir ku. Menikam ku dengan kenyataan, bahwa tidak hanya aku yang menderita. Bahkan Chichan kehilanganOrang tuanya lebih dulu dari pada aku.

Kriiiiiiingg

Suara handphone ku memecah keheningan, Suzuki kun mengacak rambut ku. "Oleh karna itu, maafkan dia ya. Berbaikan lah. Aku pergi dulu." Aku mengangkat telpon ku setelah Suzuki kun tidak terlihat, pikiran ku masih penuh dengan chichan-

"YUMEEEEE CHAAAAANNN!!!!!!" teriakan dari sebrang telpon cukup membuat kuping ku tuli. Aku menjauhkan layar handphone ku dan menatap kesal nomor yang sejak lama digunakan sahabatku.

"Kalau kau teriak-teriak telponnya ku matikan." gerutu ku

"Sialan, kenapa lo gak bales surat kita lagiiii?! udah lupa sama temen lama hah?"

"Oh ayolah, Reis. Jangan kekanak-kanakan. Aku sibuk."

"Ya, sibuk menghindari kami." Nada bicaranya terdengar kecewa. Reisia, namanya. Dia sahabat ku selama aku hidup di Indonesia, dia dan dua orang laki-laki; Rein dan Arya. Kami sudah menghabiskan seluruh hidup kami bersama sampai akhirnya aku dan Yumi pindah. "Kamu tidak bisa menanggung semua nya sendiri, Yume."

Aku hanya terdiam saat dia dengan tepat menebak alasan aku tidak membalas suratnya. "Percayalah, kami sangat mengkhawatirkan keadaan mu, keadaan Yumi... maaf kami tidak berada disisi mu pada masa tersulit mu... andaikan saja kalian tidak mengantar kami pulang... andai saja aku bisa disana terus...andai....." Reis terisak, aku tidak mengerti kenapa dia malah menangis, selama ini yang merasa bersalah bukan hanya aku.. selama ini yang gelisah bukan hanya aku.

"hoi." Kali ini suara Rein. "Apa yang kau katakan pada Reis sampai dia menangis?" suara dingin dan berat khas nya membuat air mata ku bergelimangan. Aku sungguh rindu berada ditengah-tengah mereka. Sungguh rindu kehangatan yang hanya milik kami.

"a-aku tidak mengatakan a-apapun" terdengar deheman dari sebrang. aku menunggu sampai akhir nya suara itu terdengar lagi.

"katakan pada Yumi, cepatlah bangun. Aku sungguh mencintainya. Saat dia bangun akan ku perjelas hubungan kami. Agar dia tidak gelisah lagi. Jadi suruh dia bangun, aku tidak mau menunda-nunda lagi."

"Huaaaa pernyataan cinta yang tegas" terdengar suara ledekan Arya tak jauh dari sana. Aku tersenyum kecil membayangkan wajah merah Rein. Ya, semuanya masih seperti dulu. Kami melalui semua hal bersama, perceraian orang tua Rein dan Reis, kepindahan ku dan Yumi ke Negri ini, tidak ada satu pun beban yang kami lewati sendirian...

Lalu kenapa aku malah melarikan diri...

"YUMEEEEEEEEEEE TETAP SEMANGATTT!!!!!!!!!!!!!" teriakan Arya seolah mengakhiri telpon. aku menatap layar yang menggelap.  Sebenarnya apa yang terjadi pada ku? kenapa aku begitu sensitif dan tidak bersemangat. Sebenarnya apa yang aku cari? Kenapa Tuhan membiarkan aku selamat pada malam itu?

Aku berlari ke arah rumah sakit. Membiarkan angin-angin menamparku dengan keras. Aku berteriak sekeras mungkin, sampai paru-paru ku terasa kosong. Memuntahkan semua kebodohan ku selama setahun ini dijalanan. Aku tidak peduli tatapan aneh orang lain. Aku hanya ingin bebas dari keterpurukan. Kenapa aku baru menyadarinya sekarang? Berapa banyak orang-orang baik yang tersakiti oleh keegoisan ku?

Kalau ada orang yang layak mengeluh, seharusnya itu bukan aku. Aku punya cukup uang untuk hidup tanpa perlu bekerja. Aku punya tempat pulang walau tak lagi seramai dulu. Tuhan menyelamatkan ku karna tau aku memiliki sahabat yang dapat menguatkan ku untuk menghadapi semua ini. Tuhan membiarkan Yumi koma di rumah sakit dalam waktu lama, agar aku belajar untuk menghargai perasaan orang lain... dan untuk bertemu......

"SAKURA KUN!"

"Jangan mendekat Yume chan. Pergilah."

"Eh?"


****


HOOOOAAAAAAAAAAA

MAAF BANGET BARU BISA UPDATE!!!!!!

Dunia nyata benar-benar sibuk, gue masih butuh adaptasi sama lingkungan yang baru dan serba cepat nggak kayak dulu waktu jaman-jaman nya SMA.

SEKALI LAGI MAAF!!

Cerita ini bakal segera gue tamatin biar nggak pada penasaran terus. semangat ya nunggunya mbloo~~~

maaf kalo feel nya kurang dapet, sesungguhnya gue hanya punya waktu sedikit untuk buka laptop, tapi demi kalian yang udah ngasih vote, komen serta dukungannya, akan ku lakukan apa pun! /halah

Terimakasih atas kesabarannya. ^^


SakuraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang